Teori Queer: Dekonstruksi Gagasan Seksualitas dan Gender

Teori Queer:

Pendekatan studi sosial dan budaya yang berusaha mendekonstruksi gagasan tentang seksualitas dan gender, khususnya pengakuan norma heteroseksualitas dan persepsi dikotomi laki-laki dan perempuan.

Teori Queer pertama kali muncul tahun 1970-an namun tidak mendapat pengakuan hingga awal tahun 90-an. Teori ini berkembang dari sejumlah wacana kritis bidang-bidang baru  yang berkaitan dengan gagasan mengenai marjinalitas (jenis kelamin, ras dan etnis). Sedangkan Feminisme memandang perlu membaca kembali keseimbangan tradisi patriarki,  African American Studies memperebutkan supremasi sejarah kulit putih, dan Queer Theory menantang premis heteroseksualitas yang normatif.

Terminologi

Pada awal membaca terminologi tentang ‘queer’ bisa terjadi pelanggaran dan oleh karenanya tampak sebagai istilah yang tidak tepat sebagai sebuah studi. Demikian pula, definisi dari kamus tentang kata ‘queer’ rancu:

  1. Aneh, nyleneh, langka, eksentrik. Atau karakter yang dipertanyakan; mencurigakan, meragukan.
  2. Tidak seperti; sakit; pingsan, tadinya juga (slang): mabuk.

Terlihat bahwa istilah ‘queer’ secara historis terkait dengan perilaku buruk, yang menyebabkan orang-orang homofobia ingin menghina homoseksual dan memberi label berbeda pada mereka. Istilah ini kemudian disusun kembali oleh masyarakat sebagai pestanya seksualitas gay. Bukannya merasa malu, mereka dengan gigih menggunakan istilah itu sebagai lambang kebanggaan. Dengan mengangkatnya sendiri mereka berharap bisa meredakan semua konotasi negatif.

         Pengantar dari Benshoff dan Griffin dalam Queer Cinema: The Film Reader dijelaskan bahwa istilah tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi label seksualitas, namun sebaliknya untuk mengekspresikan sikap inklusivitas:

Istilah ini dimaksudkan untuk mengumpulkan beberapa kelompok terpinggirkan menjadi sebuah perjuangan politik bersama, dan juga beralih ke budaya heteroseks arus utama sebuah julukan yang telah digunakan untuk menindas orang selama beberapa dekade. (2005, p.5)

Pendekatan wilayah studi ini bisa seperti memasuki ‘ladang ranjau’ karena labelnya masuk dan keluar dari model. Harus hati-hati agar tidak menimbulkan pelanggaran. Definisi di bawah ini adalah usaha untuk memberi gambaran tentang bagaimana istilah tertentu ditafsirkan. Namun, seperti telah dibuktikan, definisi ini tidak serta merta dan oleh karenanya harus digunakan dengan hati-hati.

  • Queer: Istilah menyeluruh yang mencakup keseluruhan rangkaian seksualitas. Namun, ia memiliki konotasi politik tertentu yang terkait dengan pembangkangan. ‘Queer’ awalnya dikaitkan dengan kelompok aktivis ACT UP (AIDS Coalitions to Unleash Power) dan OutRage!, yang muncul pada akhir 1980-an masing-masing di AS dan Inggris. Kelompok-kelompok ini dibentuk setelah kemarahan publik mengenai tanggapan Amerika Serikat terhadap virus AIDS. Tujuan mereka adalah untuk menanamkan kebanggaan gay dan ganti rugi atau ‘tantangan’ yang terkait dengan stereotip homoseksualitas. Warisan politis mereka dapat dilihat dalam banyak hal, bahwa komunitas gay terus menantang diskriminasi. Istilah ini juga berfungsi untuk menggambarkan pendekatan alternatif terhadap seksualitas; Orang yang lurus pun bisa menerapkan gaya hidup yang aneh, dan menantang perilaku heteronormatif (misalnya menolak monogami; berpakaian silang; melakukan hubungan seksual dengan pria dan wanita). Baru-baru ini istilah ‘queer’ mulai digunakan secara sinonim dengan kata ‘gay’, sehingga menyeimbangkan ideologi politik yang terkait dengannya.
  • Gay: Secara tradisional istilah ini digunakan untuk menggambarkan homoseksualitas laki-laki. Namun, telah menjadi ungkapan generik untuk mengkategorikan orang-orang yang tertarik pada jenis kelamin yang sama. Tidak seperti ‘queer’, ‘gay’ adalah label yang lebih netral, juga menjadi wadah untuk homoseksual pada umumnya. Dalam inkarnasi yang baru, sayangnya, bahasa sehari-hari mengadopsinya sebagai istilah yang merendahkan.
  • Camp: Camp adalah sebuah sikap perilaku. Kinerja yang dapat dipilih seseorang untuk diadopsi. Menariknya, keahlian yang tidak eksklusif untuk homoseksual karena dapat juga dilakukan oleh heteroseksual. Misalnya, Dolly Parton dan Russell Brand dapat dianggap sebagai camp karena persona ‘over-the-top’ mereka, dan kesukaan mereka untuk memparodikan diri. Selanjutnya, hal ini bisa dijadikan strategi untuk membaca tentang film gay (lihat: estetika camp)
  • Lesbian: Secara tradisional istilah ini mengacu pada homoseksualitas perempuan. Namun, hal itu bisa dianggap bermasalah sebagai prasangka budaya (fantasi laki-laki). Karena itu banyak homoseksual wanita lebih memilih istilah ‘gay’.

