Realisme:
Dalam referensi bidang seni, film, dan sastra: Kemiripan atau kedekatan dengan hal-hal nyata; representasi kenyataan, menyajiakan rincian adegan secara tepat dari sesuatu yang nyata.
Sementara realisme dalam seni sering digunakan dalam konteks yang sama seperti naturalisme, yang menyiratkan representasi akurat dan obyektif, juga menunjukkan penolakan secara disengaja terhadap subyek konvensional secara jujur, tulus dan fokus pada perlakuan yang kurang ideal dalam kehidupan kontemporer. Secara khusus, istilah ini diterapkan pada pergerakan akhir abad ke-19 untuk seni lukis dan sastra Perancis.
Realisme menggambarkan gerakan sejarah tertentu dimana seniman sibuk bereaksi terhadap gerakan romantis pada akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas. Perhatian utama mereka adalah mencoba untuk menunjukkan realitas melalui seni. Realisme mulai di awal tahun 1850-an dalam seni lukis Perancis; yang menyebabkan perkembangan di bidang sastra dan juga teater. Secara historis, seni fokus pada menggambarkan dewa dan cerita mitis (klasisisme) dan eksternalisasi emosi manusia (romantisisme). Realisme merupakan upaya secara artistik untuk membuat ulang gambar yang muncul dalam kehidupan nyata atau untuk menggambarkannya secara akurat dalam literatur. Karya-karya ini cenderung memiliki subyek kontemporer dan tema biasa, yang penonton kenali dengan melihat keluar dari jendela dunia.
Pada 1870-an di Perancis, naturalisme, sebuah ide yang dicipta dan dikembangkan oleh Emile Zola mendapat perhatian. Dipengaruhi oleh Charles Darwin, Zola menggunakan pendekatan sastra ‘ilmiah’. Ia ingin karakter dibentuk oleh lingkungan sosial mereka, disajikan akurat dalam teks melalui deskripsi yang luas. Selain itu, topiknya sering kurang menarik, keras dan pesimis: seperti kemiskinan, rasisme, penyakit, seks dan prostitusi yang ditampilkan dengan lugas. Naturalisme, secara rinci mendetail ‘menceritakan semua kebenaran’, sebagai bentuk ekstrem dari Realisme.
Sebelum membahas Realisme dalam film, hal ini berguna untuk berpikir tentang istilah ‘realisme’ itu sendiri. Realisme adalah pilihan gaya. Ini adalah keputusan untuk menggunakan tipuan untuk meniru realitas. Realisme tidak pernah nyata. Sebuah contoh adalah seri terkenal lukisan karya pelukis surealis Rene Magritte (1928-9). Dalam karya-karya ini ia membuat gambar pipa yang sangat akurat, dan diberi judul ‘Ceci West pas Tine Pipa‘ (Ini bukan pipa). Magritte menunjukkan bahwa lukisan tidak lah nyata, tetapi merepresentasikan realitas senimannya. Dengan cara yang sama, kita bisa pikirkan para pembuat film sebagai presentasi kenyataan bahwa mereka ingin agar kita menerima.
Lukisan itu menimbulkan pertanyaan mengenai verisimilitude. Verisimilitude adalah istilah yang diadopsi dalam Studi Film yang artinya ‘tampilan yang benar atau yang nyata’; kemiripan atau kesamaan dengan kebenaran, realitas, atau fakta’. Hal ini dapat membantu untuk memikirkan kata ‘sangat mirip’ sebagai penjelasan saat memilih istilah. Misalnya, sebabak dalam drama sering memprovokasi perdebatan mengenai verisimilitude ini. Keaslian kostum dan properti sering dipertanyakan. Selain itu, semua film, bahkan cerita fiksi, memiliki beberapa unsur representasi yang realistis (karakter, lokasi, dll). Verisimilitude merupakan salah satu komponen dalam perdebatan Realis, tetapi dalam melacak asal-usul Realisme untuk film kita harus melihat karya fotografi dari Eadweard Muybridge.
Eksperimen Awal
Eadweard Muybridge adalah salah satu orang pertama yang bereksperimen dengan gambar diam, dan percobaan ini lah yang memungkinkan film untuk berkembang sebagai bentuk hiburan. Pada tahun 1877, Muybridge mengadakan taruhan untuk membuktikan bahwa ketika berlari, kuda mengangkat keempat tungkainya dari tanah secara bersamaan. Dia membuat pembuktian dengan menjajarkan beberapa kamera untuk menangkap gerakan berlari dengan film. Muybridge tertarik membekukan gerakan, menjadi pelopor eksperimen fotografi menginspirasi percobaan dan menciptakan aksi dari gambar diam. Semua film pada awal keberadaannya menunjukkan keasyikan dalam menangkap gerakan pada kehidupan nyata.
Pameran sinematik pertama tentang peristiwa nyata terjadi pada tahun 1890 ketika Lumiere bersaudara menampilkan La Sortie des Usines Lumiere/Workers Leaving The Factory (1895) dan L’Arrivee d’un Train a la Ciotat/Arrival of a Train at a Station (1897). Meskipun film-film ini bisu, sifat realistis gambar kereta datang ke arah penonton menyebabkan banyak penonton panik dan melarikan diri dari ruang pertunjukan. Film yang sangat singkat ini dibuat oleh Lumiere bersaudara yang dikenal sebagai actualites karena mereka mendokumentasikan peristiwa aktual. Belum lagi hingga Georges Melies mulai membuat film-film cerita dengan penceritaan ala panggung. Namun, upaya untuk mendokumentasikan kehidupan nyata telah menjadi untaian kebenaran dalam pembuatan film mereka sendiri.
Tradisi Dokumenter
Ketika kita berpikir tentang Realisme dalam film, tradisi pembuatan film dokumenter sering muncul dalam pikiran. Dokumenter berasal dari bahasa Perancis documentaire, yang berarti perjalanan, atau ilustrasi kuliah. Namun, istilah ‘dokumenter’ pertama kali diciptakan oleh John Grierson pada tahun 1926 dan ini identik dengan pencatatan fakta dan bukti. Hal ini penting bahwa bentuk filmis ini diakui sebagai sebuah konstruksi. Secara fiksional, film cerita fiksi dibuat secara sadar akan pilihan-pilihan dalam editing, pencahayaan, konten dll, pembuatan film dokumenter juga dirangkai demikian. Estetika dan jalan cerita dapat menciptakan perasaan nyata, tetapi tetap buatan.
