Formalisme: Bentuk dan Teknik Film Menyiratkan Tujuan atau Makna Artistiknya

Formalisme:

  1. Teori yang dikembangkan pada seni sastra di Rusia (1916-1930an) bahwa bentuk dan teknik menyiratkan tujuan atau makna artistiknya.
  2. Istilah yang digunakan pada bentuk karya seni yang menunjukkan bahwa pengkarya mengorbankan realitas sosial dan isinya.

        

Seperti kebanyakan teori, Formalisme dikembangkan sebagai sarana studi teks-teks sastra. Ini merupakan upaya awal untuk berteori dan menarik perhatian berdasar narasi yang dibangun. Hal ini diprakarsai oleh sekelompok kritikus progresif dari Rusia  yang ingin mengembangkan cara formal (hence the name) untuk menghasilkan metode obyektif dan ilmiah dalam menganalisis sastra. Vladimir Propp, Viktor Shklovsky, Yuri Tynanov dan Boris Eichenbaum adalah para formalis utama yang tidak tertarik pada isi teks, dan percaya bahwa yang terpenting adalah bentuk. Hingga saat ini, film dalam proses membangun dirinya sendiri sebagai seni yang mandiri dan memberikan arena menarik pada para formalis untuk mengembangkan ide-ide ‘ilmiah’ dalam bidang film.

         Untuk memahami sepenuhnya apa yang dicoba capai para formalis, untuk menyadari iklim politik dan sosial kerja mereka. Pada tahun 1917, Revolusi Bolshevik berusaha menggulingkan rezim Tsar yang mendukung negara komunis. Setelah pemberontakan banyak pembuat film komersial melarikan diri ke Rusia, dengan membawa peralatan dan stok film. Selain itu, terjadi blokade mencegah impor seluloid asing. Akibatnya, para pembuat film bereksperimen dengan mendaur ulang rekaman dan editing dari stok film yang ada untuk menjadi film baru. Selama proses ini mereka mengakui kekuatan editing sebagai perangkat manipulatif dan menyebabkan pemikiran ulang yang radikal tentang film.

         Para pembuat film utama Rusia yang terkait dengan praktek ini sesuai output mereka dikenal sebagai montase Soviet. Para praktisi film yang terkenal seperti Sergei Eisenstein, Dziga Vertov dan Lev Kuleshov. Eisenstein menjadi tokoh dalam formalisasi metodologi mereka. Singkatnya ide-ide pokok yang mendukung Formalisme adalah:

  • Perhatian terhadap bentuk atas konten dengan mengorbankan subjek. Topik film itu tidak penting;  bahwa fokus film adalah pada bagaimana film secara fisik disatukan (melalui editing, struktur naratif, dll).
  • Bertujuan untuk menemukan pemahaman ilmiah dan menuliskan bentuk artistik film (menggunakan ilmu untuk menjelaskan estetikanya).
  • Untuk melakukan analisis formal pada teks, sebagai cara untuk menilai kualitas film dengan melihat persamaan dan perbedaan (dalam hal estetika, narasi, sinematografi, mise-en-scene, dll).

Banyak dari pekerjaan mereka terdiri penelitian detail teknis, karena mereka mencari wawasan seni sebagai sistem tanda dan konvensi, bukan sebagai inspirasi dan gaya estetika. Mereka melihat seni sebagai proses untuk dipelajari, dengan mempertimbangkan bentuk dan perangkat yang digunakan dalam pembuatan film, menulis buku atau membuat lukisan. Tujuannya adalah untuk merinci bagian-bagiannya.

         Istilah laying bare the device bisabenar-benar dipahami sebagai penunjuk pada alat-alat produksi. Misalnya, urutan sequence opening film The Player (Robert Altman, 1992) termasuk shot panjang yang menunjukkan karakter di layar membahas dampak penggunaan shot dalam opening sebuah film. Contoh lain dari laying bare the device ini dapat ditemukan di salah satu adegan karya Jean-Luc pada film Godard Breathless/A Bout de Souffle (1960). Di sini tokoh berjalan di sekitar set fiksi ke lampu-lampu. Tapi bukannya pencahayaan yang tersedia, Godard menggunakan lampu pabrik untuk (sekali lagi) mengingatkan penonton dari kesemuan film.