Pilihan label beralih kepada individu. Ini tentang self-definition. Kehati-hatian dan kepekaan harus diperhatikan mengenai pilihan kata saat membaca film dari sudut pandang teori ini. Isu seputar terminologi yang memprakarsai ‘Queer Theory’ sebagai situs baru untuk berwacana. Analis Perancis Michel Foucault membuat langkah untuk mememformulakan perdebatan tersebut.

Michel Foucault Sejarah Seksualitas: Volume 1 (1976)  
Michel Foucault adalah salah satu ahli fikir utama abad ke-20. Tulisan-tulisannya terdiri dari kritik historis dan teoritis, yang membahas beragam isu sosial dan budaya yang sering dikaitkan dengan kekuasaan. Banyak penulis dan aktivis terinspirasi oleh keberanian Foucault dalam membuka area Studi Queer ini. Ini adalah karya besarnya dari tiga jilid dikenal sebagai The History of Sexuality (1976-84, pada Volume 1 khususnya). Trilogi ini menyajikan gagasan yang secara efektif menantang pengertian konvensional tentang seks dan seksualitas. Ia tidak mendokumentasikan sejarah perilaku seksual atau mengeksplorasi topik dari perspektif religius, filosofis atau ilmiah, namun melihat perkembangan seksualitas, dan berfokus pada bagaimana seksualitas membangun individu.         

Ia mencatat bahwa sejak zaman Yunani Kuno sampai abad kesembilan belas perilaku homoseksual terbukti, namun label homoseksualitas sebagai identitas baru muncul kemudian. Sebagai bagian dari fokusnya, Foucault memetakan karya penulis ilmiah dan medis Victoria, yang menulis tentang normalitas dan kelainan seksual. Pada tahun 1870, Carl Westphal profesional pertama mengenali dan mengakui homoseksualitas. Artikel medis Westphal menganut pandangan Victoria dan dengan demikian mengutuk tindakan homoseksual, membaginya menjadi kategori ‘psikologis’ dan ‘psikiatri’ (Foucault, hal.43). Foucault menggambarkan karya Westphal dan menyederhanakannya untuk menyatakan tahun 1870 sebagai tanggal lahir homoseksualitas modern (hal.43).         

Meski konsepsi umum bahwa seks tidak dibahas secara terbuka oleh masyarakat umum, Foucault mengamati bahwa, pada awal abad ke-17, institusi telah berusaha untuk menekan homoseksualitas. Hubungan seks yang sama mengancam struktur sosial dan ekonomi, yang didasarkan pada pernikahan, patriarki dan rumah tangga monogami. Dia menemukan bahwa kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat dan moralitas menyebabkan berkembangnya ‘seluruhan rangkaian pengamatan mengenai seks’ (hal.26). Hal ini menghasilkan wacana tentang seksualitas dalam bidang psikiatri, kedokteran, sistem hukum dan pekerjaan sosial.            

Singkatnya, pendirian tersebut mengutuk kaum gay sebagai orang jahat atau orang gila. Foucault mengemukakan bahwa tujuan penulis sebelumnya di bidang ini adalah untuk menentukan, mendiagnosis dan menemukan ‘penyembuhan’ atas hasrat yang tidak benar tentang cinta sesama jenis dan penyimpangan lainnya. Poin-poin yang berbeda ini membuat Foucault menantang gagasan bahwa wacana tentang seksualitas sebelumnya telah ditekan.         

