Strukturalisme:
Teori yang secara khusus menganalisis struktur permukaan sebuah sistem dalam hal susunan yang mendasarinya.
Strukturalisme dikembangkan dari karya formalis. Awalnya sulit untuk membedakan di mana sebuah teori berakhir dan dimulai teori selanjutnya. Sehingga, hal ini berguna untuk memikirkan Strukturalisme sebagai kelanjutan dari ideologi teori formalisme. Formalisme berkaitan dengan perangkat dan aturan dalam pembuatan artefak budaya, di mana pengkarya aktif menggunakan teknik tertentu untuk mencapai tujuannya. Di sisi lain, strukturalis, mengembangkan kerangka makna; bagaimana penonton membaca dan memahami tanda-tanda dalam teks. Perhatian mereka difokuskan pada persepsi manusia, yang menggerakkan jauh dari teks tertentu dengan konteks universal yang lebih umum. Namun, tanda-tanda ini tidak selalu dalam kendali si pengkarya sebagai cara mereka membacanya dan tergantung pada interpretasi masing-masing individu. Strukturalisme dapat dilihat sebagai upaya bagi teks untuk dipahami sejalan dengan disiplin akademis.
Sangat menarik bahwa dalam waktu hampir bersamaan, tanpa saling mengetahui satu sama lain, Ferdinand de Saussure (ahli bahasa Swiss) dan Charles Peirce (seorang filsuf Amerika) terlibat dalam penelitian yang sama. Mereka menggunakan terminologi yang berbeda, Saussure memilih terminologi tanda dan Peirce lebih memilih simbol kata. Saussure mengadopsi pendekatan ilmiah untuk menemukan apa yang merupakan dan mengatur tanda-tanda (simbol), yang disebut ilmu semiologi. Sedangkan Peirce melakukan penelitian filosofis ke dalam simbol (tanda-tanda), yang dianggap sebagai dasar dari semua pemikiran dan ide-ide ilmiah; ia menyebutnya semiotika. Penting untuk dicatat, bahwa istilah semiotika dan semiologi sering dipertukarkan. Semiotika awalnya disukai oleh strukturalis Amerika, sedangkan akademisi Eropa menyukai semiologi.
Ferdinand de Saussare Semiotika – dalam Linguistik Umum (1915) Saussure adalah seorang profesor linguistik di Universitas Jenewa. Ia sering menyampaikan ceramah atau kuliah tidak tertulis. Setelah kematiannya ceramahnya ini direkonstruksi dari catatan kuliah mahasiswanya dan diterbitkan pada tahun 1915 dengan judul Course In General Linguistics. Pendekatan ilmiah untuk mempelajari bahasa, yang berangkat dari konvensi sebelumnya yang telah terlihat pada sejarah perkembangan bahasa. Premis utama penelitiannya adalah untuk mengeksplorasi bahasa sebagai serangkaian tanda-tanda. Rangkaian penelitian ini dikenal sebagai semiologi. Saussure membantu membuat studi semiotika sebagai sistem komunikasi. Ia mencatat bahwa: Bahasa terdiri dari dua elemen. Ia menyebutnya langue dan parole. Langue (bahasa) digunakan untuk menggambarkan seluruh kosakata (dan aturan tata bahasa yang memungkinkan kita untuk mengikat kata-kata untuk membuat arti). Sedangkan parole (bicara) adalah ucapan yang sebenarnya dari kosakata (kata yang diucapkan). Bahasa adalah sistem tanda dan tanda-tanda ini adalah acak (tidak saling berhubungan/random) dan didefinisikan berbeda dari kata lain. Bahasa hanya bisa dipahami dalam sistem budaya tertentu. Kata ‘dog’ tidak digunakan pada semua bahasa. Misalnya, di Perancis untuk anjing adalah ‘alien’ dan di Jerman adalah ‘hund’, meskipun semuanya mengacu pada hewan yang sama. Selanjutnya, dalam setiap budaya harus ada konsensus bahwa dalam tataran tertentu berfungsi untuk mewakili menggonggong, juga peliharaan berkaki empat, dengan ekor bergoyang-goyang. Tetapi, kata ‘gajah’ dengan mudah bisa dipilih untuk mengistilahkan ‘anjing’. Saussure punya statement terkenal yang menyatakan bahwa ‘pasti ada perbedaan’; bahasa yang hanya berupa serangkaian fonetik (bunyi) tidak cocok dengan serangkaian konseptualnya (image). Berarti, bahwa setiap tanda hanya memiliki arti karena berbeda dari yang lainnya. ‘Dog’ memiliki makna yang melekat; makna berbeda bisa datang dari kata ‘dug’, ‘dot’, ‘bog’, dll Semua ini lebih jelas jika kita lihat perbedaan antara apa yang disebut tanda, penanda dan petanda. Tanda Tanda mengkomunikasikan informasi. Itu bisa berupa apa saja; gambar, isyarat, kata (tertulis atau lisan), bentuk atau warna, dll. Tanda adalah langkah pertama dalam proses penafsiran. Namun, tanda-tanda tidak memiliki makna intrinsik; arti yang diberikan kepada tanda menjadi konvensi universal dan atau budaya. Sebuah tanda harus berdiri sesuatu untuk sesuatu yang lain. Misalnya simbol ‘+‘ dalam matematika menunjukkan bahwa dua angka atau lebih harus ditambahkan, sedangkan pada tombol pada remote control dapat digunakan untuk meningkatkan volume, atau untuk memindah saluran. Pada contoh ‘+‘ tanda menunjukkan kenaikan, baik dalam penjumlahan, volume atau saluran. Dalam hal ini ‘+‘ ini identik dengan pertambahan. Tanda ini terdiri dari dua komponen: penanda dan petanda. Signifier Signifier adalah bentuk tanda yang dibutuhkan. Ini dapat berupa kata. Dalam hal ini dapat mengambil bentuk suara atau tanda tertentu pada selembar kertas (kombinasi huruf atau simbol). Signified Signified adalah tahap konseptual komunikasi. Ini adalah ketika tanda merangsang ide/gambaran. Melanjutkan dengan contoh ‘dog’ di atas, Saussure memahami bahwa penanda (tertulis atau lisan kata ‘dog’) dan petanda (gambar mental hewan berkaki empat ini) seperti dua sisi dari selembar kertas; bersama-sama mereka membuat tanda, anjing. Namun gambaran ini dapat bervariasi dari tiap orang. Kemungkinannya, Retriever untuk yang berbulu panjang atau hitam, Labrador untuk yang berbulu pendek. |
Singkatnya, semiotika adalah studi tentang tanda-tanda dan simbol-simbol yang membentuk cara kita berkomunikasi. Pada tingkat yang paling dasar tiga komponen dari semiologi dapat disederhanakan menjadi: tanda (trigger /katalis), penanda (bentuk) dan petanda (konsep). Semiotik mengkoding hal-hal yang ada dalam film dan praktek industrinya.
Sumbu sintagmatik dan paradigmatik
Karena kekuatan coding semiotik diberikan pada respon penonton, pembuat film harus berpikir tentang pilihan yang dibuat dalam sebuah film. Ide linguistik dari sumbu sintagmatik dan paradigmatik dapat membantu kita mengevaluasi keputusan ini. Ini adalah cara yang berbeda untuk memahami tanda-tanda.
Sumbu paradigmatik
Sumbu paradigmatik harus dibaca secara vertikal. Hubungan paradigmatik terkonsentrasi dengan substitusinya. Contohnya, tim produksi dapat membuat pilihan-pilihan. Pertama, aktris/aktor yan dipilih, maka kebutuhan diputuskan dan akhirnya disepakati untuk berinteraksi dengan urutan pengadegan. Keputusan paradigmatik dan elemen-elemennya dapat diganti untuk alternatif vertikal-nya. Industri film membuat banyak keputusan paradigmatik yang berhubungan dengan aspek-aspek lain dari produksi film (bukan hanya menyangkut pilihan cerita saja), misalnya:
- Siapa sutradaranya?
- Siapa aktornya?
- Karakter apa dimainkan oleh siapa?
- Angle kamera yang digunakan pada tiap-tiap shot bagaimana?
- Siapa kru teknis yang dipekerjakan?
- Syutingnya di mana?
Daftar ini tidak pernah lengkap dan sempurna karena semua unsur dari pembuatan film memerlukan segudang keputusan. Namun, bagaimana satu keputusan berhubungan satu sama lain, dan berdampak pada gambar secara keseluruhan dapat diketahui melalui sumbu sintagmatik.
Sumbu sintagmatik
Sumbu sintagmatik harus dibaca horizontal. Hubungan sintagmatik merujuk kepada urutan. Setelah pilihan paradigmatik ditetapkan, cara di mana semua keputusan ini berinteraksi akan membentuk rantai sintagmatik.
