Psikoanalisis: Interaksi Elemen Pikiran Sadar dan Bawah Sadar

Psychoanalysis:

Sebuah metode terapi oleh Sigmund Freud untuk menyembuhkan gangguan mental, dengan meneliti interaksi elemen sadar dan bawah sadar dalam pikiran pasien, melawan rasa takut dan membawa konflik ke dalam pikiran sadar, seperti menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas.

Terjadi kebetulan yang menarik ketika pada tahun 1895 film pertama ditampilkan ke publik, Sigmund Freud dan Josef Breuer menerbitkan hasil studinya di Hysteria. Teks psikoanalitik pertama Freud adalah studi tentang pikiran bawah sadar. Seperti dalam bab-bab lain, banyak teori yang digunakan dalam analisis film berawal dari studi sastra atau gerakan politik. Di sisi lain, teori psikoanalitik, muncul dari upaya ilmu pengetahuan dan pengobatan untuk memahami mengapa orang  kelihatannya ‘gila’.

         Secara historis, orang-orang dengan masalah mental (histeria) banyak yang dibakar, dikira kemasukan setan, dikucilkan atau diejek. Ia berpikir bahwa mereka, yang suka berbohong, berperilaku menyimpang dan culas, tidak layak mendapat perhatian serius. Pada akhir abad kesembilan belas, penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman dari penyakit mental dimulai, oleh Profesor Jean-Martin Charcot (dosen dari Freud). Minat belajar tentang pikiran bawah sadar mendapatkan momentum dan kredibilitas sejak tahun 1900-an, lebih pada masyarakat umum daripada bidang medis. Penelitian awal dalam bidang ini dikenal dengan neuropatologi, yang kemudian berkembang dan sekarang diakui menjadi Psikoanalisis .

         Tujuan utama dari penelitian Psikoanalisis adalah untuk memperoleh pemahaman tentang alam bawah sadar. Freud berpendapat bahwa kesadaran seseorang ada di lapisan dalam jiwa dan bahwa beberapa pikiran bersemayam tepat di bawah permukaan. Seperti gunung es yang hanya memiliki sepersepuluh permukaan atas permukaan laut dan sembilan-persepuluhnya terendam. Hanya sebagian kecil dari pikiran mewakili kesadaran sedangkan sisanya (pra-sadar dan tidak sadar)-nya ‘terendam’.

         Teori psikoanalitik berpengaruh besar pada berbagai disiplin ilmu selain psikologi misalnya, sastra, film, Marxisme, Feminisme dan filsafat. Sigmund Freud, Carl Jung dan Jacques Lacan adalah praktisi yang paling dikenal dalam Psikoanalisis. Teori mereka mencakup wilayah yang luas pada jiwa (pikiran) dan untuk Studi Film teori mereka lah yang paling relevan.

Sigmund Freud
Lahir di Moravia pada tahun 1856, Freud sering disebut sebagai ‘bapak psikoanalisis’. Setelah belajar pada Charcot di Paris, ia membuka praktek pribadi di Wina. Nazi merebut kekuasaan di Austria dan ia terpaksa meninggalkan Wina karena ia seorang Yahudi. Tahun 1937 ia pindah ke London, dan meninggal pada tahun 1939.         

Karya Freud meliputi cakupan yang luas yang tidak mungkin untuk mengeksplorasinya secara rinci di sini. Oleh karena itu, kita akan berkonsentrasi pada bidang yang sesuai dengan pemahaman teks-teks film. Karyanya menjadi begitu berpengaruh karena ide-idenya telah menjadi bahasa sehari-hari. Misalnya, istilah berikut:
‘Anally retentive’ menggambarkan orang-orang yang kaku dalam mematuhi aturan, berlebihan, terorganisir dan rewel, mereka sulit untuk bermetaforis’. biasanya digunakan dengan mengejek: “Oh kamu anall banget!
‘Freudian Slip terjadi ketika kita secara tidak sengaja mengatakan hal yang ‘salah’. Kesalahan tidak disengaja ini dianggap sebagai ungkapan perasaan bawah sadar.
‘Libido’ adalah pengendalian energi atau psikis, terutama yang berhubungan dengan hasrat seksual.
‘Phallic symbol’ adalah sebuah objek yang secara visual menyerupai penis yang sedang ereksi, misalnya, gedung pencakar langit dan monumen. Sering diterapkan dalam arti ironis pada objek yang melambangkan kekuasaan laki-laki (mobil sport warna merah). Menjadi lelucon bahkan seumur hidup Freud sendiri. Sebagai perokok cerutu, Freud pernah mengatakan, ‘Terkadang cerutu hanyalah cerutu’, menunjukkan bahaya karena hubungannya, padahal tidak apa-apa.

Istilah lain dari Freud yang umum digunakan adalah: ‘represi’, ketidaksadaran (unconcius)’, ‘ego’, ‘superego’ dan ‘id’.         

Pada awalnya, karyanya yang paling diakui adalah The Interpretation of Dreams (1899), Freud menjelaskan tentang sarana untuk mendapatkan akses pada ketidaksadaran melalui mimpi. Freud percaya bahwa mimpi dan bermimpi mewakili bentuk halusinasi pemenuhan keinginan; ‘Mimpi adalah (penyamaran) pemenuhan keinginan (yang ditekan)’ (Wollhelm, 1995, hal.61). Mimpi bukanlah omong kosong, seperti yang disangkakan sebelumnya. Bagi Freud mimpi penuh makna. Ia mencatat bahwa logika dalam mimpi itu berbeda dengan pikiran sadar dan karenanya perlu menafsirkannya. Ia menyatakan:
Ada hubungan kausalitas antara ketidakjelasan isi mimpi dan represi (tidak dapat diterimanya menjadi kesadaran) pikiran dari mimpi tertentu, dan bahwa mimpi harus mengaburkannya sehingga tidak menyingkap maksud mimpi. (Gay, 1995, p.164)           

Freud mengklaim mimpi secara signifikan, karena mimpi bisa mengungkap gejala penyakit dan juga dapat bertindak sebagai kendaraan untuk kreativitas. Di satu sisi, ia percaya bahwa ada hubungan antara bermimpi dan kegilaan. Di sisi lain, mimpi bisa juga dilihat sebagai bagian dari penyembuhan.