Foucault mengajukan sebuah kasus bahwa institusi yang berniat untuk menekan hubungan sesama jenis sebenarnya secara tidak sadar justru mendorong mereka. Dalam upaya menstigmatisasi homoseksualitas, pendirian tersebut secara aktif memberi label apa yang mereka yakini sebagai bentuk seksualitas yang tidak tepat. Dalam memberikan nama homoseksualitas dan biseksualitas, komunitas gay dapat mengadopsi identitas formal. Oleh karena itu, profesi medis dan hukum sebenarnya bertanggung jawab untuk mengkategorikan dan menampakkan segala bentuk seksualitas.  

Saat ini istilah ‘queer’, digunakan di lingkungan akademik, yang mencakup segudang identitas. Benshoff dan Griffin menyatakan bahwa:

Queer tidak hanya bermaksud mengakui bahwa ada banyak cara untuk menjadi gay atau lesbian, tapi juga mencakup dan mendefinisikan minoritas yang didefinisikan secara seksual oleh agen yang labelnya homoseksual dan/atau heteroseksualnya kurang memadai: biseksual, cross-dressed, orang-orang trans-gender […]  seksualitas sadomasochistic, dll. (2005, p.5)

Judith Butler, filsuf Amerika menulis secara prolifik tentang isu gender dan seksualitas, sesuai dengan catatan-catatan tentang sifat inklusif:

Pemahaman saya tentang queer adalah sebuah istilah yang menginginkan agar kita tidak perlu memberikan kartu identitas sebelum mengikuti sebuah rapat. Heteroseksual bisa bergabung dengan gerakan queer. Biseks bisa bergabung dengan gerakan queer. Queer bukan lesbian. Queer tidak bersikap gay. Ini adalah argumen melawan spesifisitas lesbian: bahwa jika saya seorang lesbian, saya harus berkeinginan dengan cara tertentu. Atau jika saya seorang gay saya harus berkeinginan dengan cara tertentu. Queer adalah argumen melawan normativitas tertentu, identitas lesbian atau gay yang tepat. (Michalik, 2001)

Oleh karena itu istilah ini lebih rumit dibanding saat pertama kali muncul. Ini tidak hanya digunakan sebagai oposisi biner untuk membedakan yang gay dan yang lurus. Identitas seksualnya bisa tidak tetap; Misalnya, orang yang lurus mungkin berkhayal tentang homoseksual dan juga sebaliknya. Oleh karena itu, istilah ‘queer’ memprovokasi banyak perdebatan dan isu-isu ini sangat kuat saat memandang Studi Queer.

Sejarah pembuatan film gay

Fim-film queer menurut Benshoff dan Griffin, menggabungkan tiga kategori besar (2005, hlm.1-2):

  1. Produksi      : film yang dibuat oleh kaum gay atau lesbian.
  2. Konten        : film tentang homoseksualitas, dengan cerita tentang masalah queer.
  3. Resepsi        : film yang ditonton oleh kaum gay dan lesbian.

Teori Queer dikembangkan sebagai tanggapan terhadap cara homoseksualitas digambarkan dalam film. Vito Russo adalah salah satu penulis pertama yang menunjukkan bahwa karakter gay biasanya dijadikan iblis, yang kemudian terbunuh pada akhir cerita film. Dia mengklarifikasikan hal ini dengan memasukkan ‘nekrologi’ dalam bukunya yang berjudul The Celluloid Closet: Homosexuality in the Movies.

         Salah satu film pertama yang mengeksplorasi homoseksualitas adalah film pendek eksperimental avant-garde Firework (1945) yang disutradarai oleh Kenneth Anger. Film surealis ini terdiri dari urutan mimpi-mimpi  seorang pemuda homoerotic yang dipukuli dan dianiaya secara fisik oleh para pelaut. Film ini diakhiri dengan gambar seorang pelaut yang membuka resleting untuk mengeluarkan Roman Candle (batang kembang-api). Film ini  sering disebut sebagai tengara titik awal dari bioskop queer.

         Sebelum pendekatan avant-garde Anger, homoseksualitas lebih sering muncul dalam film sebagai elemen komedi. Laki-laki gay diwakili oleh banci dan pengecut (sissy) dan karenanya diejek-ejek selama cerita tersebut berlangsung. Stereotip banci menjadi karakter pokok di film awal. Sampai batas tertentu, anggota komunitas gay ini lebih suka diwakili dalam beberapa bentuk di layar daripada diabaikan sama sekali.