Semiotika Formal
Dalam kapasitas sebagai penonton, kita mengembangkan kompetensi untuk membaca dan menafsirkan unsur-unsur formal dalam film (secara sadar atau tidak sadar). Pilihan estetika dan teknis yang dibuat oleh pembuat film mematuhi konvensi yang diadopsi oleh industri film dan ditetapkan sebagai praktek standar dari waktu ke waktu. Tabel daftar perangkat teknis dan makna semiotik populer-nya adalah:
KAMERA |
High Angle Shot sudut tinggi yang dapat menunjukkan hubungan kekuasaan dalam cerita. Ketika shot dibuat dari atas, benda atau karakter dapat terlihat kecil dan inferior. Low-angle Sebuah shot rendah yang membalikkan struktur kekuasaan. Kamera menunjuk ke atas akan menunjukkan kekuatan yang mendominasi. Zoom-in Kejadian penting telah terjadi, dan penonton disadarkan akan hal ini. Zoom-out Menunjukkan bahwa ada informasi di luar bidang yang terbatas, dan diperlukan bagi pemahaman penonton. Close-up Biasanya digunakan untuk membuat empati atau memberikan informasi rinci untuk penonton. Crane-shot Jenis shot yang menunjukkan transisi dari khusus ke umum. Aerial-shot Sering digunakan untuk menggambarkan perubahan dan untuk menunjukkan gambaran yang lebih luas. Deep-focus composition/ depth of field Sering berfungsi sebagai shot establish dalam film berbiaya besar. Menampilkan sejumlah shot spektakuler yang akan memperlihatkan keseluruhan. Kedua latar depan dan latar belakang berisi informasi penting, ada dua fokus, penonton harus aktif dalam membaca seluruh frame. Framing Di mana karakter muncul dalam frame mengungkapkan sejumlah besar informasi. Jika mereka berada di dalam layar akan menunjukkan bahwa mereka penting bagi cerita. Jika mereka dipindahkan ke sisi frame ini bisa jadi mencerminkan keadaan pikiran mereka, atau hubungan dengan orang lain (lemah, bingung, dll). Canted angle Adalah ketika frame dimiringkan. Ini biasanya mencerminkan bahwa ada sesuatu yang salah (karakter mengalami gejolak emosional atau ancaman krisis, dll). Atau digunakan oleh sutradara untuk mencapai estetika yang unik. |
EDITING | |
| Long take Pantas disebut sebagai sebuah teknik. Menunjukkan kepiawaian sutradara, aktor dan/atau sinematografer. Membuat penonton menyadari adanya proses dalam pembuatan film. Fast cutting Sebuah gaya kontemporer dalam pembuatan film yang mendikte kecepatan (pace). Dengan demikian memberi pengalaman menegangkan pada audiens. Montage Serangkaian shot-shot yang diberi selingan/sisipan untuk membangun berbagai perspektif. Penonton menyadari konvensi ini dan dengan senang hati menerima pemendekan untuk menyingkat secara sinematik berlalunya waktu, lokasi geografis yang berbeda, dll |
LIGHTING |
High-key lighting Tiga titik pencahayaan (utama, pengisi dan cahaya belakang) digunakan untuk mencapai cahaya naturalistik. Penonton memahami bahwa hal ini dimaksudkan agar cerita realistis. Low-key lighting Eksperimen di mana menghilangkan satu (atau lebih) dari standar set-up tiga lampu. Efek ini dikenal sebagai chiaroscuro. Tampilan bayangan sangat pekat, untuk menunjukkan sisi gelap (kerahasiaan, horor dan kegelisahan). |
MUSIK |