Bill Nichols Model Dokumenter (2001) Bill Nichols adalah akademisi terkenal di garis depan studi dokumenter. Dari karya-karyanya ia telah mengidentifikasi enam mode generik. Kategori ini berfungsi sebagai alat untuk menilai Realisme dalam dokumenter, bentuk pembuatan film yang sering dianggap mewakili fakta yang tak terbantahkan. Rangkuman ide-idenya terdapat dalam model di bawah ini: Poetic Dipengaruhi oleh liris Avant-Garde pada pembuatan film tahun 1920-an. Mengabaikan editing kontinuitas dan temporal/hubungan spasial. Mood (suasana hati) dan tone (estetis) dari pada pengetahuan dan persuasi (informasinya). Karakter psikologisnya kurang dikembangkan. Sangat subjektif. Contoh: Koyaanisqatsi: Life out of Balance (Godfrey Reggio, 1982) dan Powaqqatsi: Life is Transmision (Godfrey Reggio, 1988). Expository Berdasarkan retorika dan argumentasi. Langsung menyapa penonton. Dokumenter ekspositori sering mengadopsi perspektif voice of God (suara-Tuhan) di mana informasi disampaikan kepada penonton (melalui voice-over atau judul). Membangun argumen kuat yang membutuhkan solusi. Contoh: serial Why We Fight (Frank Capra, 1943-4). Kebanyakan siaran berita juga mengambil formula ini. Observational Muncul setelah adanya perubahan teknologi (kamera ringan). Kamera mengikuti aksi, gambar sering goyang, rekaman gaya amatir. Tidak menonjol dan tanpa intervensi, pembuat film dianggap sebagai pengamat netral. Contoh: Last Waltz (Martin Scorsese, 1978). Participatory Keterlibatan langsung antara pembuat film dan subyek; sering menggunakan bentuk pertanyaan dan wawancara. Pembuat film aktif terlibat dalam film dokumenter ini karena mereka ikut campur dalam aksi. Contoh: Bowling for Columbine (Michael Moore, 2002), Living With Michael Jackson (Julie Shaw / Martin Bashir, 2003), Reflexive Bentuk dokumenter yang bertujuan untuk membuat penonton menyadari kecerdasan si pembuatan film tersebut. Menarik perhatian dari editing, konstruksi cerita, manipulasi, dll. Hal ini mempertanyakan Realisme dan kebenaran yang terkait dengan dokumenter. Contoh: Man With a Movie Camera (Dziga Vertov, 1929). Performative Personal, emosional dan subjektif merupakan ciri-ciri utama yang ditemukan dalam film dokumenter performatif. Hal ini sering digunakan sebagai kendaraan untuk hal-hal marginal (etnis minoritas, perempuan, gay dan lesbian). Pendekatan personal ini sering digunakan untuk mengeksplorasi isu-isu sosio-historis. Contoh: Paris is Burning (Jennie Livingston, 1990) dan Tongue Untied (Marion Riggs, 1990). |
Setiap kali mempelajari film dokumenter penting untuk mempertanyakan informasi apakah yang disampaikan. Kita perlu pendekatan genre dengan kehati-hatian dan skeptisisme. Kita dikondisikan untuk menganggap bahwa dokumenter obyektif dan bebas dari bias, sedangkan pada kenyataannya hal ini tidak terjadi. Film diproduksi melalui proses seleksi dan menyingkirkan bahan-bahan yang berhasil dikompilasi untuk disesuaikan dengan kepentingan sutradara.
Pembuatan Film Realis
Seperti adanya, menjadikan pembuatan film menjadi lebih baik, gerakan utama dikembangkan, dengan etos yang mendasari penciptaan penggambaran yang meyakinkan dari kehidupan sehari-hari. Kemajuan teknologi memungkinkan pembuat film dari berbagai negara untuk mencapai tampilan Realisme pada waktu yang berbeda. Ciri-ciri secara umum gerakan nasional tersebut meliputi:
- syuting di lokasi
- pencahayaan naturalistik
- long take
- kamera handheld
- dialog tanpa naskah
- terpengaruh oleh dokumenter
- terfokus pada kelas pekerja
- terdapat agenda politik.
Berikut adalah tiga contoh gerakan pembuatan film yang berusaha untuk menangkap pengalaman hidup yang nyata.
Poetic Realism
Realisme puitis menggambarkan jenis pembuatan film yang berlangsung di Perancis selama tahun 1930-an. Sutradara terkenal yang muncul dari era ini termasuk Jean Renoir, Marcel Carrie dan Julien Duvivier. Realis-puitis dipengaruhi oleh sastra naturalistik, khususnya tulisan-tulisan Emile Zola. Namun, itu bukan gerakan visual yang dikenal seperti montase Soviet atau Ekspresionisme Jerman; melainkan terdiri dari sekelompok kecil pembuat film yang karyanya menampilkan karakteristik dan tema serupa. Film Realis-Puitis, daripada berfokus pada kaum borjuis, cenderung menciptakan cerita tentang masyarakat dan mempolitisir kerasnya realitas yang mereka hadapi. Jean Gabin biasanya berperan sebagai orang biasa di banyak film pada periode ini. Gabin menjadi tokoh ikonik yang melambangkan kelas pekerja Prancis.
Ada dua periode yang berbeda dalam Realism Poetic Perancis: Popular Front Period (1935-7) dan National Front Period (1937-1940). Periode pertama menginformasikan tentang ideologi sayap kiri. Ini adalah era optimis pembuatan film yang menggambarkan masa depan yang cerah. Namun, pada tahun 1937 kaum liberal digulingkan dalam mendukung pemerintahan sayap kanan, dengan kembalinya kekuatan ke kelas menengah. Efeknya pada pembuatan film adalah kesombongan pesimisme sebagai bayangan fasisme mulai mengganggu.
Jean Renoir adalah sutradara yang paling penting terkait dengan Realisme Puitis di Perancis. Dia adalah anak dari pelukis impresionis terkenal Auguste Renoir dan pada kenyataannya banyak menjual lukisan ayahnya untuk membiayai film-filmnya. Meskipun ia pembuat film naratif dan aktor, ia tertarik dengan film dokumenter; sesuai gaya filmisnya yang berakar pada estetika realistis.
Renoir sering disebut sebagai pelopor kekuatan di balik “long-take” (Bordwell dan Thompson, 2003, p.292), karena ia percaya bahwa kamera tidak boleh memanipulasi penonton. Penonton harus bisa menavigasikan arah mereka di sekitar frame daripada dituntun secara visual. Hal ini mengakibatkan gaya filmis yang bergantung pada framing, reframing, panning dan tracking daripada editing. Secara estetis, Renoir ingin kamera menirukan arah dan gerakan mata manusia.