         Dengan diperkenalkannya Hays Code pada tahun 1934, representasi gay di bioskop sangat disensor. Gambar homoseksualitas dan biseksualitas dilarang; Code merujuk pada aktivitas seperti ‘penyimpangan seksual’, yang secara problematis menyarankan untuk menyimpang. Salah satu film yang berhasil melewati sensor adalah film Alfred Hitchcock, Rope (1948). Berdasarkan kisah nyata pembunuh psikopat gay Leopold dan Loeb, film tersebut tidak menyebut tentang homoseksualitas. Ini adalah prosedur khusus dalam industri perfilman. Homoseksualitas pada pembuatan film baik avant-garde atau mainstream sangat dikodekan. Penonton gay harus secara aktif menemukan keterwakilan dirinya di layar. Namun, Stonewall memberi isyarat welcome.

Stonewall

Pada tahun 1969, Amerika mengalami masa kerusuhan sipil. Setelah perang melawan fasisme di Eropa, orang-orang Afrika-Amerika  mendemonstrasikan kepada dunia bahwa Amerika bukanlah ‘peleburan’ rasial seperi yang mereka yakini. Pada saat yang sama, demonstrasi meluas di kalangan pelajar dan pasifis yang berusaha mengakhiri konflik di Vietnam. Upaya untuk menantang sikap yang memotivasi komunitas gay untuk memperjuangkan kebebasan dan Stonewall memberikan kesempatan itu.

         Stonewall memberi isyarat perubahan dramatis dalam budaya gay. Peristiwa tersebut terjadi di Greenwich Village di New York, tempat tinggal bagi populasi homoseksual yang besar. Pada dini hari tanggal 28 Juni 1969, Stonewall Inn diserang oleh polisi karena melayani tamu gay. Sebelum Stonewall, tempat menari dan minum-minum gay telah dilarang dan terpaksa underground karena diskriminasi sosial.

         Pada malam itu, polisi muncul di bar milik mafia dan mulai menangkap pelanggan. Penggerebekan merupakan kejadian biasa di distrik tersebut, namun saat polisi sangat sibuk, pada kesempatan itu, para pengunjung memutuskan untuk mengambil sikap. Prosedur khususnya akan melibatkan petugas untuk memeriksa identifikasi mereka untuk memverifikasi jenis kelaminnya. Setiap pria yang berpakaian wanita akan ditahan. Namun, kali ini para pengunjung menolak untuk mematuhi tuntutan polisi dan segera kerumunan gay lokal berkumpul di luar bar, secara signifikan melebihi jumlah polisi.

         Pertengkaran terjadi, polisi disandera di dalam bar saat mobil dan kendaraan mereka dibalik di jalan. Kerusuhan menyebar, dan botol, batu bata dan tong sampah dilemparkan melalui jendela. Ketika polisi berusaha mengarahkan selang damkar pada para demonstran, tekanan airnya hanya menggeser massa. Buku David Carter, Stonewall: The Riots That Sparked the Gay Revolution (2004) – (Kerusuhan yang Memicu Revolusi Gay) mengutip dari Bob Kohler, yang menyaksikan Polisi Taktis tiba untuk membantu rekan-rekannya:

Polisi benar-benar dipermalukan. Ini belum pernah terjadi. Mereka lebih marah daripada yang pernah mereka melakukannya, karena semua orang melakukan kerusuhan … tapi tidak seharusnya melakukan kerusuhan … tidak ada kelompok yang pernah memaksa polisi untuk mundur sebelumnya, jadi kemarahannya sangat besar. Maksudnya, mereka ingin membunuhnya. (Hal.175)

Dengan bertambahnya jumlah mereka, polisi berusaha mendorong massa untuk kembali. Hal ini menyebabkan respon dari massa yang mendadak bersorak, menendang dan mulai bernyanyi:

Kita gadis-gadis Stonewall.

Kita memakai rambut ikal.

Kita tak memakai celana dalam.

Kita tunjukkan rambut kemaluan kita.

Perlawanan terbuka ini mengilhami komunitas gay. Kerusuhan berlanjut selama beberapa malam sebelum akhirnya mereka menenangkan diri.

Stonewall adalah episode penting pada revolusi gay dan perjuangan mereka atas hak-hak sipil gay. Alih-alih memalukan seksualitas mereka, kebanggaan gay menjadi slogan baru dan lahirlah gerakan pembebasan gay .