Kunci mayor Kombinasi notasi sebagai kunci mayor. Tema musik ditafsirkan oleh penonton semangat, heroik, menyenangkan, tidak rumit, dll Kunci minor Kombinasi notasi sebagai kunci minor. Tema musik menandakan hal-hal yang melankolis, sakit hati, penyesalan, dll Modal scale Variasi yang berbeda-beda yang menunjukkan mental gambar yang spesifik. Contoh, musik Dorian mengisyaratkan pedesaan Celtic sedangkan Phrygian menunjukkan tarian flamenco dan budaya Gipsy. Model ini secara sadar dibaca sebagai penanda lokasi geografis. Instrumental Instrumen tertentu membangkitkan genre filmis dan/atau identitas nasional. Misalnya banjo, harpa Yahudi, piano honky-tonk adalah instrumen yang berhubungan dengan Amerika Barat. Akordeon dengan Perancis, bagpipes yang synecdochical dengan budaya Skotlandia. Genre Genre musik tertentu digunakan untuk membangkitkan periode sejarah dan/atau budaya tertentu. Musik rock’n’roll sering dimainkan sebagai latar belakang untuk 1950-an, punk sebagai perjuangan kelas sugestif tahun 1970-an, dan, rap terkait dengan budaya Afrika dan gengster Amerika. Leitmotif Hal ini terjadi ketika tema musik digunakan untuk mewakili karakter, emosi, lokasi atau obyek dalam sebuah film. Leitmotif dibentuk, diulang lalu digunakan lagi dan ditafsirkan secara sadar atau tidak sadar oleh penonton. Rhythm dan tempo Ritme sepenggal musik dapat memberikan suatu kedalaman. Misalnya, Rirme putus-putus dapat digunakan untuk efek komedi atau untuk budaya rakyat. Selain itu tempo dapat mempengaruhi pilihan dalam editing dan merupakan bagian integral dari pacing sebuah adegan. |
Saussure memformalkan penelitian akademik untuk memahami mekanisme mental membaca tanda-tanda visual. Di atas kita telah lihat sejumlah cara di mana tanda-tanda dipekerjakan oleh industri film. Sementara pada saat yang bersamaan dengan Saussure, ahli matematika Amerika dan filsuf Charles Peirce sedang meneliti ide yang sama.
Charles Sanders Peirce Logika, Anggapan Sebagai Semeiotic [sic] (1902) Karya Peirce berbeda dengan Saussure, di mana ia mengidentifikasi tiga elemen penting dalam studi tanda-tanda. Daripada mengadopsi ide mapan tanda, penanda dan petanda, dia memperkenalkan syarat dalam tulisan-tulisannya yaitu: ikonik, simbolik dan indexical. Ikonic Ikon adalah ketika struktur visual menyerupai apa yang seharusnya berdiri. Misalnya menurut Peirce, lukisan dan foto klasik adalah ikon karena mereka berbagi kemiripan dengan subjek atau objek yang ditangkap. Ikon juga dapat mengambil bentuk ilustrasi atau diagram, contohnya gambar rokok menyala di lingkaran merah bergaris tengah memperingatkan bahwa dilarang merokok. Hal ini ikonik, karena gambar mewakili fisik rokok. Namun, lingkaran merah adalah contoh dari apa yang Peirce sebut sebagai simbolis. Simbolis Tidak ada hubungan yang jelas antara simbol dan maknanya. Hubungannya dipelajari dan dipahami oleh konvensi dan pendidikan budaya. Kita diajarkan sejak usia dini bahwa lampu lalu lintas merah berarti berhenti dan lampu hijau berarti jalan. Hubungan kita dengan warna lampu simbolik. Indexical Terdapat hubungan langsung antara apa yang ditunjukkan dan pemahaman kita tentang informasi tersebut. Cara termudah untuk mengingat hubungan indexical ini adalah memikirkan gejala-gejala medis; ruam menunjukkan virus. Perban menunjukkan luka. Contoh lain termasuk asap sebagai pertanda adanya api, dan lagu kebangsaan sebagai indikasi patriotisme. |
Sementara itu akademisi peneliti bidang semiologi yang berlatar belakang sastra/bahasa, Christian Metz mempunyai teori pertama yang mengakui potensi bidang ini dan menerapkannya untuk film sebagai sebuah disiplin.