         Menarik perhatian dari sinematografi dan editing dapat sangat berdampak pada penonton, khususnya ketika proses editing dilakukan terang-terangan. Sekolah film Soviet mempelopori mengekspos sifat konstruksi film dengan melakukan eksperimen bentuk-bentuk editing dan penempatan kamera.

Sinematografi dan editing

Salah satu hal yang paling penting khususnya untuk disiplin film, yang mana keluar dari perdebatan formalis, adalah pendekatan sistematis untuk membaca sinematografi. Dalam rangka untuk memahami metodologi yang diusulkan oleh formalis, perlu untuk menyelami praktek-praktek tradisional bahasa film. Sebelum sekolah film Soviet,  bentuk spesifik dari editing yang disukai, Hollywood memilih gaya pembuatan film yang seragam di seluruh industri film. Praktek ini dikenal sebagai editing kontinitas atau model representasi industri.

Continuity editing (model representasi industri)

Hollywood mengadopsi pendekatan non-intrusif untuk editing film, seperti berniat agar penonton untuk sepenuhnya menyadari adanya cutting. Industri memperkenalkan serangkaian perangkat sinematografi dan editing untuk mencapai hal-hal berikut:

  • Establishing shot/re-establishing shot

Shot pembuka yang memberi tahu lokasi dan ruang antara karakter dan objek dalam sebuah adegan; hal ini membantu orientasi bagi penonton. Biasanya berupa shot dari depan (long shot), memberikan penonton informasi visual yang penting. Setelah    terbentuk informasi awal, kamera biasanya cut to aksi selanjutnya. Pada titik tertentu, dalam adegan itu, kamera mungkin perlu   kembali ke posisi semula, atau membentuk point baru yang          berbeda dari aksi, untuk menentukan kembali hubungan spasialnya (restablishing shot).

  • Eye-level-shot

Kamera ditempatkan pada ketinggian yang setara dengan mata para aktor dan aksinya difilmkan dari titik ini.

  • Reframing

Ketika aksi di sebuah adegan bergeser tempat,kamera bergerak      (reframes) untuk menjaga titik dari fokus utama  dalam frame.

  • Eye-line matching

Ketika karakter tampak di layar, shot berikutnya memperlihatkan obyek perhatian mereka.

  • Shot/reverse shot:

Shot dialog antara dua karakter, kamera secara bergantian berada di antara dua sisi. Shot pertama membingkai karakter A dan biasanya shot dibuat dari sudut pandang karakter B, atau melewati bahu B. Proses ini dibalas dengan shot karakter B dari perspektif karakter A. Model ini berlaku pada seluruh adegan dan diulang sebanyak yang diperlukan.

  • Aturan 180 derajat (axis of action)

Untuk tujuan kontinuitas, penting saat pengambilan gambar adegan, kameramen membayangkan sebuah garis tak terlihat yang melintang melintasi aksi. Bahwa perlu memastikan semua shot berlangsung di salah satu sisi garis ini, bila menyeberang akan membingungkan penonton. Diagram menunjukkan lingkaran melalui garis pusat, di mana kamera (C) harus selalu ditempatkan pada satu sisi tertentu dari baris ini. Shot aksi ‘A’ dari semua posisi dalam zona ‘C’ tetapi tidak dapat menyeberang ke zona yang berlawanan dengan ‘A’. Yang penting adalah bahwa kamera harus berada di satu zona saja. Untuk film, aksi dari zona lainnya akan diperlukan shot baru establishing/reestablishing.

Montage

Istilah montase dan editing sering digunakan secara bergantian dalam studi film, utamanya mengacu dan ditunjukan kepada editing film terkait dengan pembuat film Soviet tahun 1920-an. Ide ini (Tesis + Antitesis = Sintesis) dicontohkan dalam eksperimen unik oleh Lev Kuleshov. Dengan mengambil gambar dari aktor Ivan Mozhukhin, Kuleshov men-jukstaposisi-kan aktor dengan tiga gambar yang berlainan; semangkuk sup, mayat wanita dalam peti mati dan gadis yang bermain dengan boneka beruang. Setiap gambar aktornya tetap sama, namun penonton menafsirkan wajah tanpa ekspresi itu menggambarkan emosi masing-masing: kelaparan, kesedihan dan kegembiraan. Ini yang dikenal sebagai ‘Kuleshov Effect‘.