Psikoanalisis mengandalkan pasien untuk berbicara bebas tentang kekhawatiran bahwa mereka telah ditekan (disembunyikan) selama bertahun-tahun. Banyak pasien Freud diduga menderita neurosis. Ia mulai mengobati apa yang disebut ‘histeria’ dengan hipnosis. Kemudian, ia menghentikan hipnosis dan memperkenalkan ‘asosiasi bebas’, yang artinya meneliti seseorang yang tidak sadar dengan memberikan jawaban spontan atas pertanyaan yang diajukan. Metode ini terkenal dijuluki sebagai ‘the talking cure (obat berbicara)’ oleh salah satu pasien (1985). Melepas timbunan masalah pikiran bawah sadar ke sadar, memungkinkan sebagai pengobatan.

         Theraphy ini diilustrasikan dalam plot film Marnie. Suaminya (Sean Connery) mencoba untuk membantu Marnie (Tippie Hadren) membuka rahasia masa lalunya dengan mendorongnya dia untuk berbicara. Dia bersikeras menolak bahwa dia tidak trauma, bahwa tidak ada masalah. Cerita tersebut terungkap untuk membeberkan sebagai pembohong, pencuri dan penghambat seksual agar tak ada pria yang menyentuhnya. Plot terselesaikan ketika pada akhirnya terjadi ‘lets go‘ dan dia siap untuk berbicara tentang masalah-masalahnya. Masalah psikologisnya dapat ditelusuri dari insiden-insiden masa kecil yang telah merepresinya.

         Meskipun saat ini nilai terapeutik dari ‘obat berbicara’ diperdebatkan, dampak dari karya Freud tentang bagaimana kita berpikir mengenai diri kita sendiri tak terhitung lagi. Contoh terbaik dari hal ini adalah cara kita  menghubungkan sadar dan histeria pada kejadian masa kanak-kanak. Freud secara khusus fokus mengenai hubungan awal dengan orangtua, mengendalikan keinginan dan kepentingan anak-anak untuk menunjukkan berbagai bagian tubuh (oral, anal dan phallic). Memang, sebagian besar yang dikerjakan Freud terkait dengan pegendalian seksual.

Untuk memahami informasi yang muncul melalui pembicaraan dan asosiasi bebas, Freud memandangnya dengan cara kerja pikiran. Dengan mengambil pendekatan ilmiah, ia mengatakan bahwa jiwa seseorang dapat saling dipahami dalam tiga  lapisan (id, superego dan ego).

Id, superego dan ego (tidak sadar, prasadar dan sadar)

Id

Id (bawah sadar) adalah bagian terbesar dari pikiran yang berada di luar kesadaran, dan memiliki pengaruh yang kuat pada tindakan kita. Hal ini berhubungan dengan hal-hal yang diwariskan, terkait dengan impuls naluriah, misalnya, nafsu, seks dan agresi, berkisar seputar keinginan sederhana pada makanan, minuman, kehangatan dan seks, motivasi yang bersifat lebih kompleks dalam ingatan kita. Bagian primitif pikiran yang tidak rasional, yang menyimpan rasa takut, harapan dan kebutuhan (naluri kehewanan). Kadang-kadang disebut dengan ‘prinsip-kesenangan’ yang tujuannya untuk mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Dapat dikatakan bahwa id itu adalah murni tentang non-moral’ (Gay, 1995, p.655).

         Dalam film, id sering dikaitkan dengan penjahat, yang mengikuti keinginan mereka terlepas dari sakit hati yang menyebabkannya. Dracula dan joker adalah contoh karakter yang jahat, amoral dan merasa tidak punya rasa bersalah atau penyesalan hingga memungkinkan id mereka berkuasa.

Superego

Superego (prasadar) ego yang mendominasi dalam bentuk moral hati nurani yang bisa memaksakan adanya rasa bersalah. Bekerja sebagai sensor internal yang menerapkan kontrol untuk apa dan menentukan keinginan mana yang tidak dapat diterima. Menanggapi aturan yang ditetapkan oleh masyarakat dan orang-orang yang merupakan figur ayah atau otoritas. Bisa dikatakan […] bahwa super-ego itu hal yang dapat menjadi ‘super-moral’ (Gay, 1995, p.655).

         Dalam film superego biasanya diwakili oleh seorang mentor, figur ayah atau role-model. Misalnya, Jimmy Cricket (disuarakan oleh Cliff Edwards) di film Pinochio (n.a., 1940), Obi-Wan Kenoby: dan Yoda (disuarakan oleh Frank Oz) di film Star Wars dan The Empire Strikes Back (Irvin Kershner, 1980).

Ego

Ego (juga dikenal sebagai sadar atau ‘I‘) adalah bagian pemikiran dari jiwa kita, ‘sebuah organisasi yang koheren dari proses mental’ (Gay, 1995. p.630). Terhubung dengan alasan-alasan karena belajar dari pengalaman untuk berkembang dan menjadi lebih kuat. Ia ikut tidur di malam hari bahkan sensornya terlatih dalam mimpi-mimpi kita (Gay, 1995, p.630). Seperti menjadi cara untuk ‘mengubah kehendak id menjadi tindakan’ (Gay, 1995, p.636). Ego bertanggung jawab untuk memahami dunia nyata dan memiliki mekanisme untuk menyembunyikan dan melupakan. Bertindak sebagai mediator atau wasit dalam menemukan kompromi antara id dan superego. Bisa dikatakan […] ego lah yang berusaha untuk menjadi moral’ (Gay, 1995, p.655).

         Dalam film, ego biasanya diwakili oleh pahlawan. Kebanyakan pahlawan bekerja mengatasi tantangan untuk mengalahkan musuh. Mereka harus beradaptasi dan belajar dari situasi yang mereka temukan dalam dirinya. Ego harus menekan dan mengontrol id. Demikian pula, pertarungan pahlawan dalam mengalahkan penjahat.