Teknik selanjutnya yang terkait dengan sutradara Perancis adalah ‘deep-focus photography‘. Sekali lagi kamera mereproduksi aksi mata manusia, di mana kedua latar depan dan latar belakangnya fokus. Melalui deep of field dengan jelas penonton bisa melihat aksi yang terjadi baik di latar depan maupun latar belakang. Gaya syuting ini adalah gaya revolusioner, yang secara teknis sulit untuk memastikan bahwa subjek yang dekat dan yang jauh dari kamera tetap fokus. Andre Bazin mengidentifikasi dampak estetika gaya syutingnya, ia menemukan bahwa:
- “Dept of field” ini mirip dengan cara kita mengalami dunia nyata. Perangkat menirukan cara kita melihat (kita yang memutuskan mana yang harus fokus, seperti kita melihat di sekitar). Dengan demikian ‘strukturnya lebih realistis’.
- “Long take” mengharuskan penonton lebih aktif dalam mengartikan informasi. Partisipasi ini membuat pengalaman sebagai penonton lebih menyenangkan, bebas untuk melihat bagian-bagian dalam frame.
- “Montage rules out ambiguity“. Perspektif penonton diarahkan dan tidak ada pilihan. Sedangkan kedalaman fokus menampilkan kembali ambiguitas. Penonton harus memutuskan untuk fokus di bagian mana.
Ketika Nazi berkuasa, Renoir melarikan diri ke Hollywood. Di sini ia mengerjakan sejumlah film yang gagal meraih pujian seperti film-filmnya di Eropa. Namun, pendekatan gayanya menginspirasi sejumlah sutradara dan praktisi. Pengaruhnya terlihat paling jelas dalam karya Gregg Toland dan Orson Welles. Sebagai contoh, kolaborasi mereka di film klasik Citizen Kane, terkenal dengan teknik fotografi deep-fokus. Penggunaan deep focus membuat adegannya jauh lebih aktif bergerak.
Selain pengaruh Realisme-Puitis di Amerika, karya Renoir selanjutnya menginspirasi generasi baru pembuat film di Perancis. Para sutradara New Wave Perancis mendukung upaya Renoir untuk menciptakan verisimilitude. Namun, mereka bereksperimen dengan bentuk-bentuk realis dalam rangka untuk menantang penonton dan membuat mereka menyadari posisi mereka sebagai penonton. Misalnya, dalam film karya Jean-Luc, Godard Week End (1967) ada long take yang berlangsung selama sekitar delapan menit. Adegan dari kemacetan lalu lintas, single shot yang lama dan memilukan, penonton menjadi frustasi, emosi yang terjadi dalam kehidupan nyata ketika terjebak dalam situasi yang sama. Teknik long single takes dikerjakan di salah satu film New Wave Prancis paling awal Les Quatre Cents Kudeta/400 Blows. Pada akhir cerita, kamera track ke tokoh protagonis muda yang sedang berjalan, berjalan, dan terus berjalan.
Silakan tonton lebih lanjut:
- La Grande Illusion/The Grand Illusion
- Pepe le Moko (Julien Duvivier, 1937)
- Le Bete Humaine/The Human Beast
- La Regle du Jeu/The Rules of Game
- Les Enfants du Paradis/Children of Paradise (Marcel Came, 1945)
Neo-realisme
Neo-realisme adalah label yang diberikan oleh para kritikus kepada sekelompok pembuat film Italia setelah Perang Dunia II, sepanjang tahun 1945-1952. Vittorio De Sica, Roberto Rossellini, Luchino Visconti dan Cesare Zavattini adalah tokoh utama dalam mempromosikan gaya pembuatan film yang dipengaruhi secara kuat oleh Realisme-Poetic. Salah satu karakteristik utama adalah bahwa yaitu berpusat pada sosial-historis dan memiliki kecenderungan politik. Neorealists Italia mencari bahasa sinematografi untuk menangani estetika tentang perang, perjuangan partisan, pengangguran, kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Pendekatan gaya mereka termasuk lokasi syuting, penggunaan aktor non-profesional, efek dokumenter (stok film yg kasar/berbintik), handheld dan dengan sedikit atau tanpa editing. Meskipun pembuat film ini terkenal karena kecenderungan Realis mereka, pada penelitian lebih lanjut verisimilitude tersebut dapat dipertanyakan karena ini set-nya ‘alami’ yang dibikin dengan cara dirancang untuk menyoroti isu-isu sosial.
Kualitas film-film dokumenter ini adalah fitur penting. Misalnya, dalam Paisa Raisan (1946), Rossellini memperkenalkan setiap episode dengan voive-over berwibawa. Dengan hati-hati mencampur ‘fakta’ dan ‘fiksi’ dengan cuplikan newsreel yang sebenarnya, dikombinasikan dengan stok film kasar dan cerita dari skrip, yang menghasilkan sepenggal pengalaman hidup. Efek visual yang diciptakan oleh kualitas pencahayaan dan kamera sudut akan memperkuat perasaan keaslian harapan pemirsa dari newsreel tahun 1940-an. Meskipun Rossellini menggunakan aktor non-profesional, mereka didukung dengan beberapa aktor profesional dalam peran-peran penting. Misalnya, dalam babak pertama Sisilia, bermain gadis muda Italia Carmela (Carmela Sazio) yang ditemukan di desanya oleh Rossellini, sementara Joe (Robert Van Loon), teman Amerika-nya benar-benar Gl (tentara). Membiarkan mereka untuk berbicara dengan bahasa Jerman, Italia dan Amerika untuk meningkatkan keaslian dialog. Selain itu, dialog tanpa naskah sebenarnya sudah disiapkan beberapa bulan agar tampak alami dan spontan.
Neo-realis bertujuan untuk mengekspos realitas yang diderita oleh orang-orang biasa juga wanita dan anak-anak. Lokasi syuting memperlihatkan kehancuran pasca perang yang dialami Italia. Bangunan rumah petak yang dibom dan mendokumentasikan kehidupan sehari-hari seperti yang terlihat dalam film Roma Citta Aperta/Rome Open City (Roberto Rossellini, 1945). Gaya dokumenter ini membuat penonton berfikir dan mempertanyakan kehancuran perang. Namun, dalam film-film ini, banyak yang bertentangan dengan kecenderungan Realis yang tergantung pada perangkat melodrama seperti identifikasi pada karakter sentral. Kritikus terkenal Andre Bazin mencatat, “realisme dalam seni hanya dapat dicapai dalam satu cara – melalui kecerdasan” (1971, p.26). Jadi terlepas dari penggunaan beberapa perangkat (aktor profesional, naskah dialog, melodrama) tingkat Realisme mempertahankan yang tidak pernah terdengar dalam pembuatan film saat ini (stok film yang kasar dan upaya untuk meniru rekaman newsreel, lokasi shooting wartorn dan masyarakat umum dalam peran).