Sergei Eisenstein ‘Film Form’ (1929)
Sekolah di Soviet yang anti-borjuis berusaha meradikalisasi film dan memisahkannya dari konotasi elitis. Sebagai anggota utama dari grup, Sergei Eisenstein sangat pro dengan tujuan politik ini. Salah satu cara agar ideologi politiknya menjadi nyata adalah mempekerjakan aktor non-profesional. Casting didasarkan sepenuhnya pada penampilan daripada kemampuan. Proses ini dikenal sebagai typage, Eisenstein terlibat sendiri dalam memilih orang untuk membintangi film-filmnya. Mereka dipilih karena kemiripan fisik tertentu, meskipun mereka umumnya hanya memiliki sedikit atau tidak ada pengalaman akting. Stereotip lah yang dijadikan kunci mencari peran pelaut, pekerja pabrik, aristokrat, Pendeta, dll. Eisenstein tampaknya menggeser cara pandang film dari sudut pandang tawaran tradisional yang statis pada teater. Dia melihat montase sebagai alternatif menarik untuk pendekatan konservatif latihan di atas panggung. Dia percaya editing memiliki dimensi psikologis, dan bahwa saat gambar ditempatkan setelah gambar lain, terbentuk makna baru. Dalam hal ini ia meniru seni menulis ala Jepang. Model penulisan Jepang  mengakui adanya kombinasi dari dua simbol (kata) yang menciptakan konsep ketiga (arti); konsep yang tidak dapat secara fisik diwakili oleh gambar. Contohnya ‘hieroglif’, merupakan gabungan untuk membuat non-representasional arti ketiga. Dia mengutip contoh berikut: Representasi dari air dan sebuah mata menandakan ‘tangis’, representasi telinga lalu gambar pintu berarti ‘mendengarkan’, anjing dan mulut berarti ‘menyalak’ mulut dan bayi berarti ‘berteriak’ mulut dan burung berarti  ‘bernyanyi’ pisau dan hati berarti ‘kesedihan’, dan sebagainya [ia menyimpulkan] ini lah  montase !! Dengan menerapkan pendekatan linguistik pada film, Eisenstein menggunakan aturan sederhana, bahwa gambar yang disandingkan dengan gambar yang berlainan mengakibatkan makna ketiga. Dia melihat ‘montase sebagai tabrakan’ atau sebagai ‘konflik’ dan ia percaya konflik selalu terdapat dalam semua seni. Hal inilah yang diringkas oleh David Cook sebagai: (Tesis + Antitesis) = Sintesis. Meskipun Cook menggunakan istilah ‘antitesis’, montase tidak harus terdiri dari gambar yang bertentangan, hanya dua gambar yang berbeda.   Eisenstein mempertegas tulisannya pada bentuk film dengan mengidentifikasi konflik yang sebelumnya telah diabaikan dalam analisis film. Dia percaya bahwa menurut area visualnya (konflik di layar) harus mempertimbangkan: konflik grafiskonflik antar permukaankonflik antar volumekonflik spasialkonflik pencahayaankonflik tempokonflik antara materi dan shot (dicapai dengan distorsi spasial menggunakan sudut kamera)konflik antara materi dan spasialitas-nya (dicapai dengan distorsi optik menggunakan lensa)konflik antara peristiwa dan temporalitas-nya (dicapai dengan memperlambat dan mempercepat)konflik antara seluruh kompleksitas optik yang berbeda-beda. Untuk mengaplikasikan secara rinci konflik visual yang dikemukakan Einstein tontonlah Lola Rennt (Tom Tykwer, 1998).   Eisenstein dikenal dengan 5 tipe montase: montase metrik (panjang/durasi shot; membangun ketegangan)montase ritmik (berdasarkan ritme gerakan dalam shot;  meningkatkan kontradiksi gambar)tonal (konten emosional dari durasi shot)overtonal (sinergi metrik, irama dan tonal)montase intelektual (hubungan konseptual antar gambar/metafora visual).   Masing-masing kategori di atas ditawarkan sutradara melalui berbagai untuk menyajikan informasi kepada audiens. Bagi Eisenstein montase intelektual memiliki dampak terbesar. Ia menggunakannya untuk membuat efek yang dahsyat di semua film-filmnya, terutama Battleship Potemkin. Montase intelektual bergantung pada penonton dalam membaca penjajaran (jukstaposisi) gambar untuk memperoleh pemahaman baru.  