Id, superego dan ego saling terkait. Menurut Freud, pikiran dapat dilihat dalam keadaan permanen karena sifatnya yang saling bertentangan dari ketiga lapisan jiwa itu. Hal ini, menurut Freud, dapat dikaitkan dengan ide-idenya tentang represi.

Represi

Represi adalah cara melupakan atau mengabaikan peristiwa masa lalu yang traumatis. Kenangan tidak menyenangkan didorong keluar dari sadar menuju bawah sadar. Proses menekan itu adalah tindakan non-sadar; kita tidak dapat secara aktif memilih untuk sengaja melakukan hal ini. Kenangan tidak dapat dibuang dari pikiran tetapi dapat dipindahkan. Ia menyatakan bahwa represi: ‘Tidak bisa muncul secara terpisah antara aktivitas mental sadar dan tidak sadar – bahwa esensi dari represi hanya terletak pada persimpangan jalan, dan menyimpannya jauh-jauh dari sadar’ (Gay, 1995, pp.569-70).

         Seperti halnya trauma masa lalu bisa begitu merusak, pikiran kadang-kadang menghindari untuk memproses insiden. Ini adalah cara pikiran mengatasinya sehingga dapat dilihat sebagai mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan ini mengkonversi, mengarahkan, memperlunak atau memungkinkan memori secara selektif untuk bertindak sebagai bentuk perlindungan. Freud percaya bahwa ketika hal ini terjadi, apa yang kita tekan bisa kembali menghantui kita. Jadi menurut Freud bawah sadar adalah sebab dan akibat represi.

         Film The Sixth Sense (M. Night Shyamalan, 1999) melambangkan gagasan Freud tentang represi. Dalam simpul pada akhir cerita, ia mengungkapkan bahwa psikolog (Bruce Willis), yang mengkonseling si anak (Haley Joel Osment), sebenarnya adalah hantu. Secara ironis represi faktanya bahwa ia ditembak oleh salah satu pasiennya sendiri. Satu-satunya informasi yang ia ingat agar bisa berdamai dengan situasinya; sebuah tindakan represi yang wajar dilakukan psikolog.

Komponen lain yang terkenal dari karya Psikoanalisis Freud adalah tentang Oedipus complex.

Oedipus dan Electra complexes

Oedipus kompleks merupakan salah satu konsep Freudian yang paling sering digunakan. Nama ini diambil dari drama tragedi Yunani Oedipus Rex karya Sophocles, di mana Oedipus tanpa sengaja membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Freud menggunakan model ini untuk menjelaskan kebutuhan anak pada orang tua dan perubahan keinginan anak saat melewati masa dari bayi hingga dewasa, di mana sepanjang perjajalan ini mengembangkan seksualitasnya. Di sini terutama berkaitan dengan anak laki-laki. Ia mengamati bahwa ketika anak beranjak tumbuh (usia 3-6 tahun) menganggap bahwa ia bukan satu-satunya fokus perhatian sang ibu, yang juga memberi perhatian pada ayah. Karena ayah memang diperbolehkan berkontak seksual dengan ibu, sehingga anak menjadi membenci ayah. Sebagai bagian dari persaingan (oedipal)  antara anak laki-laki dan ayahnya, anak-anak berfantasi (khawatir) bahwa mereka akan dikebiri sebagai hukumannya. Melalui kecemasan ini anak mengidentifikasi pada sang ayah sebagai yang ideal bagi cinta sang ibu sebagai objeknya (bukan lagi seksual).

         Bagi anak perempuan, Frued menunjukkan bahwa gadis-gadis juga sama tertariknya pada ibu. Gadis-gadis, di sisi lain, tidak menderita kecemasan pengebirian. Pada titik ketika ia menemukan bahwa ia tidak memiliki penis, gadis-gadis menjadi semakin antagonis dan pemarah terhadap ibunya. Pada hipotetisnya Freud percaya bahwa ibu telah mengebirinya, sehingga Freud menyebutnya ‘iri-penis’ (gagasan ini sekarang menjadi kontroversial dalam teori psikoanalitik dan teori feminisme). Gadis-gadis mentransfer keinginannya untuk ibu pada ayahnya, hal ini menjadi jalan dalam kehidupannya kelak berhasrat pada pria seperti ayahnya.

         Carl Jung, mahasiswa Freud, yang berkonsentrasi pada perilaku perempuan mengembangkan apa yang disebut ‘Electra complexes’, yang berasal dari mitos Yunani di mana Electra mendesak kakaknya Orestes untuk membalas kematian ayah mereka Agamemnon, yang dibunuh oleh ibunya Clytemnestra. Tidak seperti Freud, Jung tidak melihat kasih sayang anak pada orang tua mereka sebagai seksual. Sebaliknya ia percaya itu menjadi hal  yang spiritual. Freud tidak hanya tidak setuju dengan Jung, tapi ia tidak menyukai istilah ‘Electra kompleks’, dan lebih memilih istilah frase ‘perempuan Oedipus’. Selanjutnya, Freud menganggap bahwa sepenuhnya ini adalah perkembangan sosial, dan semua anak harus berhasil melewati tahapan ini (fase Oedipal/fase Electra).

         Ada sejumlah film di mana konsep tentang Oedipus kompleks ini dimasukkan ke dalam cerita. Dalam film Psycho, Norman Bates (Anthony Perkins) membunuh calon suami ibunya karena dia memandangnya sebagai saingan perhatian dari ibunya. Ia kemudian membunuh ibu yang telah mendominasi mentalnya. Contoh lain dapat dilihat pada film The Graduate (Mike Nichols, 1967), di mana Ben (Dustin Hoffman) digoda oleh seorang wanita setengah-tua untuk menjadi ibunya. Dia memberinya perhatian yang ia inginkan sebelum ia berpaling perhatiannya ke putrinya Elaine (Katharine Ross). Pada kedua film ini karakter yang ditampilkan tidak sepenuhnya berkembang secara seimbang melalui fase Oedipal.