Christian Metz The Imaginary Signifier: Psikoanalisis and the Cinema (1975) Ahli teori Perancis Christian Metz dikenal sebagai teoritikus pertama yang menerapkan semiotika pada studi film, ide-idenya yang diterbitkan dalam The Imaginary Signifier: Psikoanalisis and Cinema (1975). Metz percaya bahwa kita harus berpikir film sebagai semacam bahasa, mencoba untuk mengembangkan pemahaman tentang hal ini. Dalam film, opera dan teater penanda berbeda dengan yang yang ada dalam literatur, karena menarik kedua indera visual dan pendengaran sekaligus pada saat yang sama. Namun, dalam opera dan teater pengalaman diperkuat dengan fakta bahwa kinerjanya hidup. Sebaliknya, film memiliki keunikan bahwa tanda-tandanya (aktor, properti, musik, pengadegan, dll) tidak hadir secara fisik. Ketika kita menonton film apa yang kita lihat adalah sebuah bayangan, (jejak, hantu, duplikat, replika): yang aksinya berupa seluloid/digital yang tidak hadir secara fisik. Metz menyebutnya fenomena absentipresent yang menggambarkan fisik film: Sebuah gulungan strip berlubang yang ‘berisi’ lanskap, pertempuran, es yang meleleh, dan lain-lain namun dapat digulung dalam sebuah kaleng logam bulat yang sangat familiar, bentuknya sederhana, sebagai bukti nyata bahwa hal itu sungguh memuat semuanya tadi. (1982, p.44) Film itu seperti cermin, tapi perbedaannya besar, di mana tubuh penonton tidak pernah muncul sebagai bayangannya. Sebaliknyahal ini dapat dianggap sebagai jendela kaca, di mana penonton melihat ke dalam dunia imajiner. Metz mengembangkan karya Jacques Lacan pada ‘Mirror Stage‘, sebuah penelitian berdasarkan proses identifikasi anak-anak (Psikoanalisis). Karena penonton telah melewati proses identifikasi ini, mereka tahu bahwa gambar tidak hadir secara fisik di layar dan bahwa peran mereka sebagai penonton adalah untuk mengkonsumsi informasi. Penonton menyadari sepenuhnya bahwa mereka berada di bioskop dan mereka duduk dan sadar bahwa gambar pada layar itu untuk mereka. Karena bioskop digelapkan, mereka merasa bahwa mereka sendirian dan gambar yang ditampilkan hanya untuk mereka masing-masing. Selanjutnya, karena posisi proyektor ada di belakang penonton, gambar seolah berasal dari sisi pandang mereka. Hal ini pada gilirannya membantu mereka untuk mengidentifikasi dengan gambar pada layar secara lebih utuh. Metz mengeksplorasi ide ini secara lebih mendalam menggunakan istilah ‘projektif’ dan ‘introjective’ (ppA9-51). Dalam proses pembuatan film, rekaman aksi kamera kemudian ditransfer ke seluloid atau video. Selanjutnya, projektif kamera ada pada seluloid atau video, yang menerima rekaman gambar adalah introjective-nya. Ketika proses di atas ditransfer ke saat menonton film bioskop, proyektor mentransmisikan gambar (projektif) dan relay informasi layar (introjective). Metz menyamakan hubungan ini dengan prosedur mental yang dilakukan manusia ketika mengenali informasi visual. Kita melihat sebuah objek (projective) dan kita menguraikannya (secara tidak sadar) apa yang kita lihat (introjective). |
Meskipun yang dilakukan Metz ini biasanya terkait dengan Psikoanalisis, tapi sebagian besar didasarkan pada ide-ide semiologi. Penanda imajiner tumpang tindih baik dengan Strukturalis dan juga perspektif Psikoanalisis. Contoh di atas berkaitan dengan cara orang-orang bidang kreatif dan/atau penonton dalam membaca tanda-tanda visual di lingkungan produksi atau sinematik. Demikian pula, Roland Barthes dalam menulis kritiknya mengaitkan dengan lebih dari satu perspektif teoritis (Bartes tertarik pada ideologi Marxisme, Strukturalisme dan Post-strukturalisme).