Long take

Berkebalikan dengan montase, take panjang yang memfokuskan pada apa yang terjadi pada adegan daripada memotong aksinya. Setelah melihat karya Orson Welles dan sinematografer Gregg Toland dalam film Citizen Kane (1941), Andre Bazin adalah yang pertama mengakui pentingnya deep-focus photography. Hal ini terjadi ketika latar depan dan latar belakang dari shotnya keduanya fokus. Teknik ini tidak baru dan telah dipraktekkan di Perancis oleh Jean Renoir di film La Grande Illusion/The Grand Illusion (1937) dan La Bete Humaine/The Human Beast (1938). Bazin mencatat tiga implikasi di balik penggunaan komposisi deep-focus yakni:

  1. Deep-focus mirip dengan bagaimana penonton mengalami dunia nyata dan karenanya bisa dilihat secar lebih alami.
  2. Dengan long take penonton dapat aktif memecah-mecahkan informasi sehingga sutradara tidak perlu membimbing penonton.
  3. ‘Montage menghindarkan ambiguitas’ kedalaman fokus (dept of field). yang membingungkan.

Editing kontinuitas, montase dan long-take memberi tawaran pembuat film tiga cara yang sangat berbeda dalam bercerita. Memutuskan pendekatan terpusat pada editing dapat memanipulasi penonton dengan berbagai cara. Bisa secara halus, terang-terangan atau tidak menggunakannya. Meskipun montase Soviet terkenal terkait dengan Formalisme, semua dari tiga cara menyusun narasi ini melibatkan pemilihan bentuk dan menerapkannya pada teks.

Ciri Naratif dari Formalisme

Bentuk naratif tertentu yang digunakan dalam film sering gagal untuk dikenali dalam penggunaanya. Bentuk ini lebih dikenal sebagai genre (lihat di teori Genre). Berikut ini adalah perangkat naratif yang diperoleh penggunaan secara umum melalui studi formalisme sastra dan merupakan dasar untuk memahami ciri-ciri naratif dalam film.

Fabula (cerita) dan syuzhet (plot)

Formalis mengidentifikasikan dua unsur utama dalam studi naratif, yang mereka sebut dengan ‘Fabula’ (cerita) dan ‘syuzhet’ atau ‘sjuzet’ (plot).

  • Fabula: (arahan untuk penonton). Yakni keseluruhan cerita; urutan penuh peristiwanya. Termasuk urutan yang tidak tampak, atau aurally, yang diwakilkan di layar (kapan makan, tidur dan pergi ke toilet). Penonton harus aktif membuat asumsi berdasarkan informasi yang diberikan; harus mengisi kekosongan. Pada saat merekonstruksi fabula dapat membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar. Bahwa seluruh urutan kejadian tak mungkin disajikan.
  • Syuzhet: (arahan penulis/sutradara). Adalah Informasi dan materi yang disajikan di layar (dalam urutan-urutan frame yang dipilih oleh sutradara). Informasi yang diberikan tidak dapat diubah karena penonton mengetahui rahasia fakta yang sama. Namun, dalam sutradara ketegangannya mungkin memang direkonstruksi dari urutan kejadian, membiarkan penonton tidak menyadari bahwa tokoh mungkin telah terungkap informasinya kepada kita. Bagian khusus ini sangat berguna dalam cerita-cerita kriminal sehingga penonton temanipulasi dan diarahkan pada asumsi-asumsi untuk meningkatkan ketegangan.

Penting untuk diingat bahwa sutradara dapat dengan mudah memanipulasi informasi yang disajikan kepada penonton dalam syuzhet, dan mungkin sengaja menyesatkannya. Dalam film The Usual Suspects (Bryan Singer, 1995), dicontohkan sutradara memanipulasi penonton melalui syuzhet dan pada gilirannya mendapat kesimpulan yang salah tentang Keyser Soze dan keseluruhan ceritanya (fabula). Menempatkan fabula sekaligus membangun gambaran yang lebih besar, sehingga semua peristiwa yang hadir bahkan ketika tidak secara fisik atau aurally terwakili pada layar.

         Pulp Fiction (Quentin Tarantino, 1994) adalah teks kunci untuk mendekonstruksi dalam mengeksplorasi ide-ide formalis. Film ini terkenal karena pendekatan non-linear, dengan aksi yang terjadi di luar urutan kronologis. Sehingga, ada banyak versi dari apa yang dianggap menjadi waktu linearnya ‘kenyataan’ dari fabulanya.