The Uncany/Keluarbiasaan

Banyak pembaca dan penonton yang menikmati secara tidak langsung takut oleh buku-buku, lukisan atau film. Ketertarikan Freud terletak pada penyebab kecenderungan adanya masokis ini, yang sering terwujud dalam alam bawah sadar melalui mimpi. Dalam esainya tahun 1919, The Uncany (Das Unheimliche/unhomely/unfamiliar), Freud mendefinisi-kan Uncany sebagai, ‘bagian yang menakutkan yang mengarah kembali ke sesuatu yang telah lama kita kenal, yang sudah sangat akrab sekali (Sandner 2004, p.76). The Uncany terjadi ketika benda-benda yang tampak sehari-harinya normal menjadi aneh. Dia mencatat bahwa dengan cara yang mirip dengan mimpi telah memprovokasi kecemasan mental penonton, membangkitkan perasaan atau sensasi yang menakutkan, aneh dan tidak familiar.

         Freud mengidentifikasi tiga elemen perasaan aneh pada kegelisahan, yang terdiri dari:

  1. Deja vu: adalah pengulangan perasaan aneh. Sebuah ilusi yang pernah dialami pada beberapa-hal yang pada kenyataannya tidak bisa dimiliki sejak awal. Sensasi ini sudah ada sebelumnya, namun tidak mungkin untuk mengetahuinya, merupakan bentrokan antara yang familiar dan yang asing. Konsep ini membentuk dasar pada film Groundhog Day.
  2. The double: Ganda atau kembar memberikan ilustrasi dobel. Bisa muncul identik karena terlihat sama, dan dapat menciptakan rasa kegelisahan seperti yang kita pertanyakan ketika kita melihat sesuatu yang dobel. Kembar yang seram adalah pokok film Hollywood, seperti yang terlihat dalam The Shining (Stanley Kubrick, 1980). Kembaran juga terjadi pada sosok hantu Doppelganger. Ide ini berasal dari cerita rakyat Jerman yang melihat Doppelgunger sebagai pertanda kematian sudah dekat. Gagasan ini juga dieksplorasi dalam cerita klasik Dorian Gray (Oliver Parker, 2009), berdasarkan novel karya Oscar Wilde (1891).
  3. The Automaton: Penonton meyakini bahwa karakter ini adalah nyata/manusia. Ini menjadi premis pada film Blade Runner (Ridley Scott, 1982) di mana replika diciptakan dalam sosok manusia. Hal ini juga terlihat dalam film The Stepford Wives (Bryan Forbes, tahun 1975 dan Frank Oz, 2004) di mana peran wanita digantikan oleh robot yang sama persis seperti mereka.

Setiap elemen ini dapat mengintensifkan Uncany dalam sebuah film. Ini merupakan pengalaman tentang kebingungan, yang memaksa kita untuk mempertanyakan diri kita sendiri dan kapasitas mental kita yang menyebabkan kita merasa tidak nyaman. Selanjutnya, Uncany menjadi perangkat yang kuat bagi para pembuat film, untuk mengganggu realitas perasaan penonton, namun pada saat yang sama menjadi intrik rasa penasaran  kita.

Surealisme dan Uncany

Tahun 1920-an dan 1930-an surealis menjadi salah satu gerakan seni pertama untuk memahami kemungkinan bahwa pengaburan batas antara mimpi dan kenyataan bisa digunakan untuk film. Mereka sangat dipengaruhi oleh ide-ide Freud tentang sadar dan Uncany. Bagi Andre Breton, pendiri gerakan Surealis, teknik sinematografi, khususnya gambar dissolve, slow motion dan superimpose menrupakan cara-cara ideal untuk mengekspresikan ide-ide Freud. Salvador Dalf dan Luis Butluel berkolaborasi pada salah satu film Surealis yang paling awal dan terkenal, Un Chien Andalou/An Andalusia Dog (Luis Bunuel, 1928). Bunuel menyatakan tujuan mereka: Entah gambar atau apa mungkin meminjamkan dirinya secara rasional untuk menjelasankan apapun akan diterima. Kita harus membuka semua pintu ke-irasional-an dan memendam gambar-gambar yang mencengangkan, tanpa berusaha untuk menjelaskan mengapa (Buftuel, 1983, hal.103).

         Tidak seperti Freud, yang berusaha untuk memahami cara kerja alam bawah sadar, Bufiuel dan Dail melingkupi hal yang sulit dipahami. Konvensi sinematik mendorong penonton untuk menggunakan kontiniti spasial dan temporal untuk menjawabnya. Ketika tidak dapat melakukan hal ini, penonton menjadi disorientasi dan seperti terjadi dalam mimpi, tanda-tanda dan penanda menjadi membingungkan. Hal ini menciptakan ketidakpastian. Ketika harapan penonton dikacaukan, kemampuan mereka untuk secara logis memprediksi atau menafsirkan cerita terpengaruhi. Mereka kemudian perlu mengungkapkan adegan untuk diri mereka sendiri.

         Hitchcock menjelajahi kemungkinan dari Surrealis dan Uncani dalam film-film seperti Vertigo dan The Birds. Baru-baru ini sutradara seperti Peter Greenaway, David Lynch, David Cronenberg, Terry Gilliam dan Coen bersaudara menemukan ekspresi dalam eksperimen dengan elemen-elemen ini. Sebagai contoh, Lynch dalam film Blue Velvet (1986) menjadikan kota-kota di Amerika yang cukup familiar menjadi sangat asing. Pen-dobel-an dalam Mullholand Drive (2001) juga mengilustrasikan Uncani ala Freud. Demikian pula, gangguan naratif dan eksplorasi keanehan dan ke-irasional-an mental menjadikan penonton salah langkah. Film Cronenberg The Fly (1986) dan Crash (1986) memiliki kualitas mimpi yang mengerikan untuk logika rasional dan berkonsentrasi pada transformasi tubuh, yang menginvestasikan insiden familiar dan obyek dengan makna baru yang mengganggu. Meskipun semua sutradara ini memanfaatkan aspek sinematik Surealisme terlihat bahwa mereka tidak memiliki gaya yang seragam selain agenda yang sama: untuk mengejutkan, membuat bingung dan mengganggu pikiran penonton.