Roland Barthes Mythologies (1957) Roland Barthes, seorang intelektual Perancis terkemuka dan profesor di College de France, terkait dengan sebagian besar perspektif teoritis utama kehidupan budaya Perancis setelah Perang Dunia II. Yang paling penting Karya Barthes sering dianggap sebagai serangkaian artikel yang merefleksikan budaya Perancis kontemporer. Artikel ini awalnya ditulis untuk majalah Les Lettres Nouvelles selama periode 1954-1956 dan diterbitkan di nama kolektif Mythologies. Hal ini penting untuk memahami bahwa penggunaan istilah tentang mitos Barthes berbeda dari interpretasi populer dari ‘mitos’ sebagai dongeng, cerita atau dongeng; sesuatu yang tidak benar-benar ada atau terjadi. Namun dalam bukunya Mythologies, Barthes menyatakan bahwa: ‘mitos adalah suatu sistem komunikasi, bahwa itu merupakan pesan. Hal ini memungkinkan seseorang untuk memahami mitos yang tidak mungkin menjadi konsep obyek atau ide; itu adalah modus penandaan, sesuatu bentuk’ Semua tanda-tanda dapat memiliki makna konotatif. Sesuai dengan atau melalui tanda-tanda, masyarakat tertentu mungkin menggunakannya dan menjadikannya sarat dengan makna. Misalnya merpati putih telah menjadi simbol perdamaian dan pohon cemara identik dengan Natal. Semua tanda-tanda dapat dengan sekehendaknya diberi makna. Dalam artikelnya ‘Myth Today‘ pada Mythologies, Barthes menunjukkan bagaimana hal-hal yang tampaknya netral dapat memperoleh makna berlapis-lapis. Contoh yang dikutip dari ide ini dari Mythologies adalah dari foto seorang tentara kulit hitam yang menghormat bendera Prancis tricolour, yang ditampilkan di sampul majalah Paris Match pada tahun 1955. Gambar adalah tanda bahwa individu tertentu berada pada waktu dan tempat tertentu. Tidak ada fokus pada sejarah pribadi si prajurit ini; sebaliknya ia menjadi metafora pada masalah sosial politik yang lebih besar. Mitos mengabaikan masa lalu dan gambar menjadi tanda yang mengusung konsep imperialisme Perancis: mitos keragaman bernegara yang hidup bersama dan harmonis di bawah satu bendera. Bagi Barthes gambar ini menandakan bahwa: Perancis adalah negara besar, bahwa semua anak-anaknya, tanpa diskriminasi warna, setia melayani di bawah satu bendera, dan bahwa tidak ada jawaban yang lebih baik kepada pencela dari kolonialisme dari semangat yang ditunjukkan oleh si Negro ini dalam melayani si penindas. Mitos, dalam arti Barthesian, berfungsi untuk membuat bangunan aspek budaya visual muncul secara alami (tentara negro dan bendera Perancis, yang secara sadar disatukan untuk membangkitkan pesan yang dimaksudkan). Yang membedakan analisis Barthes dalam Mythologies adalah konsentrasinya pada hal-hal yang tampaknya sepele; striptease, gulat, iklan sabun, dll, dengan pendekatan non-elitis-nya yang menyoroti fakta bahwa yang paling sepele sekalipun mungkin bisa menjadi sumber yang sarat dengan makna. Selain karyanya dalam Mythologies, Barthes mengidentifikasi dua kategori teks: teks kesenangan (plaisir) dan teks kebahagiaan (jouissance). Meskipun ia terapkan idenya pada bidang sastra, istilah ini sangat berguna dalam menganalisis film. Plaisir Jenis teks juga disebut sebagai teks yang ‘ramah’ karena fokusnya adalah untuk menyenangkan pembaca. Teks yang meyakinkan dan nyaman. Ini biasanya menegaskan keyakinan sosial dan identitas budaya. Hal ini diproduksi dengan membuat nikmat penonton dalam berpikiran. Dalam film, teks generiknya mengikuti harapan penonton. Film komedi romantis meningkatkan perasaan penonton dan kontennya. Film komersial secara umum dapat dianggap sebagai teks-teks plaisir. Jouissance Juga disebut sebagai teks writerly (penulisannya) karena niat penulis lah yang dikenakan pada pembaca. Teksnya mengusik dan menantang. Ini biasanya memper-masalahkan penerimaan ideologi sosial. Teks ini diproduksi untuk membuat pembaca secara terbuka menghadapi keyakinan mereka. Penerapannya dalam film, seperti film avant-garde dan pembuatan film eksperimental yang sering tak nyaman saat proses menontonnya. Demikian pula, banyak pembuatan film Eropa tidak membuat nikmat penonton dalam pikiran; tetapi terlihat disettle dan asing bagi penonton. Akibatnya, relevansinya dengan film adalah berapa banyak penonton yang berinvestasi dalam penafsiran teks film. Sedangkan Mythologies biasanya dianggap sebagai teks strukturalis, karena periode di mana itu ditulis, ide penelitiannya Barthes lebih dekat dengan mendekonstruksi dan konsen untuk menemukan arti alternatif. Pada dasarnya proses dekonstruksi ini terletak di jantung perdebatan Post-strukturalis; Oleh karena itu Mythologies harus dianggap sebagai penghubung antara Strukturalisme dan Post-strukturalisme. |
Post-strukturalisme
Post-strukturalisme: Kelanjutan dan kritik dari strukturalisme, khususnya yang digunakan dalam analisis kritik tekstual, yang menolak klaim strukturalis untuk objektivitas dan ke-komprehensif-an, biasanya menekankan pada ketidakstabilan dan pluralitas makna, dan kadang menggunakan teknik dekonstruksi untuk mengungkap asumsi yang dipertanyakan, juga inkonsistensi dalam wacana sastra maupun filsafat. |
Hal ini telah mengemuka bahwa Post-strukturalisme dimulai ketika Strukturalis mulai mempertanyakan kecukupan teori utamanya. Post-strukturalis konsen dengan mempromosikan gagasan, bahwa teks memiliki beberapa arti; interpretasinya tidak tetap dan dapat berbeda-beda dari orang ke orang. Jadi, Strukturalisme mengasumsikan stabilitas, Post-strukturalisme mencari perubahan dan ketidaksetabilan. Hal ini memunculkan ide yang tidak biasa, bahwa teori harus menekankan masalah interpretasi daripada berusaha untuk memahami teks. Post-strukturalisme mengacu pada tulisan Jacques Derrida.