         Fabula membutuhkan penonton untuk aktif membangun dan menafsirkan urutan kronologis cerita, banyak informasi yang tersirat yang menjadi bagian diegetiknya. Syuzet dibuat oleh sutradara/penulis dalam bentuk singkat, sehingga cerita disajikan secara padat. Untuk menyadarkan kedua hal yang memungkinkan penonton untuk memahami bentuk-bentuk naratif yang kompleks pada banyak film, tontonlah Groundhog Day (Harold Ramis, 1993), Sliding Doors (Peter Hlowitt, 1998), Memento (Christopher Nolan, 2000) dan Inception (Christopher Nolan, 2010).

Selain teori berbasis narasi dari formalis, Vladimir Propp menulis tentang karakter berulang yang muncul dalam cerita.

Vladimir Propp Morfologi FoMale (1928)
Vladimir Propp adalah seorang ahli sastra yang berusaha untuk melihat melampaui pendekatan tradisional untuk mempelajari cerita rakyat, yang difokuskan pada tema. Ia meneliti lebih dari 100 cerita-cerita folk Rusia untuk membedakan struktur umum dan elemen-elemennya yang kemudian dapat dikembangkan dan diterapkan untuk genre lain. Dari survei ini, Propp menyatakan bahwa kisah-kisah tradisional didasarkan pada hal-hal berikut:

Archetypes/spheres of action
Meskipun ‘penggulir aksi‘ adalah istilah yang membingungkan, intinya mengacu pada karakter yang selalu ditemukan di sebagian besar cerita. Propp mengidentifikasikan tujuh karakter:
Hero, Sebuah karakter yang mencari sesuatu.
Villian, Lawan utama yang menghalangi pencarian si pahlawan.
Donor, Memberi sebuah benda yang magis.
Dispatcher, Pengirim pahlawan pada sebuah  pencarian.
False Hero, Pengganggu keberhasilan pahlawan dengan membuat klaim palsu
Helper, Membantu dan menyelamatkan sang  pahlawan.
a. Princess, Menjadi hadiah bagi si pahlawan dan obyek penjahat.      
b. Father, Yang mengapresiasi usaha kepahlawanannya.  

Penting untuk disadari bahwa meskipun karakter ini tampaknya berdiri sendiri dalam menerjemahkan teks-teks modern. Casino Royale (Martin Campbell, 2006) memberikan sebuah studi yang menarik, seperti film tradisional, Casino Royale menggunakan pola dasar. Tujuh peran tersebut mudah diidentifikasi:
Pahlawan              James Bond / 007 (Daniel Craig)
Penjahat               Le Chiffre (Mads Mikkelsen)
Donor                   ?
Dispatcher            M (Judi Dench)
Pahlawan Palsu     Mathis (Giancarlo Giannini)
Helper                  Felix (Jeffrey Wright)
Princess                Vesper (Eva Green)
Father                    ?

Bond dan Le Chiffre melambangkan gagasan tentang pahlawan dan penjahat, karakter yang terbukti bermasalah. Vesper mungkin menjadi princess-nya karena dia adalah  bunga cinta untuk Bond, tapi dia juga bisa dianggap sebagai ‘penolong’ atau ‘pahlawan palsu’. Hal ini tidak biasa, karena biasanya karakter dapat masuk ke dalam lebih dari satu pola dasar. Dalam kasus Casino Royale sang Putri ‘Father’ tidak jelas dalam narasi meskipun Mathis adalah figur ayah untuk Vesper. Untuk memperumit masalah, ‘Donor’ Bond adalah Q; Namun, dalam film ini pria gadget yang pemasok keajaiban. Bond mengambil peran proaktif dalam mendapatkan alat-alat perdagangan (ia mengambil informasi dari laptop M dan menang atas Aston Martin), karena itu ia mengadopsi peran donor tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan Propp tidak ketinggalan jaman dan tidak hanya berlaku untuk dongeng saja. Pada pandangan awal muncul bahwa tidak muncul arketipe dari Propp, tapi dengan bantuan literasi berpikir tentang tujuh karakter biasanya kemudian ditemukan.  

Meskipun pendapat Propp penting, itu tidak memberikan pemahaman lengkap tentang narasi, tetapi menunjukkan bahwa ada struktur yang mendasari atau ada pola dalam cerita.