Meskipun pengaruh Freud luar biasa, antusiasme atas ide-idenya menurun dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini sebagian sebagai akibat dari pandangan terutama yang negatif tentang perempuan dan khususnya pada apa yang dipandang sebagai kesalahan dalam membaca yang Freud sengaja dari kasus yang dikenal dengan ‘Dora’. Di sini ia menyatakan bahwa kliennya yang histeris dan akan sembuh jika menerima tuntutan tertentu. Ia kemudian mengakui bahwa ia mengabaikan pertimbangan tentang biseksualitas (Gay, 1995, pp.172-239).

         Freud dikenal revolusioner dan kontroversial sepanjang hidupnya. Meskipun diejek oleh para praktisi medis, ide uniknya menjadi momentum psikoanalitik di seluruh Eropa dan Amerika. Dari sekian banyak popularitasnya, Freud menjadi tokoh sentral paling populer di antara para peneliti psikoanalitik. Tokoh lain yang juga berpengaruh besar adalah Carl Jung.

Carl Jung The Archetypes and the Collective Unconscious (1959)        
Carl Jung adalah mahasiswa Freud dan bekerja dengannya dalam penelitian alam bawah sadar. Kolaborasi mereka berakhir ketika Jung menempuh jalannya sendiri, merasa bahwa seharusnya mengurangi penekanan pada libido dan seksualitas masa kanak-kanak. Jung percaya bahwa dari sekian banyak gejala neurosis (histeria) muncul ketika emosi bingung dan tidak rasional. Jung percaya adanya tingkatan-tingkatan pada ketidaksadaran. Seperti Freud, ia membagi jiwa menjadi tiga bagian:
ego: pikiran sadar.
personal concious: mempertahankan memori kita, termasuk yang ditekan.
collective unconsciuos: terdiri atas warisan pengetahuan kita.  

Pada bagian ketiga, ketidaksadaran kolektif adalah komponen yang paling inovatif. Menurut Jung, ini berisi semua pengetahuan psikologis bawaan yang kita miliki sebagai umat manusia.         

Hal ini mengacu pada naluri alami yang tanpa sadar telah diwariskan dari generasi ke generasi, pengetahuan bahwa kita dilahirkan, tetapi tidak secara langsung kita sadar. Ia percaya bahwa pola-pola struktur imajinasi kita melekat dan membentuk pikiran kita (jiwa). Sebagai contoh, sebagian besar masyarakat menceritakan kisah-kisah kepahlawanan; banyak negara mengakui bahwa lingkaran untuk mewakili keseluruhan; bahwa langit melambangkan transendensi dan sebagainya. Pengalaman emosional kita dipengaruhi oleh ketidaksadaran kolektif ini. Misalnya, semua orang mengalami keheranan ketika melihat keindahan alam (matahari terbenam, gerhana matahari, hamparan air yang luas, dll). Jung mengidentifikasi reaksi ini sebagai unsur insting inheren dan spiritual dalam jiwa manusia.         

Dalam rangka meneliti ketidaksadaran kolektif, Jung melakukan penelitian yang mirip dengan Freud, berpusat pada mimpi, mitos dan jiwa. Dalam penelitian ini, impian si pasien, menyadarkannya bahwa tema dan simbol-simbolnya terjadi pengulangan. Dia membentuk opini bahwa semua manusia memiliki penampilan fisik yang umum, ada ranah kesadaran kolektif yang dimiliki oleh semua manusia. Sementara ketidaksadaran pribadi pada dasarnya terdiri dari konten yang memiliki sebuah saat pernah sadar, tetapi telah menghilang dari kesadaran melalui hal yang terlupakan atau yang ditekan, isi dari ketidaksadaran kolektif tidak pernah berada dalam kesadaran dan karenanya tidak pernah diperoleh secara individual, tapi meminjam keberadaan mereka secara eksklusif yang turun-temurun […] isi dari ketidaksadaran kolektif menciptakan pola dasar esensinya. (1969, hal.42)           

Untuk menjelaskan dan mengembangkan ide baru tentang ketidaksadaran kolektif, Jung menyebut tema dan simbol-simbol yang terjadi dalam mimpi dan imajinasi dengan arketipe (pola dasar). Model psikologisnya sangat dipengaruhi oleh ide-ide ke-Timur-an yang bertentangan. Dengan demikian, untuk menyeimbangkan, pola dasar bayangan menjadi lawan dari pola dasar persona.         

Arketipe adalah asosiasi universal di mana setiap orang dapat terhubung (dan tidak dibingungkan dengan karakter pola dasar Vladimir Propp yang dijelaskan dalam ‘Formalisme’). Dalam film, arketipe dapat menjadi karakter dan tema. Sebagai contoh, kita semua punya ibu dan ayah (karakter) dan dalam kehidupan kita temui kelahiran, pernikahan dan kematian (tema). Sederhananya, semua manusia berbagi asosiasi umum yang terkait dengan isu-isu manusia.         

Jung mengeksplorasi ide-ide arketipe dari enam sudut utama, yaitu: persona, shadow/bayangan, orang tua yang bijak, dewi bumi, anima dan animus.  

Persona (secara harfiah berarti ‘topeng’)
Gambar yang menunjukkan kita kepada dunia, yang menopengi atau menyembunyikan shadow archetype kita (lihat atas). Cara kita hendak menampilkan diri untuk membuat kesan yang baik. Dalam mimpi kita biasanya memainkan peran persona kita. Serupa dengan ego, persona mengumpulkan pengetahuan dari pengalaman. Namun, ini bisa menjadi gambar palsu atau fasad, karena kita dapat menggunakan persona kita untuk memanipulasi atau menopengi sifat sejati kita dan berpura-pura menjadi bukan kita. Persona kita bisa menyajikan kesemuan. Kita sering menipu dalam upaya penyesuaian diri. Persona dapat diadopsi untuk kepentingan orang lain atau kemajuan diri kita, untuk membuat kesan baik atau buruk.  