Tontonlah Lebih Lanjut:
- Ladri di Biciclette/Bicicle Thieves (Vittorio De Sica, 1948)
- Germania Anno Zero/Germany Year Zero (Roberto Rossellini, 1948)
- La Terra Trema/The Earth Trembles (Luchino Visconti, 1948)
- Beitissima/Beatitiful (Luchino Visconti, 1951)
- Umberto D (Vittorio De Sica, 1952).
Tradisi Realis di Inggris
Realisme dalam pembuatan film di Inggris telah mengalami beberapa kali reinkarnasi:
- 1940 Realisme Masa Perang
- 1950-1960 New Wave
- 1980 Realisme Sosial.
Inggris telah mendapatkan kepentingan internasionalnya pada budaya film yang berfokus pada isu-isu sosial.
Pelopor dan pengaruh yang kuat pada film-film Inggris Sosial-Realis adalah karya pembuat film dokumenter John Grierson. Karya Grierson ini muncul terkuat di tahun 30-an. Ia menyatakan bahwa film dokumenter harus menjadi ‘interpretasi kreatif aktualitas’ (Ellis dan McLane, 2006, p.70). Namun, Paul Rotha mencatat bahwa pembuatan film Inggris awal tidak memiliki cita rasa kebangsaan. Dia percaya bahwa produksinya berusaha untuk meniru baik gaya Amerika atau gaya Jerman (1999, hal.195).
Saat Inggris berperang dengan Jerman, intervensi pemerintah dalam industri film menjadi lebih jelas. Departemen Penerangan (MOI) mengakui potensi propaganda dalam film dan diinvestasikan dengan adanya campur tangan dalam hal produksi.
Realisme jaman perang 1940-an
Setelah pecahnya Perang Dunia II, realisme sebagai alat propaganda. MOI menjadi begitu terlibat dalam menyetujui script; terutama yang menekankan penyebab umum orang Inggris bersatu. Film seperti Million Like Us (Sidney Launder dan Frank Gilliat, 1943) mengkombinasikan dokumenter Realisme dengan konvensi film cerita. Dimulai dengan urutan montase dan voice-over yang meniru newsreels. Adegan film dokumenter menunjukkan kehidupan masa perang dengan serangan udara, manuver pasukan, pantai berbenteng dan evakuasi anak-anak. Dalam film-film sejenis ini dan banyak wanita yang tengah tampil untuk berpartisipasi dalam perang. Mereka terlihat melakukan pekerjaan laki-laki di pabrik-pabrik, yang kontras dengan keasyikan biasa di pembuatan film Realis dengan kelas pekerja laki-laki kulit putih. Namun, pada pertengahan 40-an penggunaan rekaman faktual dan informasi berlebihan dari pemerintah sangat didaktik dengan memasukkan ke dialog yang menyebabkan film-film ini kehilangan popularitas pada penonton.
Tontonlah lebih lanjut:
- Target for Tonight (Harry Watt, 1941)
- Went the Day Well (Alberto Cavalcanti, 1942).
Setelah perang ke pertengahan 50-an pendekatan Realis berkurang, di mana penonton menyukai technicolour dan film cerita escapist seperti yang dihasilkan oleh Powell dan Pressburger.
British New Wave (1959-1963)
Produk-produk dari British New Wave Cinema juga dikenal sebagai ‘kitchen–sink’ dramas dan film ‘Angry Young Men‘. Gerakan ini sering dianggap sebagai kelanjutan dari Free Cinema. Terminologi ‘Free Cinema‘ berkaitan dengan proyek empat tahun yang didirikan oleh Lindsay Anderson, Tony Richardson dan Karel Reisz. film mereka diproduksi menggunakan ideologi sebagai berikut: bebas dari tekanan box–office, bebas memilih tema dan bebas untuk mengembangkan pembuatan film dari bioskop komersial mainstream.
Kritik film ini dijuluki ‘New Wave‘ karena kesamaan kekurangan pada karya yang dirasakan oleh sutradara seperti Anderson, Richardson, Reisz, Clayton dan John Schlesinger. Shot hitam dan putih, dengan kamera handheld, estetika mereka muncul dari kekurangan dana, teknologi yang tersedia dan keinginan untuk terlibat secara ‘nyata’ Britania. Dibanding karakter-kelas menengah biasa dari London dan bagian selatan, sutradara ini ingin menyajikan kelas pekerja utara. Penekanannya pada aksen daerah yang berbeda dengan pengucapan yang diakui (Queen English/BBC English) yang lazim pada kebanyakan film pada periode ini. Cerita bertujuan untuk mensimulasi pengalaman kelas pekerja tanpa memasukkan pekerja dalam efek komik atau sebagai karikatur pendukung ‘garam-dunia’.
Tema seperti alkohol, seks, olahraga, aborsi, prostitusi, homoseksualitas, kemarahan, depresi, keterasingan, uang dan kemiskinan digambarkan secara realistis untuk mengilustrasikan masyarakat kelas pekerja membebaskan diri dari konvensi sosial. Ini adalah wilayah baru yang menggambarkan kemarahan kaum muda Inggris secara berani dan terang-terangan. Karakternya biasanya pekerja pabrik, pegawai kantor rendahan, istri yang tak puas, pacar yang hamil dan pelarian. Selain itu, unsur misoginis yang kuat ditampilkan dalam film sebagai reaksi terhadap perempuan yang memasuki ranah pekerjaan laki-laki selama masa perang.
Tontonlah lebih lanjut:
- Look Back in Anger (Tony Richardson, 1959)
- Room at the Top (Jack Clayton, 1959)
- Saturday Night and Sunday Morning (Karel Reisz, 1960)
- A Taste or Honey (Tony Richardson, 1961)
- A Kind of Loving (John Schlesinger, 1962)
- The Loneliness or the Long Distance Runner (Tony Richardson, 1962)
- This Sporting Life (Lindsay Anderson, 1963).
Era 70-an terlihat iklim ekonomi yang sangat bermasalah dan masa sulit bagi bioskop Inggris terhadap keuangan Amerika, karenanya film terhenti pada akhir tahun 60-an dan studio UK ditutup.
1980-an dan seterusnya
Sebelum tahun 80-an pemerintahan Margaret Thatcher menghidupkan kembali Realisme-Sosial. Thatcherisme mengurangi bantuan negara untuk seni. Channel 4 dimulai pada tahun 1982 bertujuan menarik kelompok minoritas. Dengan demikian, ditugaskanlah perusahaan produksi independen, yang menghasilkan serangkaian film beranggaran rendah-menengah antara tahun 1981 hingga 1990. Ken Loach dan Mike Leigh adalah dua sutradara terkenal pada masa ini.