Banyak ahli berusaha untuk membangun teori sekitar struktur naratif, misalnya, Roland Barthes dan Christopher Volger. Ahli-ahli kontemporer juga tertarik untuk mengidentifikasi kesamaan dalam cerita. Misalnya, Chris Booker dengan The Seven Basic Plot: Why We Tell Story (2004) untuk mengidentifikasi cerita secara umum: mengatasi monster, pencarian kekayaan, petualangan, perjalanan (dan kembali), komedi, tragedi dan kelahiran kembali. Namun, di samping Propp, ada Joseph Campbell yang terkenal karena tulisan-tulisannya tentang menjelajahan para hero.

Joseph Campbell The Hero with Thousand Faces (1949)
Ilmuwan Amerika Joseph Campbell bekerja di bidang sastra dan mitologi. Dia awalnya ingin menulis ‘novel besar Amerika’ dan dalam rangka untuk mempersiapkan prestasinya, ia memutuskan untuk membaca nonel-novel klasik dan cerita-cerita mitologi. Seperti Propp, ia mulai menyadari bahwa cerita, asal muasal negara, berpegang pada pola umum yang sama. Dia mengidentifikasi bahwa semua cerita agama, mitologi dan karya-karya besar fiksi bersama sifat yang sama-sama mengenai perjalanan pahlawan. Dalam buku The Hero with Thousand Faces, Campbell memetakan penuturan pahlawan yang meninggalkan dunia nyaman dan aman, dipandu oleh mentor, untuk melawan kejahatan. Pahlawan menghadapi banyak rintangan tapi akhirnya mengatasi kekuatan kegelapan untuk kembali berjaya, yang tumbuh secara bersemangat. Campbell membagi fase kepahlawanan menjadi tiga bagian: ‘Keberangkatan’, ‘Inisiasi’ dan ‘Kembali’. Setiap bagian dibagi lagi menjadi aksi pada saat-saat yang spesifik. Campbell percaya bahwa kisah universal kepahlawanan ada di semua budaya. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa secara psikologis, orang berlatih hidup berpetualang untuk memenuhi panggilan moral.  

Joseph Campbell menjadi terkenal ketika George Lucas menggunakan cetak birunya dan menerapkan pada skenario Star Wars (1977).

Formalis juga prihatin dengan cara dunia sehari-hari yang diwakili dalam teks-teks. ‘Viktor Shklovsky dan Bertolt Brecht berusaha untuk mengurai bagaimana teks-teks kreatif (sastra dan teater) bekerja secara relevan dan menarik.

Viktor Shiciovsky ‘Art as Technique’ (1917)
Meskipun Shklovsky menulis tentang bahasa, ide-idenya dapat diterapkan untuk film. Dia menyarankan  dua cara yang berbeda dalam mengkomunikasikan informasi kepada audiens. Bentuk puisi menarik emosi penonton dengan menggunakan perangkat metafora abstrak untuk mengungkapkan sesuatu dalam cahaya baru alternatif, informasi dapat diberikan dengan cara blak-fakta yang didasarkan pada ide-ide sederhana dan dapat dianggap sebagai faktual. Untuk memperjelas, dalam Studi Film sering menggunakan istilah ‘denote’ (menunjukkan) dan ‘connote’ (berkonotasi). ‘Mendenotasikan’ adalah representasi harfiah dari subjek/objek, sedangkan ‘mengandung arti’ adalah representasi simbolis. Shklovsky menggunakan kata ‘Butterfingers’ sebagai contoh: […] perhatiannya tertuju pada seorang anak yang sedang makan roti dan mentega di sela-sela jari-jarinya. Saya panggil, ‘Hei, si jari mentega!’ […] Contoh lainnya, seorang anak memain-mainkan kacamata saya dan menjatuhkannya. Saya panggil, ‘Hei, si jari mentega!’  

Shklovsky, si anak dengan mentega di jari-jarinya, merupakan representasi harfiah, karenanya disebut denotatif. Versi kedua adalah simbolik, si anak bertangan bersih tapi ceroboh; dalam hal ini disebut konotatif. Shklovsky percaya bahwa konotatif/pendekatan puitis memiliki dampak yang lebih. Ia berargumen bahwa bentuk non-puitis menyebabkan persepsi kita tentang benda menjadi memudar karena kebiasaan. Tapi bentuk puisi membuat kita melihat hal-hal biasa dengan cara yang berbeda, untuk membuatnya familier tapi asing (ostra-nenie). Cara melakukannya adalah membuat ide-ide dan hal-hal yang tidak biasa atau baru untuk penonton/pembaca. Shklovsky menyebutnya sebagai ‘defamiliarizational’.  