Bayangan
Bayangan adalah segala sesuatu dalam diri kita yang tidak sadar: ide yang direpresi, kelemahan dan hasrat (seks dan naluri primitif). Jika kita marah kita bisa mengatakan tidak tahu apa yang terjadi padaku.’ Ini adalah ‘bayangan’ sisi kepribadian kita, mencerminkan impuls yang tak terkendali, yang kita mencoba untuk mengontrol dan menyembunyikan dari orang lain. Agar diterima dalam masyarakat kita menyesuaikan dengan harapan sosial dan budaya, menyembunyikan bayangan arketipe di balik topeng persona kita.

Dalam kisah Dr Jekyll dan Mr Hyde, karakter ini adalah dua sisi dari orang yang sama, representasi luar (Dr Jekyll) dan bagian yang direpresi (Mr Hyde). Mr Hyde ingin melakukan setiap hal yang Dr Jekyll tidak lakukan. Dalam film-film seperti Black Swan (Darren Aronofsky, 2010) dua karakter ini biasanya dimainkan oleh aktor tunggal untuk menyampaikan fakta bahwa mereka mewakili bagian luar dan dalam dari orang yang sama. Jung percaya bahwa bayangan arketipe adalah yang paling berbahaya karena tidak mengenal batas-batas. Namun, ada sisi positifnya. Bayangan memperlihatkan keuletan, kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang sulit. Para penulis Jungian percaya bahwa bayangan arketipe bertanggung jawab atas kreativitas, energi dan daya tahan. Jika elemen bayangan ditolak, keseluruhan kepribadian  kehilangan kendali.  

Orang tua yang bijaksana
Senada dengan Freud, Jung percaya bahwa anak laki-laki akan menggunakan figur ayah sebagai panutan. Model ini dilambangkan oleh ‘orang tua yang bijak’, arketipe yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Dia biasanya merupakan sosok laki-laki yang lebih tua, guru atau sosok yang mewakili kebijaksanaan dan wawasan. Menghadapi ‘orang tua yang bijak’ arketipe memungkinkan orang untuk mengatasi masalah dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Dalam kisah seperti ini sering disebut mentor: pendekar seperti Merlin dan master bela diri seperti Mr Miyagi (Pat Morita) dan Mr Han (Jackie Chan) di film The Karate Kid (John G. Avildsen, 1984 dan Harald Zwart, 2010).  

Dewi bumi/ibu yang hebat
Di sisi lain, anak perempuan akan melihat sosok ibu sebagai panutan, dilambangkan dengan dewi bumi. Menjadi pemelihara dan sekaligus destruktif, arketipe ini bisa melahirkan kehebatan tetapi dapat menghancurkan sama hebatnya. Karakter ini ada pada Cate Blanchett sebagai Galadriel di film The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring merupakan contoh yang sangat baik.  

Anima dan animus
Bagi kebanyakan orang peran mereka ditentukan oleh jenis kelamin fisik mereka. Namun, Jung merasa bahwa kita semua benar-benar biseksual bagi alam. Ketika kita mulai kehidupan sosial kita sebagai bayi, kita laki-laki atau perempuan dalam arti sosial. Namun di bawah pengaruh masyarakat kita dibentuk menjadi pria dan wanita. Perempuan diharapkan untuk lebih memelihara, dan kurang agresif; laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat dan mengabaikan sisi emosional. Ia merasa harapan ini berarti bahwa kita hanya akan mengembangkan  setengah dari potensi kita. Untuk mencapai jiwa yang seimbang, diperlukan anima dan animus:
anima adalah bagian sadar feminin dalam jiwa laki-laki
animus adalah bagian sadar maskulin dari seorang wanita.

Seseorang yang sangat mengidentifikasikan gendernya (pria yang agresif dan tidak pernah menangis/wanita yang senang berada di wilayah domestik dan cenderung dalam keluarganya) belum aktif dengan anima atau animus mereka. Hal ini digambarkan dalam peran laki-laki dan perempuan  tradisional di film klasik Amerika. Namun, praktisi kontemporer percaya bahwa setiap orang memiliki anima dan animus hadir dalam jiwa mereka. Karakter Superman dan Lois Lane menjadi contoh yang baik di sini. Clark Kent lebih lembut, sisi feminin dari Superman sedangkan Lois  maskulin dalam ketegasan dan sikap profesional. Menariknya, dia tertarik pada Superman daripada Clark Kent karena ia menjadi cerminan atribut kemaskulinannya sendiri.  

Jung tidak percaya bahwa jumlah arketipe yang ada itu tetap. Dalam berbagai terbitan tulisannya, ia temukan banyak karakteristik lain dan telah dieksplorasi oleh para kritikus hingga tak terhitung jumlahnya. Joseph Campbell (lihat Formalisme) menggunakan karya Jung, dan baru-baru ini, William Indick menerapkan arketipe Jung untuk mengajar penulisan naskah. Dia mengakui bahwa model dari Jung menyediakan pendekatan yang berguna untuk mengembangkan konflik dalam cerita. Karenanya, karya Jung masih relevan untuk industri film.

Karya Carl Jung memiliki banyak jalan yang sama dengan Freud. Namun, seperti telah ditunjukkan di atas, ada wilayah perbedaan yang besar. Demikian juga, Jacques Lacan adalah seorang mahasiswa Freud, meski tidak seperti Jung, sebagian besar karyanya yang terkenal berasal dari perspektif Freudian.

Jacques Lacan The Mirror Stage as formative of the function of the I (1949)  
Jacques Lacan, psikolog Perancis, mengembangkan ide-idenya dari karya Freud tapi berbeda jauh dari bahasan sebelumnya tentang motivasi seksual. Namun, dalam publikasi mengenai pembalikan haluan, ia kembali ke teori-teori Freud dari perspektif yang sama sekali baru, dan pada tahun 1964 membentuk sekolah sendiri bernama L’Ecole Freudienne de Paris. Sudut pandang baru tentang struktur linguistik (ucapan dan aturan tata bahasa) untuk meneliti rasa identitas (subjektivitas) dalam pengendalian seksual pasiennya. Karyanya mendefinisikan ulang subjektivitas dengan menempatkan penekanan pada peran bahasa dalam budaya.         