Loach menarik ke perhatian publik dengan drama televisi seperti Cathy Come Home (1966). Sepanjang karirnya ia mengembangkan gaya dan tema naturalistik tertentu yang mengidentifikasikan film-film buatannya. Ia menggunakan aktor tidak terkenal, misalnya, pada film Riff-Raff (1991), setting dalam bangunan industri, ia menggunakan aktor yang bekerja di situs bangunan untuk Kes (1969), ia pilih anak-anak setempat dari jalanan untuk membintangi filmnya. Seiring dengan harapan estetika Realisme, tema Loach tentang masalah sosial dieksplorasi dalam gaya politik yang terang-terangan. Dia memiliki sabun-kotak untuk berbicara tentang perspektif moral, tetapi tidak menawarkan solusi (open-ended-narative).
Mike Leigh terlatih dalam bidang teater dan dipengaruhi oleh karya Samuel Beckett dan Harold Pinter. Tidak seperti Loach, Leigh tidak memiliki agenda politik yang pasti. Sebaliknya ia berfokus pada dampak atas hubungan intim terhadap individu. Ia terkenal dengan gaya latihan tanpa naskah. Tema disajikan melalui dunia tragi-comic, gabungan dari tragedi dan humor yang dikembangkan dengan padat. Film-filmnya berkonsentrasi pada dinamika yang menjengahkan, yang sering menyiksa batin bila mengikutinya.
Ken Loach dan Mike Leigh telah mengilhami generasi baru sutradara yang bernada sama. Shane Meadows barangkali yang paling terkenal. Namun, ada satu perbedaan penting. Loach dan Leigh, seperti halnya sutradara British New Wave, mereka belum menunjukkan film kelas menengah yang asyik menggunakan kelas pekerja sebagai subjek. Sebaliknya, Shane Meadows dibesarkan dan menjadi milik masyarakat yang ditampilkan dalam karyanya. Geoffrey Macnab berpendapat, bahwa pengamatan Meadows ini berdasarkan ‘perspektif dari dalam daripada simpati pihak luar’ (1998, pp.14-16).
Meadows memulai karirnya dengan membuat film pendek, bersama dengan sekelompok orang yang sepaham dan sukses menyelenggarakan festival video internasional. Temanya mencakup kelas pekerja kulit putih, kelas bawah, identitas nasional, rasisme, xenophobia, patriotisme, kekerasan dan persahabatan. Dia dikenal sebagai pemeran muda dan berpengalaman. Pilihan musik penting untuk mencerminkan lokasi perkotaan dan karakterisasi muda pada film.
Tidak seperti Realisme-Puitis Prancis dan Neo-realisme Italia, tradisi Sosial Realis British sedang terjadi. Samantha Lay berspekulasi bahwa Britania menjadi lebih multikultural, terminologi tentang ‘British’ yang mencakup banyak kelompok yang berbeda. Selain itu, ia memperumit persoalan ini dengan mengatakannya bahwa “iklim pasca-devolusi, akan berbicara tentang realisme sosial di Welsh, atau realisme sosial Skotlandia saja?’ Ini dapat memper-kaya debat Realisme masa depan.
Metode Akting
Istilah Method Acting menggambarkan pendekatan khusus dalam pemeranan. Idenya berasal dari ajaran Lee Strasberg, kepala Actor Studio di New York. Bedasar karya Constantin Stanislayski, ia mengembangkan gaya akting yang menginformasikan koneksi psikologis individu dengan peran tertentu. Dalam rangka menciptakan penggambaran terpercaya/realistis, aktor harus membuka emosi yang tepat dari kehidupan mereka sendiri. Strasberg mendorong pemeran untuk mengingat kejadian tragis, saat gembira dan saat sedih. Mereka kemudian akan ingat bagaimana merasakan dan menerapkannya ke karakter mereka di atas panggung atau di layar.
Metode akting dianggap revolusioner sebagai perpindahan dari drama tradisional, ke pendekatan untuk akting. Akting yang dramatis melibatkan eksternalisasi perasaan aktor melalui perubahan mimik dan intonasi vokal. Gaya akting berasal dari teater, di mana gerak/isyarat besar terlihat oleh penonton secara jelas adanya gestur emosional dari pemeran yang ada di atas panggung. Metode akting di sisi lain, terhubung dengan internalisasi emosi. Pendekatan psikologis ini dianggap lebih realistis daripada pendekatan over-the-top pada pertunjukan teater kuno.
Siswa-siswa terkenal di kelas Actors Studio termasuk Dustin Hoffman, Paul Newman, Marilyn Monroe, James Dean, Marion Brando dan Al Pacino. Terkadang Method Actors dikritik karena menggunakan peran yang terlalu serius. Ada insiden yang banyak dikutip, ada dua versi, diduga telah terjadi pada set Marathon Man (John Schlesinger, 1976). Dustin Hoffman perlu tinggal selama tiga malam dalam rangka untuk meniru dan memainkan karakter dan/atau berlari setengah mil hingga kehabisan napas dalam sebuah adegan. Laurence Olivier, co-star nya, meminta penjelasan atas perlakuan anehnya. Hoffman menjelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk mewujudkan peran yang dimainkannya. Olivier menjawab ‘Cobalah ber-akting, Nak.‘
Meskipun kejadian ini masih diragukan, tetapi menggambarkan pemikiran dua sekolah dalam mempersiapkan pemeranan.
Realisme Temporal
Salah satu tantangan dalam rintisan sinematik awal adalah cara menunjukkan berlalunya waktu. Hal ini dicapai gengan mengunakan berbagai cara menarik dengan tiruan-tiruan yang alami. Namun, kemajuan teknologi memungkinkan sutradara mengatasi keterbatasan ini. Di tahun 2000-an kita menyaksikan sejumlah film yang memilih skenario real-time. Hal ini dicapai dengan Real-time narative dan/atau Real-time filmmaking.
- Real-time narative: artinya bahwa peristiwa dalam film terjadi dalam waktu yang sama dengan yang penonton saksikan. Telepon Booth (Joel Schumacher, 2002), Timecode (Mike Figgis, 2000) serial televisi 24 (2001-11) semua mengikuti tren ini. Menariknya, ketiga contoh ini menggunakan teknik splitscreen untuk menceritakan kisahnya. Ini mirip dengan deep-focus-photography yang digunakan oleh penganut Realis-Puitis karena penonton menavigasi sendiri peristiwa dalam film tanpa harus dibimbing.
- Real-time filmmaking: Menggabungkan ide tentang real time ke dalam film secara ekstrem dari sutradara Rusia Aleksandr Sokurov dalam film Russian Ark (2002). Dibuat dengan teknik single take. Film ini berlokasi di Museum Hermitage di St Petersburg dengan 2000 pemeran, Russian Ark dibuat secara real time dengan steadicam. Ini merupakan landmark dalam sejarah perfilman sebagai film cerita yang berlangsung selama sembilan puluh enam menit tanpa editan.