Jacques Derrida Of Grammatology (1967) Jacques Derrida adalah seorang filsuf Yahudi Aljazair yang bekerja di Prancis dan Amerika. Derrida mengambil ide-ide Saussure dari tanda ekstrem yang sembarangan. Penelitian Derrida adalah berpusat pada gagasan tentang apa yang dia sebut ‘perbedaan’. Penting untuk dicatat bahwa dalam bahasa Prancis kata untuk perbedaan adalah “difference’ bukan ‘differance’. Dia mengubah ucapan ejaan dari ‘e’ menjadi ‘a’ untuk menonjolkannya. Differance Derrida menyatakan bahwa bahasa adalah rantai kata-kata yang tak terbatas. Untuk menjelaskan rantai ini ia memperkenalkan konsep perbedaan: kata-kata yang didefinisikan oleh perbedaan dengan kata lain, dan interpretasinya tergantung pada pembaca individu. Tidak ada makna yang tetap dalam teks, dan karena banyak kemungkinan, makna terus ditangguhkan (ditunda). Perbedaan ini juga penting untuk Studi Film. Saussure menyatakan bahwa: Signifier + Signfied = Sign. Di sisi lain Derrida percaya bahwa: Signifier + Signfied = Sign Signifier + Signfied = Sign Signifier + Signfied = Sign Pada tampilan pertama ide Derrida mungkin tampak jelas, tetapi rumus di atas secara visual mewakili gagasan tentang penundaan makna. Daripada tanda memiliki makna tunggal, interpretasi pribadi kita memungkinkan untuk tanda untuk mewakili siklus yang terus berkembang. Dalam rangka menggambarkan cara kerja ini dengan mempertimbangkan film A Clockwork Orange (Stanley Kubrick, 1971) di mana Alex (Malcolm McDowell) dan Droogs masuk ke rumah dan meneror satu pasangan, Kubrick telah memilih untuk mengiringi adegan ala Hollywood dengan lagu ‘Singin’ in the Rain‘. Lagu ini secara universal terkait dengan rutinitas tarian Gene Kelly dalam film yang sama, di mana ia dengan antusiasnya melompat keluar masuk genangan air dengan riang. Dalam versi Kubrick lagu ini di-juxtaposisi-kan dengan kekerasan ekstrim dan pelecehan seksual. Sedangkan rutinitas Kelly diselingi dengan percikan air, Alex menekankan beat dengan menendang dan mengejek korbannya. Apa yang awalnya polos, perayaan sukacita, cinta, menjadi menyajikan kegelapan, mengerikan, kontras dalam konteks memaksimalkan nilai kejutan. Oleh karenanya tanda itu dalam hal ini tidak stabil; itu menginvestasikan makna baru. Dekonstruksi Ide Derrida tentang ‘perbedaan’ menyebabkan perkembangan dekonstruksi. Dekonstruksi bukan teori; melainkan dianggap sebagai sikap interpretatif. Ini berusaha untuk menemukan pembacaan bervariasi pada teks daripada menerima penjelasan. Kelihatannya kontradiksi dan konflik dapat mengganggu kestabilan interpretasi tradisional. Hal ini sering dikritik karena memungkinkan overcomplicating teks yang tidak terbatas. Selain itu, pertanyaan dan praduga tradisional untuk mengungkap kecenderungan sosial dan budaya, Robert Hughes meringkas secara elegan pendekatan untuk analisis sebagai ‘benda budaya terpisah dari cakupan apapun untuk berkomunikasi’ (1971). Misalnya sekuen terakhir dari film Casablanca (Michael Curtiz, 1942), biasanya dibaca sebagai sebuah alegori untuk menarik orang-orang selama perang, patriotisme menjadi lebih penting dari kebahagiaan pribadi Ilsa (Ingrid Bergman) dan Rick (Humphrey Bogart). Namun, pembacaan dekonstruksionis bisa menafsirkan