Ketertarikannya pada ketidaksadaran menyebabkan dia berspekulasi tentang bagaimana kita belajar untuk secara sadar melihat diri kita sendiri. Menurut Jean-Louis Raudry dan Christian Metz, esai Lacan, ‘The Mirror Stage‘, merupakan salah satu karya paling berpengaruh dalam teori film kontemporer. Ini memberi Studi Film catatan tentang asal-usul subjektivitas yang digunakan oleh Metz dalam eksplorasi tentang film sebagai ‘teknik imajiner’ (lihat di bawah). Sedangkan model psyche Freud (pikiran) menggunakan istilah id, ego dan superego. Model psyche dari Lacan  mengadopsi istilah imaginary, symbolic dan real. Imajiner, simbolik dan nyata tidak dapat dipisahkan, tetapi menjadi sistem yang saling tergantung; jika ada yang terputus maka semua menjadi terputus. Sementara keduanya, Freud dan Lacan meneliti bawah sadar, penting untuk dicatat bahwa istilah mereka tidak saling dipertukarkan.

Imajiner
Menurut Lacan, sebelum seorang anak memiliki perasaan tentang siapakah mereka, (rasa identitas diri), mereka berada dalam apa yang Lacan sebut imajiner. Tahap ini dimulai sebelum anak belajar berbicara. Selama tahap pra-verbal ini anak mulai mengembangkan rasa keterpisahan dari ibu maupun dari orang lain dan juga benda-benda. Namun, pemahaman anak ini tidak lengkap.         

Pada tahap pertama khayalan anak tidak memiliki pembeda antara dirinya dan ‘lainnya’. Kemudian antara usia 6-18 bulan (sebelum dapat berjalan atau berdiri tanpa bantuan) itu mungkin melihat gambar di cermin. Pada titik ini anak memasuki apa yang Lacan sebut ‘panggung cermin’, Anak mencoba main-main untuk memahami gambar di cermin dengan menguji hubungan gerakan terhadap citra yang tercermin. Anak biasanya bersandar, maju dan mundur, meraih cermin, menarik wajah dan mencoba untuk menjilat atau mencium gambar yang tercermin. Anak itu menatap seolah berusaha mengambil foto dari dirinya sendiri, ‘aspek gambar seketika’ (Lacan, 1977, p.2). Menurut Lacan ini adalah tahap kedua.         

Lacan menjelaskan tindakan ini sebagai pembentukan ego, pengakuan pertama dari citra anak itu sendiri. Anak mulai melihat dirinya sebagai manusia utuh, sebagai pisahan dari serpihan dunia. Namun, ilusi pertama tentang keutuhan dan rasa ‘itu aku‘ adalah pengakuan yang salah. Anak dalam keadaan tidak berdaya, tergantung pada induknya, goyah dan membutuhkan dukungan, meskipun percaya bahwa apa yang dilihatnya adalah gambar utuh yang independen. Bagi Lacan ini adalah sebuah gambar dari apa yang mungkin; itu adalah sebuah mitos, itu adalah antisipasi. Gambar yang dilihat oleh anak adalah fiksi (sebuah Gestalt, fatamorgana) karena mengungkung si bayi, menyembunyikan kurangnya koordinasi dan fakta bahwa itu membutuhkan dukungan fisik untuk berdiri tegak.          Idealisasi diri ini adalah misrecognition karena ‘membayangkan’ kenyataan selalu tercapai, situasi yang mengarah ke frustrasi dan agresi antara diri dan citranya. Dengan demikian, citra dapat menjadi: double: saingan dan obyek serangan
ideal: sesuatu yang perlu dipertahankan atau diserang yang tak terjangkau
lawan: sekali lagi, untuk diserang (Lacan, 1977, p.3).  

Simbolis
Pada usia 6-18 bulan anak mulai belajar berbicara dan bersosialisasi. Sosialisasi membutuhkan rambu-rambu (tidak harus melakukan itu) dan pengekangan (biasanya fisik). Karena bahasa pre-exist (pra-ada), anak harus belajar untuk mematuhi aturan. Anak laki-laki telah memasuki fase Oedipal (Freud), yang bagi Lacan terletak pada bahasa sosok patriarkal (ayah) dengan suara berwibawa dalam keluarga. Lacan mengacunya dengan istilah ‘nama ayah’ (1977, pp.50, 150-3). Dalam mematuhi hukum ini anak merepresi keinginan, dan represi ini membawa alam bawah sadar. Anak merupakan bagian dari tatanan simbolik dan menyadari bahwa ia telah terpisah dari induknya sebagai objek keinginan, dan seperti menemukan perempuan ‘lain’ untuk memenuhi jalan Oedipal-nya.         

Ranah simbolik ditemukan dalam teks-teks realis. Ini adalah dunia  patriarkal dan logika yang terlihat dalam genre  film seperti Western dan film perang. Dalam bentuk yang jauh lebih rumit ide-ide ini menjadi berpengaruh dalam menjelaskan efek psikis dan politik film. Tahap imajiner sebagian besar difokuskan pada ibu, sedangkan bila anak masuk ke dalam tahap simbolik, ayah menjadi fokus perhatiannya.  