Banyak film lain yang bermain dengan kontinuitas temporal. Misalnya, film Cache/Hidden (Michael Haneke, 2005) diawali dengan gambar yang dianggap sebagai establishing–shot. Berupa single take dari luar sebuah rumah. Saat pengambilan gambar tanpa putus penonton kehilangan perhatian karena panjangnya shot. Namun segera tersadar saat gambar tiba-tiba freze dan rewind. Apa yang penonton pikir sebagai shot pembuka yang panjang itu ternyata harus memperlihatkan protagonis. Di sini realitas menjadi tidak stabil, yang mana penonton bisa salah arah dan mengganjal sejak awal film.
Bereksperimen dengan waktu dalam film dapat menghasilkan cara bercerita yang menarik yang bertentangan dengan pendekatan formula. Metode eksperimental sutradara itu disebut memicu pertanyaan penonton pada realitas dan persepsi. Anggapan mengenai ide ini jauh sebelumnya telah dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Walter Benjamin.
Walter Benjamin Karya Seni di Era Teknik Reproduksi (1936) Esai Walter Benjamin membahas bagaimana perkembangan teknologi mempengaruhi seni. Seni selalu direproduksi secara manual melalui teknik yang tersedia di jamannya. Misalnya, orang-orang Yunani mereplikasikan koin bergambar Victoria dengan litografi (cetak menggunakan tinta). Contoh ini menunjukkan keterlibatan manual. Namun, dengan perkembangan kamera dan fotografi, proses menciptakan gambar menjadi lebih cepat; ‘Operator film melakukan syuting adegan di studio menangkap gambar secepat bicara aktornya’ (Braudy dan Cohen, 2004, p.792). Bagi Benjamin pengembangan reproduksi mekanik memiliki dampak besar pada cara kita melihat dan memahami seni. Ia berpendapat bahwa karya seni asli mengandung ‘aura’; yang artinya bahwa tetap ada makna asli tertentu yang tidak dapat direplikasi selama proses penyalinan. Pertimbangkan karya terkenal Leonardo da Vinci berjudul Mona Lisa, lukisan ini telah banyak direproduksi pada t-shirt, tempat pensil, poster, payung, mug, dll. Menurut Benjamin imitasi ini telah melucuti aura yang terdapat dalam makna aslinya: ‘orang-orang telah mengalihkan kebutuhan tuntutan seni dari penonton‘ (p.808). Untuk mengalami sendiri esensi dari karya Da Vinci kita perlu mengunjungi Louvre di Paris. ‘Aura’ yang merupakan bagian argumen integral Benjamin terhubung dengan ide ritual; kita mencari gambar ikonik di museum atau tempat-tempat ibadah. Setelah ke luar konteks karya ini seni terdevaluasi. Namun, di jantung tesis Benjamin terdapat sebuah paradoks. Sebagai Marxis ia mendukung gagasan partisipasi yang lebih luas, percaya bahwa masyarakat harus memiliki akses ke karya seni. Namun dalam tingkat interaksi aura objek tersebut pasti hilang. Dalam hubungan ide-idenya untuk film, ia mengeksplorasi peran aktor. Di teater, pemain memiliki satu kesempatan untuk menyampaikan aturan mereka sendiri. Saat melakukannya di depan kamera, aktor film bisa jadi melakukan beberapa kali take, yang problematis terhadap ide tentang orisinalitas. Aktor teater dapat bereaksi dengan penonton untuk menghasilkan ‘keaslian’ karena mereka hadir secara fisik. Aktor film, di sisi lain, kehilangan aura keasliannya, karena kinerjanya dilihat oleh penonton hanya dari rekaman saja. Pandangan Benjamin ini pada gilirannya menjadi penting karena kita merangkul teknologi digital yang berdampak pada ide-ide Realisme. |
Realisme digital
Metode digital telah diadopsi oleh banyak pembuat film. Dalam dekade terakhir hal ini telah memicu perdebatan tentang Realisme. Sebelumnya, industri memanfaatkan film 16mm atau 35mm sebagai standar, yang selalu mensyaratkan tingkat kerusakan ketika di-copy. Di sisi lain, video digital dapat direproduksi tanpa banyak penyusutan kualitas. Ini berarti bahwa gambar yang diambil mempertahankan kualitas kejelasan dan karenanya lebih realistis. Hal ini memungkinkan untuk mengantisipasi semua perkembangan baru yang mungkin timbul dari munculnya teknologi digital. Kita tidak dapat memprediksi efek kemajuan tersebut pada cara kita menafsirkan film. Stephen Prince mulai meneliti masalah ini di tahun 1996.
Stephen Prince True Lies: Perceptual Realism, Digital Images and Film Theory (1996) Tertulis di Film Quarterly, Stephen Prince adalah akademisi pertama yang memulai perbincangan dan pertanyaan tentang bagaimana pembuatan film digital akan berdampak pada teori film. Dia menyatakan bahwa: Sifat cepat dari perubahan ini menimbulkan masalah bagi teori film. Karena manipulasi gambar digital begitu asing dan menawarkan kreasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dampaknya pada representasi sinematik dan respon penonton kurang dipahami. Teori film belum berdamai dengan masalah ini. Para tokoh mengidentifikasi dua kategori besar film digital yang diadopsi oleh industri. Pengolahan digital gambar: yaitu saat perangkat lunak komputer menghapus gambar atau menambahkan item dalam frame, misalnya, stunt yang menggunakan kabel dan peralatan lain untuk mendapatkan efek, dan ini dapat dihapus secara digital dari adegan pada saat pascaproduksi.CGI: gambar yang dihasilkan komputer meng-gunakan perangkat lunak untuk membuat gambar, model dan lanskap yang seolah-olah tampak 3D. Teknologi terbaru yang memungkinkan pembuat film untuk menerapkan berbagai perangkat (misalnya motion capture) untuk menghidupkan karakter fantasi seperti Gollum dalam film trilogi Lord of the Rings. Demikian pula, peristiwa apokaliptik yang tidak dapat difilmkan dalam kehidupan nyata, dapat disimulasikan, misalnya, lanskap di I Am Legend (Francis Lawrence, 2007) dan Cloverfield (Matt Reeves, 2008). Background dibuat dengan bluescreen/ greenscreen, di mana aktor tampil di studio, kemu-dian di-superimpose-kan dengan lokasi yang di-inginkan di pasca-produksi. Satu masalah yang diidentifikasi oleh para tokoh adalah seringnya membahas tingkat tipu daya digital dalam kaitannya dengan istilah Realisme. Di sini ia mengacu pada