Defamiliarization
Film adalah media yang fantastis dan karenanya cocok untuk defamiliarization. Yang biasa dibuat luar biasa, di mana penonton diajak melihat dunia melalui pandangan baru. Gagasan melihat hal baru adalah kiasan yang sering ditemukan dalam cerita film. Defamiliarization dapat terjadi dengan berbagai cara, contoh: Orang asing yang tiba di negara baru dan mengalami budaya baru: Lost in Translation (Sofia Coppola, 2003), The Last King of Scotland (Kevin Macdonald, 2006) dan Avatar (James Cameron, 2009). Karakter pemabuk (alkohol, obat-obatan). Prosesnya sering ditiru dalam teknik sinematografi-nya: shaky point-of-view shot, gambar blur, dll: Vertigo, Trainsporting (Danny Boyle, 1996) dan Requiem for a Dream (Darren Aronofsky, 2000). Dunia sehari-hari yang ditransformasikan oleh hal-hal magis, alien atau hal yang ilmiah: The Wizard of Oz, Invasion of the Body Snatchers dan Harry Potter. Cerita tentang kejadian tak terduga, yang mengarahkan penonton untuk menilai kembali tentang informasi sebelumnya. Contohnya The Crying Game (Neil Jordan, 1992), Fight Club (David Fincher, 1999) dan The Sixth Sense (M. Night Shyamalan, 1999). Semua itu adalah contoh karakter atau nartive-driven defamiliarization. Namun, teknik ini dapat terjadi pada sinematografi dan soundtrack-nya. Dalam film Apocalypse Now (Francis Ford Coppola, 1979) scene pembuka nya men-jukstaposisi-kan kipas angin di langit-langit dengan suara baling-baling helikopter. Ini berfungsi sebagai flashback, tetapi juga men-defamiliarizes kamar hotel bagi penonton.  

Bertolt Brecht Verfremdung
Ide-ide yang diambil dan dikembangkan oleh praktisi teater Bertold Brecht. Ia percaya bahwa penonton dekat terhadap pengalaman teater. Daripada mempertanyakan aksi yang disajikan, penonton akan lebih tertarik pada dunia fiksi cerita teater. Brecht merasa bahwa teater lebih menantang. Karenanya sejumlah teknik digunakan untuk menyadarkan penonton, dan mengingatkan fakta bahwa mereka sedang menonton drama. Verfremdung, diterjemah-kan ‘dibikin aneh’, atau ‘keterasingan’.   Beberapa hal untuk membuat efek ini: aktor memainkan lebih dari satu karakteraktor langsung berhadapan dengan penontontampilan tata cahaya dan peralatan teknis lainnya (mengingatkan penonton bahwa mereka berada di gedung pertunjukan)pergantian adegan yang dilakukan oleh pemain diperlihatkan penuh kepada penonton.eksperimen-eksperimen dengan teknologi baru (konveyor, eskalator, pengambilan gambar, dll.)menasihati penonton tentang apa yang akan terjadi sebelum terjadi (narator/teks pada layar). Teknik di atas diadopsi sebagai upaya untuk membuat penonton kritis (aktif) daripada tak berpikir dan menerima saja (pasif). Contoh dari verfremdung dapat ditemukan di film Lars von Trier ini Dogville (2003). Seluruh syuting film dibuat di panggung tanpa suara, di mana rumah-rumah direpresentasikan melalui bentuk set yang tak sepenuhnya.

Kesimpulan

Formalis Rusia telah meninggalkan warisan besar dalam teori film; sebenarnya dapat dikatakan bahwa teori modern dimulai para formalis Rusia sekitar tahun 1915. Teori formalisme dikembangkan oleh ahli bahasa, tetapi lebih dikenal di bawah payung istilah ‘strukturalisme.’ Dapat kita lihat bahwa formalis Rusia adalah pertama yang secara kritis mengeksplorasi analogi di antara bentuk-bentuk film. Mereka mengamati hal yang tampak pada film, melihat bagaimana film dibangun (naratif dan sinematografi). Selain semua itu, penting untuk diingat bahwa formalis merupakan bentuk yang istimewa atas konten. (Sumber: Etherington, Doughty, 2011)