Nyata
Ini adalah bagian yang paling rumit dari sistem Lacan, dan untuk alasan itu kita berhadapan dengan itu terakhir. Lacan dan pengkritiknya berdebat apakah urutan real merupakan periode sebelum imajiner atau setelah simbolik. Demikian pula deskripsi nyata berbeda-beda sangat tergantung pada apa yang kita baca. Dalam upaya untuk meringkas sebagian dari interpretasi itu, sebenarnya adalah keadaan eksistensi yang terjadi selama beberapa bulan pertama kehidupan (neo-natal). Pada tahap ini tidak ada konsepsi bahasa atau dunia luar. Namun, bayi tidak mengalami sensasi  utama dari kebutuhan (makanan, kenyamanan dan tidur). Lebih pilunya, sebenarnya dapat dianggap ‘bukan apapun selain kebutuhan’. Tidak bisa dimasukkan dalam kata-kata, seperti kata-kata yang pernah kita temukan yang bergerak melampaui nyata menuju simbolik. Karena sulit ditangkap dan sulit didiskripsikan, kita mengalami rasa cemas dan trauma karena tingkat pemahaman kita gagal bekerja. Kita tidak bisa memahami tentang nyata tanpa kembali ke keadaan sebelum bahasa. Akibatnya, tahap Lacanian ini sering ditemukan dalam tulisan ilmiah pada genre film horor dan juga yang terkait dengan ide-ide Freud tentang arketipe karena menyinggung sensasi rasa takut.  

Penelitian cermin-psikologis Lacan berguna untuk peneliti film, di mana layar diganti cermin fisik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mengidentifikasi penonton (dan misrecognizes) karakter dan situasi pada layar. Ide ini dieksplorasi lebih mendalam oleh Christian Metz.

Christian Metz The Imaginary Signifier: Psichoanalysis and Cinema (1975)         
Christian Metz diakui teori pertamanya pada hubungan antara film dan penonton. Dalam esai seminal The Imaginary Signifier, Metz menggunakan metode ilmiah untuk menentukan fungsi dan makna dari film. Dia bertanya dapatkah kontribusi […] psikoanalisis menjadi pengetahuan tentang penanda sinematik? (1982, hal.42).         

Dari gambaran karya Lacan tentang cermin-panggung, Metz merumuskan hubungan antara ide-ide yang diuraikan dalam tahap cermin dan cara kita melihat film. Di bioskop selalu ada sebuah gambar pada layar tetapi tidak seperti cermin, pantulan penonton tidak ada. Metz menyatakan, ‘aktivitas persepsi yang terlibat adalah nyata […) tetapi yang dirasakan bukan objek sebenarnya, itu […] yang ganda, replika dalam jenis baru dari cermin’ (1982, p.45).           

Apa yang dilihat dan didengar bukankah fantasi (membayangkan) sebagai gantinya adalah pra-rekam. Oleh karena itu, penonton tidak dapat mengidentifikasikan dengan dirinya sendiri, tetapi hanya dapat mengidentifikasi dengan objek pada layar. Oleh karena layar berhenti menjadi cermin, Metz menyatakan: Saya tahu saya mengamati sesuatu yang imajiner (dan itulah sebabnya absurditas-nya […] tidak serius mengganggu saya) dan saya tahu bahwa itu adalah apa yang saya rasakan. […] Saya tahu bahwa […] organ-organ indera saya secara fisik terpengaruh, bahwa saya tidak berfantasi, bahwa dari keempat dinding bioskop (layar) benar-benar berbeda dari tiga lainnya, bahwa ada proyektor yang menghadap [layar]. Saya juga tahu bahwa saya lah yang sedang mengamati semua ini, bahwa materi perasaan-imajiner ini seakan tersimpan pada layar kedua. (1982, pp.48-9)         

Bagi Metz, menonton film memerlukan identifikasi, karena tanpa identifikasi maknanya tidak dapat dipahami. Seperti saran Lacan, identifikasi berlangsung dalam urutan imajiner, yang diatur oleh simbol. Hal ini berlaku juga untuk film (sistem tanda yang menandakan ditandainya ketidakhadiran – lihat ‘Strukturalisme dan Post-strukturalisme’).         

Ide yang paling nampak adalah bahwa penonton mengidentifikasi  karakter, tapi tidak semua film memiliki karakter (dokumenter, film seni, film abstrak, dll). Oleh karena itu, Metz menyimpulkan bahwa penonton juga mengidentifikasi dengan perangkat sinematik itu sendiri, yang menggambarkan hubungan antara aktor, kamera, proyektor, layar, penonton dan penciptaan ulang dari aksi pencarian. Pada titik ini bahwa analisis Metz memanfaatkan aspek dari semiologi, yang dijelaskan lebih mendalam di ‘Strukturalisme dan Post-strukturalisme’. Namun, menarik untuk dicatat bahwa Metz menarik dari ide Lacan tentang misrecognition anak-anak, dan menggunakannya untuk mengeksplorasi gagasan identifikasi pada film dan keyakinan semu dalam realitas.  

Kesimpulan

         Interpretasi psikoanalisis adalah ilmu yang masih berlangsung karena pengalaman kita terus mempengaruhi cara kita membaca teks-teks budaya. Dalam usaha pembacaan Psikoanalisis secara netral; ada fitur atau rincian yang dapat diabaikan karena tidak relevan yang dapat menimbulkan banyak makna. Namun, kita perlu waspada terhadap over-reading teks film (ingat analogi cerutu dari Freud).

         Penting untuk dicatat bahwa sejumlah aspek utama yang terkait dengan Psikoanalisis tidak semuanya tercakup. Hal ini karena merupakan aspek untuk bidang Feminisme. Misalnya, karya Freud pada scopophilia, voyeurisme dan fetisisme yang berperan dalam mendukung karya Laura Mulvey.

         Psikoanalisis telah mengalami banyak pergeseran dalam fokus dan tantangan ide-idenya. Karya SlavoJ Zizek menggambarkan hal ini. Zizek, adalah seorang ahli teori Slovenia yang mempertanyakan konsep Lacan tentang imajiner dalam teori film (Zizek “1989), seperti Joan Copiec (2000). Penggabungan pemikiran ilmiah dengan seni terus berkembang dan menghasilkan ide-ide menarik. Sebagai catatan, William Indick dalam pengantar psikologi untuk penulis naskah: ‘Sebuah pemahaman menyeluruh pikiran bawah sadar – tempat lahirnya fantasi, mimpi, dan imajinasi – adalah titik fundamental keberangkatan untuk menciptakan gaung naskah dan film psikologis. (Sumber: Etherington & Doughty, 2011).