karya Charles Peirce dan Roland Barthes. Peirce menjelaskan bahwa gambar-gambar foto memiliki hubungan indexical dengan acuan: gambar fotografi secara fisik pasti mewakili subjek. Meskipun asal-usul film berasal dari fotografi, digital imaging menantang gagasan hubungan indexical antara kamera dan subjek. Hal ini karena pada kenyataan dapat dimanipulasi, dengan cara itu misalnya makhluk/binatang yang tidak ada dalam realitas dapat dihadirkan dalam kehidupan dengan setting yang tampak realistis. Gambar digital tidak dibatasi oleh hukum foto fisik karena mereka dapat direnggangkan dan dikerutkan sekian derajat sehingga mereka kehilangan hubungan dengan subjek aslinya. Namun, bentuk manipulasi yang begitu halus bisa lolos dan tidak ketahuan; misalnya, proses digital dapat menerangi adegan dengan jalan yang tidak akan pernah bisa dicapai dengan pencahayaan standar. Mengingat kemungkinan-kemungkinan dari uraian di atas, para ahli mengajukan pertanyaan: Jika digital-imaging memiliki fleksibilitas yang membebaskan dari berbagai rujukan, apakah kemudian, ini berarti bahwa kemampuan digital-imaging seharusnya tidak [untuk] dikelompokkan di bawah teori film realisme? Jika tidak, apa alternatifnya? Apakah realisme itu, jika ada, image-nya yang seperti apa? Di sini ia serukan sikap baru dalam membaca film. Daripada menolak produksi film non-realis, ia menjelaskan bahwa kita harus melihat bagaimana gambar itu sendiri sesuai dengan ‘dunia tiga dimensi’ kita. Apakah subjek bergerak secara realistis? Apakah rambutnya teracak-acak saat seolah-olah sedang tertiup oleh angin, dll? Para ahli menyebut pendekatan ini ‘persepsi realisme’ yang memungkinkan pembuat film untuk menerapkan atribut realistis pada subyek nyata melalui isyarat 3D (cahaya, ruang dan pergerakan). Persepsi realisme sulit untuk tercapai karena tingkat penangkapan informasi harus berhasil menjalankan agar meyakinkan membuat hidup (animate) dan gerakan (movement) nyata karena mata penonton mahir memahami informasi yang tidak akurat’ (hal. 35). Sebagai kemajuan teknologi, penonton menuntut tambahan tingkat realisme, meskipun faktanya bahwa film adalah bentuk fiksi. Aspek-aspek ini diangkat oleh para ahli untuk menyoroti kebutuhan dalam memperdebatkan Realisme agar teori memberi jalan tersendiri melalui praktik industri. |
High Definition dan Teknologi 3D
Agak ironis bahwa saat ini, di abad airbrushed-celebrity, industri bergerak menuju ‘High Definition’ (HD), teknologi yang melibatkan resolusi piksel yang lebih tinggi. Sedangkan ‘photoshop’ menghasilkan gambar bintang film di majalah dan iklan yang mulus, sedang shot presenter televisi HD terlihat memiliki kulit bernoda dan ketidaksempurnaan lainnya. Di sini kita melihat bagaimana teknologi memiliki hambatan di kedua ujung spektrumnya, dengan merepresentasi banyak manipulasi di satu sisi, dan penggambaran asli ‘hingga ke kutil-kutil nya’ di sisi lain.
Baru-baru ini, industri mencatat kemajuan dalam produksi film tiga dimensi (3D). Melalui kacamata fotografi stereoscopic, penonton mengalami cerita dari peningkatkan perspektif. Perspektif ini memberikan ilusi kedalaman, dan dengan demikian bisa dianggap lebih realistis. Namun penting untuk dicatat bahwa ini adalah lapisan kesemuan lain yang mencoba untuk meniru perasaan nyata.
Meskipun teknologi untuk pembuatan film 3D telah ada sejak tahun 1890-an itu tidak menjadi sebuah kemungkinan komersial hingga tahun 1950-an. Hal ini mendapat perhatian lebih lanjut pada tahun 1980-an, tetapi kemudian tahun 2009 dengan dirilisnya Avatar pengalaman sinematik 3D menjadi pilihan nyata. Apakah teknologi ini akan menambah perdebatan tentang Realisme belum dapat dilihat karena penggunaannya di industri masih dalam masa pertumbuhan.
Studi kasus: Dogme 95
Gerakan Dogme 95 muncul sebagai sebuah kolaborasi antara dua sutradara Denmark, Lars von Trier dan Thomas Vinterberg. Bersama-sama para pembuat film yang tidak tertarik dengan bioskop komersial kemudian mempertimbangkan bagaimana mereka bisa melawan fomulasi terkait dengan Hollywood. Akibatnya, mereka sepakat dengan seperangkat aturan yang dikenal sebagai Vow of Chassity (kaul kemurnian), yang, bila diikuti, akan menimbulkan estetika sinematik baru. Von Trier dan Vinterberg segera bergabung dengan rekan-rekan sutradara Denmark, Kristian Levring dan Soren Kragh-Jacobseil. Secara kolektif, kelompok hanya mengenal persaudaraan dan tujuannya adalah untuk merevolusi industri, menyerukan avant-garde baru. Ideologi ini dikemas dalam sebuah manifesto, yang ironisnya meminjam terminologi teks seminal Truffaut 1954 ‘Une Certaine Tendance du Cinema Francais’. Namun, niat itu untuk menyoroti fakta bahwa sikap revolusioner yang diprakarsai oleh New Wave Perancis ‘terbukti menjadi riak yang terdampar dan menjadi kotoran saja’ (Dogme Manifesto, 1995). Singkatnya, niat dari kelompok Skandinavia adalah untuk menghapus efek kosmetik yang berkembang dalam pembuatan film komersial. Para anggotanya bertugas untuk mendorong seniman agar memproduksi film dengan kembali kepada pokok-nya.
The ‘Vow dari Chastity’
Berikut adalah sepuluh aturan ketat yang dikenal sebagai ‘Sumpah Kemurnian’. Setiap aturan diusulkan dalam rangka membersihkan produksi film dari nilai-nilai dan formulasi penceritaan produksi tingkat tinggi:
- Shooting harus dilakukan di lokasi: Dalam menentukan bahwa syuting harus dilakukan di lokasi, mereka mencoba untuk menjauhi kelicikan set studio. Sebaliknya, aksi harus dilakukan dalam lingkungan asli. Jika diperlukan properti maka properti harus bersumber dari yang tersedia di lokasi.
- Suara tidak boleh diproduksi secara terpisah dari gambar: Padahal banyak film yang menyandingkan adegan emosi tinggi dengan skor non-diegetik dan efek suara yang dihasilkan komputer. Aturan ini menyatakan bahwa setiap suara yang terjadi dalam produksi Dogme harus yang ditangkap selama syuting.