Post-Stonewall

Stonewall menjadi katalisator. Ini mendorong banyak praktisi gay untuk secara terbuka merangkul mereka dan menggunakannya untuk menginformasikan karya budaya mereka. Derek Jarman, sutradara Inggris, adalah salah satu pelopor dalam mempromosikan kebanggaan gay. Berlatar belakang film eksperimental, mirip dengan Anger dan para pembuat film gay lainnya, Jarman menghasilkan film pertama yang positif dan terbuka, Sebastiane (1976). Kemudian diikuti oleh karya terkenalnya, Jubilee (1978). Pada tahun 80an, Jarman menjadi figur bagi hak-hak sipil gay, yang secara terbuka mengikuti Klausul 28, bagian dari Undang-Undang Pemerintah Lokal Inggris 1988, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah ‘tidak boleh secara sengaja mempromosikan homoseksualitas atau menerbitkan materi dengan tujuan mempromosikan homoseksualitas. Film Caravaggio (1986) dipandang sebagai serangan terbuka terhadap Pasal 28. Karya terakhirnya, Blue (1993) diciptakan karena ia sangat tersiksa oleh AIDS yang dianggap sebagai bukti atas keyakinannya.

         Pembuat film gay lainnya yang muncul pada periode pasca-Stonewall adalah Pedro Almodovar, John Waters dan Isaac Julien. Penting untuk dicatat bahwa karya Julien menyoroti isu ras dan juga seksualitas gay.

New Queer Cinema

B. Ruby Rich New Queer Cinema (1992)
Ungkapan New Queer Cinema ‘pertama kali diciptakan oleh B. Ruby Rich dalam sebuah artikel yang ditulis untuk Village Voice pada tahun 1992, dan dicetak ulang di Sight and Sound akhir tahun itu. Dalam teks seminalnya ini ia menyoroti peningkatan film gay yang signifikan yang ditampilkan di festival film:
Di sana, tiba-tiba, ada sejumlah film yang sedang melakukan sesuatu yang baru, menegosiasikan kembali subjektivitas, menelan seluruh genre, merevisi sejarah dalam citra mereka. Sepanjang musim dingin, musim semi, musim panas, dan musim gugur, pesannya terdengar keras dan jelas: queer is hot. (Hal.15)  

Rich segera menunjukkan bahwa tren baru pembuatan film ini memasukkan beragam keprihatinan. Namun ia mengemukakan bahwa film ‘New Queer Cinema’ dapat dikenali karena etos berbaginya:
Sebutlah ‘Homo Pomo’ [Postmodernisme]: ada jejak tentang perampasan dan pastika, ada ironi, serta pengulangan sejarah dengan konstruktivisme sosial yang sangat banyak dalam pemikirannya. Secara pasti melanggar pendekatan humanis yang lama dan film yang menyertai politik identitas, karya-karya ini seronok, energik, silih bergantian antara minimalis dan eksesif. Yang terpenting, semuanya penuh kegembiraan. Mereka di sini, mereka queer (aneh), marahilah mereka. (Hal.16)  

Ungkapannya yang menantang sebagai ilustrasi tentang kegembiraan yang dialami komunitas gay, karena film-film ini menggambarkan homoseksualitas sebagai perayaan. Film-film yang ia bahas sebagai bagian integral dari munculnya New Queer Cinema meliputi: Gus Van Sant’s My Own Private Idaho (1991) dan Derek Jarman, Edward II (1991). Namun, terlepas dari ketertarikan utama pada pembuatan film gay, Rich menunjukkan bahwa pembuat film laki-laki lah yang diakui. Pembuatan film lesbian masih terpinggirkan meski tampil sangat kuat di arena festival. Rich secara anekdot merangkum perdebatan yang terjadi di berbagai festival yang ia hadiri. Ia mengingat komentar Richard Dyer bahwa ‘ada dua cara untuk menolak sebuah film gay: satu adalah mengatakan “Oh, ini hanya film gay“: atau yang lain, untuk mewartakannya, “Oh, ini film yang hebat, kebetulan saja gay” (hal.21). Rich menyatakan dengan antusias bahwa ini tidak terjadi pada sebagian besar film yang diputar di Utah:
Mereka sangat hebat dari cara mereka menjadi gay. Ke-queer-an mereka tidak lagi asal-asalan, sehingga estetika mereka, tidak melebihi keasyikan masing-masing dengan menginterogasi sejarah. Waktunya queer berdamai dengan masa lalu, mengetahui dengan pasti masa depan yang dipertaruhkan (hal.22).