hubungan antara Rick dan Kapten Renault (Claude Rains) sebagai homoerotic. Hal ini ditinjau dari pernyataan akhir Rick kepada Renault: “Saya kira ini adalah awal dari sebuah persahabatan yang indah”. Hal di atas adalah contoh pembacaan teori Queer dari film Casablanca. Meskipun terkait dengan Post-strukturalisme, dekonstruksi dapat diterapkan sebagai perangkat analisis untuk berbagai agenda yang pada teori-teori lainnya, termasuk feminisme, Marxisme dan Postcolonial. Selain dapat berfungsi sebagai alternatif untuk kategori sejarah dan kebangsaan memungkinkan pula untuk gerakan-gerakan, seperti Ekspresionisme Jerman, Neo-realisme Italia, New Wave Perancis, dll. Sebuah aspek penting yang perlu diingat adalah bahwa dekonstruksi cocok untuk pembacaan politisasi karena pertanyaannya diterima di banyak hirarki budaya. Pendekatan untuk membaca teks ini sering disebut dengan ‘membaca melawan arus’ atau ‘membaca teksnya sendiri’. Singkatnya, dekonstruksi Derridean mensyaratkan bahwa setiap analisis harus dilakukan dari posisi skeptis dalam rangka untuk menarik alternatif perhatian/sudut pandang marjinal. Dekonstruksi mendestabilkan makna tekstual dan menantang harapan identifikas semiotik sebelumnya, secara ‘ilmiah’ untuk memahami kode filmis. Trace Dari studinya, Derrida memperkenalkan ide tentang ‘trace’ sebagai perangkat tekstual lanjut. Sebelumnya tercatat bagaimana film diciptakan dari tanda-tanda yang tidak hadir secara fisik (Metz, 1981). Obyek/subyek yang dihadirkan pada saat syuting tetapi ketika gambar/ dialognya ditransfer ke film yang tersisa adalah apa yang Derrida sebut sebagai ‘jejak’ (dalam bahasa Perancis trace berarti tapak). Jadi, tanda ada di sana dan tidak ada di sana. Ide ini tidak hanya terbatas pada tampilan untuk kamera tetapi juga dapat diterapkan secara umum kepada sejarah sinema dan/atau bentuk-bentuk pengetahuan budaya lainnya. Misalnya, sebelumnya film dapat mempengaruhi pembuat film seperti penontonnya. Pengaruh ini adalah saat ini dan tak ada. Demikian pula penafsiran kita tentang teks dipengaruhi oleh film-film sebelumnya telah kita lihat; kita membandingkan kontras teksnya baik secara sadar dan tidak sadar. Oleh karena itu kita melacak dampak pada setiap film yang kita tonton. Graft Sering dikaitkan dengan gagasan tentang ‘trace’, terdapat istilah postmodernis ‘graft’. Meskipun berasal dari postmodern, ‘graft’ dikembangkan dari kerja Post-strukturalis pada tanda dan makna. Ide Derrida dari ‘graft’ menunjukkan bagaimana tanda bisa berubah sesuai dengan konteks di mana ia bekerja. Misalnya, gambar seorang bintang dalam sebuah film, bagi penonton, adalah kenangan dari film yang telah ditampilkan sebelumnya. Logikanya lapisan bagian-bagian itu tidak harus dipertimbangkan dalam analisis. Ide ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari sumbu sintagmatik-nya Saussures. Sama pentingnya dengan dampak dari pengetahuan kehidupan nyata tentang bintang terkenal yang dapat menginformasikan kepada kita dalam membaca sebuah film fiksi. Hal ini mustahil untuk menonton filmnya Kubrick Eyes Wide Shut (1999) tanpa menyadari kehebohan media seputar retaknya hubungan Tom Cruise dan Nicole Kidman. |
(Sumber: Etherington, Doughty, 2011)