- Kamera harus handheld: kamera handheld sering mengakibatkan gambar yang memiliki kualitas film dokumenter. Footage-nya sering bergoyang-goyang dan agak amatir, untuk menambah rasa Realisme.
- Film harus berwarna – lighting khusus tidak diizinkan: Aturan ini diberlakukan untuk melawan pembuatan film hitam-putih yang sering dikaitkan dengan film-seni (bourgeoisie). Untuk mewakili dunia secara akurat, harus menggunakan warna. Aturan ini juga menghalangi pembuat film yang mencoba meniru gaya sinematik sebelumnya.
- Kerja optikal dan filter dilarang: Untuk memastikan bahwa teknik pembuatan film tetap sederhana dan rekaman yang tidak dimanipulasi selama produksi atau pasca-produksi.
- Film tidak harus mengandung aksi superfisial: Karakter tidak bisa mati dalam film Dogme kecuali jika benar-benar mati dalam kehidupan nyata; darah dalam Dogme adalah darah nyata dan hanya terjadi jika aktornya terluka saat di set. Ini berarti menghindari sifat-sifat formulasi cerita seperti pembunuhan. Demikian pula, adegan yang bersifat seksual benar-benar dimainkan di depan kamera. Ini merupakan pendekatan ekstrim untuk Realisme.
- Larangan alienasi temporal dan geografis: Aturan ini menjamin bahwa cerita kontemporer film Dogme berurusan dengan isu-isu saat ini, film bukan setting di masa lalu atau masa depan. Selain itu, lokasi yang dipilih untuk syuting harus berada di setting ceritanya sehingga tidak bisa menulis naskah tentang geografis yang secara fisik produksi film bukan dalam lokasi geografisnya.
- Film ber-genre tidak dapat diterima: Arahan ini dirancang untuk melawan sifat yang diformu-lasikan dari industri film. Film Dogme tidak bisa berjenis Western, drama, musikal atau komedi-romantis, dll.
- Film harus berformat Academy 35mm: Dari semua aturan ini mungkin yang paling bermasalah, karena meniadakan “demokratisasi dalam film” (Dogme Manifesto, 1995). Sedangkan sebagian besar aturan memungkinkan para pembuat film amatir untuk berpartisipasi dalam gerakan Dogme. Aturan ini sangat membatasi. Shooting menggunakan film 35mm atau mentransfernya ke format film 35mm memerlukan biaya produksi tinggi. Namun, alasan di balik aturan ini adalah untuk memberi penghormatan kepada pelopor sinematik awal seperti Lumiere bersaudara, Georges Melies dan Thomas Edison.
- Sutradara tidak boleh dikreditkan: Mengakui film yang merupakan proses kolaboratif adalah perhatian utama dari gerakan ini. Anggota Dogme merasa bahwa produksi industri menempatkan penekanan yang terlalu banyak pada sutradara. Ironisnya, film Dogme berjudul The Idiots (1998) dan Pesten (1998) dinamakan buatan rumahtangga Trier dan Vinterberg.
Sumpah kemurnian ini mencari film untuk dikembalikan ke dasar-nya, memperlihatkan sifat artifisial cerita secara sinematik. Persaudaraan Dogme menuntut pembuatan film tidak memuat aksi dangkal (pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, ledakan, dll). Sedangkan contoh-contoh kutipan aksi sudah menjadi plot khusus dalam pembuatan film komersial. Dogme menyerukan pendekatan baru, dengan cerita yang hanya bisa menampilkan kejadian yang bisa diciptakan secara live di depan kamera. Akibatnya, darah dan kekerasan dalam film Dogme membawa bobot dan dampak yang lebih besar. Sebagai contoh, pada akhir The Idiots ketika kepala Karen (Bodil Jorgensen) terlihat berdarah, dan dalam Festen ketika perkelahian fisik, tidak disimulasikan dengan darah dan kekerasan; itu memang riil.
Selain itu, persaudaraan menyatakan bahwa manipulasi dan/atau prosedur koreksi tidak dapat dilakukan selama pasca-produksi. Mereka juga sepakat mengenai setup pencahayaan. Oleh karena itu tampilan visual film Dogme tidak sesuai dengan harapan komersial; adegan sering underlit atau overexposed. Menggunakan praktek setup pencahayaan biasa, pencahayaan pada umumnya dan membetulkan hasil rekaman setelahnya. Di mana adegan di bioskop tampak slickly. Sumpah Kemurnian memastikan bahwa rekaman, dibuat dalam batas yang ditetapkan, dan mempertahankan nuansa amatir. Namun dapat dikatakan bahwa gaya estetika tepat untuk mencapai realisme karena rekaman live selama syuting sama seperti yang kita lihat di layar. Ironisnya, kita tidak perlu menganggap gaya Dogme seperti bahasa verisimilitude yang dikondisikan menjadi bentuk manipulasi yang disajikan oleh film Hollywood.
Awalnya gerakan ini ditertawakan oleh industri sebagai lelucon, namun para pembuat film mulai bereksperimen dengan aturan mereka. Lugas berupaya untuk menyingkirkan genre film yang lazim. Film Dogme mulai mengembangkan gaya aslinya. Dalam mematuhi aturan, sutradara konsisten bercerita tentang orang-orang bejat dan estetika yang membosankan karena batasan yang ditentukan. Oleh karenanya, meski demikian niat asli dari persaudaraan Dogme hadir menjadi sebuah genre dalam dirinya sendiri.
Kesimpulan
Realisme cenderung menjadi keasyikan pada film Eropa. Itu bukan untuk mengatakan bahwa pembuat film Amerika tidak menyentuh wilayah ini. Namun, pembuat film Realis cenderung secara sadar menjauh dari pembuatan film komersial yang biasanya bergantung pada penonton dan nilai produksi yang tinggi. Selanjutnya, cerita Realis cenderung mengarah ke politisasi konten, yang tidak perlu diterjemahkan menjadi box office yang sukses.
Ide Realisme berkembang dan mengembangkan dari dari waktu ke waktu karena perubahan iklim sosial politik. Namun, ceritanya masih cenderung fokus pada orang miskin, kehilangan hak dan sebagai korban, karena film-film Realis memperjuangkan underdog sambil menunjuk pada kaum borjuis. Namun demikian, karena kemajuan teknologi, cara menyampaikan cerita menunjukkan perkembangan yang sama. Industri secara konsisten terlihat meningkatkan pengalaman menonton kita dengan meningkatnya sound dan teknologi imaging.
Bahkan dengan teknologi yang tersedia, Realisme adalah pilihan gaya karena dibuat mengikuti cara-cara artifisial. Namun demikian, inovasi ini berdampak pada pemahaman kita tentang Realisme dalam film dan memastikan bahwa perdebatan teoritis terus berlangsung. (Sumber: Etherington & Doughty, 2011).