         Sementara artikel B. Ruby Rich mengidentifikasi tren baru dalam pembuatan film gay, Monica B. Pearl lah yang mempertanggungjawabkan kemunculannya. Pearl dengan berani mengklaim bahwa: ‘New Queer Cinema adalah film AIDS’ (2004, hal.23). Pendekatannya adalah untuk mempertimbangkan bagaimana AIDS secara drastis mengubah komunitas gay, sikap terhadap homoseksualitas, dan bagaimana pembuatan film menjadi cara untuk memahami penyakit ini:

New Queer Cinema menyediakan cara lain untuk memahami virus tersebut, yang mengusik dan tidak memberi jawaban mudah – yang mencerminkan, bukan sekedar mengoreksi pengalaman fragmentasi, gangguan, identitas ketidakterikatan, cerita yang tidak koheren, dan akhir cerita yang tak meyakinkan. Ini adalah cara untuk memberikan makna yang tidak mengubah atau memurnikan pengalaman. (2004, hal.33)

Bagi Pearl, gagasan tentang ‘fragmentasi’ dan ‘cerita yang tidak koheren’ ini mencerminkan bagaimana penyakit menguasai tubuh. Ia menunjukkan bahwa AIDS adalah retrovirus yang menyerang sistem kekebalan seseorang dengan menjadi bagian dari tubuhnya. “Ketika sistem kekebalan tubuh mencoba melawan infeksi asing, virus tersebut akhirnya menyerang tubuh yang menyimpannya. Upaya tubuh untuk menyelamatkan dirinya sendiri adalah yang membunuhnya’ (2004, hal.24). Oleh karena itu, cerita linier tradisional tentang penyakit dan penyembuhan dan/atau kematian harus ditulis ulang. Banyak film yang terkait dengan new queer cinema mengeksplorasi AIDS dan dampaknya yang menghancurkan, namun Pearl menggunakan penyakit ini sebagai metafora untuk membaca genre di mana AIDS bukan subjeknya.

Camp Aesthetic

Bidang lain yang menjadi cara utama untuk membaca film queer dan pembuatan film gay adalah menggunakan camp sebagai alat estetika.

Susan Sontag ‘Notes on Camp’ (1964)
Pada tahun 1964 Susan Sontag memprakarsai sebuah perdebatan mengenai istilah ‘camp’. Dalam artikel ‘Notes on Camp’, ia menjelaskan bahwa camp adalah sensibilitas dan sulit didefinisikan: Sensibilitas (berbeda dengan ide) adalah salah satu hal tersulit untuk dibicarakan; tetapi ada alasan khusus mengapa camp, khususnya, tidak pernah dibahas. Ini bukan model sensibilitas alami, jika ada yang seperti itu. Sesungguhnya esensi dari camp adalah cinta yang tidak wajar: dari tipu muslihat dan eksagerasi. (1964, hal.176).
Untuk mencoba pemahaman itu ia kemudian menguraikan lima puluh delapan ‘catatan’ diantaranya:
Camp adalah estetika buatan.
-Bersifat depolitisasi/apolitis.
-Subjektif. Camp biasanya dilebih-lebihkan.
Camp itu disengaja.
Camp benar-benar naif atau sama sekali sadar.
Camp adalah semangat pemborosan.
-Mencoba untuk serius, tapi tidak bisa dianggap serius.
-Film buruk biasanya camp.
-Gagasan camp berubah seiring berjalannya waktu.
Camp adalah pemuliaan ‘karakter’.Antitesis menuju camp adalah tragedi.
-Inti dari camp adalah untuk menurunkan yang serius. Camp itu menyenangkan, anti-serius.
Camp menawarkan pandangan komedi tentang dunia.
Camp adalah rasa, di atas semua, modus kenikmatan, penghargaan daripada penilaian.
-Pernyataan terakhir camp : bagus karena mengerikan.  

Jack Babuscio menarik kesimpulan dari temuan Sontag dan mencoba memformulasikan gagasan tentang campness.

Jack Babuscio
‘Camp and the Gay Sensibility’ (1977)
Dalam artikelnya ‘Camp and the Sensibility Gay’ (1977), Babuscio mengamati bahwa orang sering menyebut film sebagai camp, ​​namun bagi pembuat film gay yang mengadopsi estetika camp dapat menjadi pernyataan seksualitas. Ia memulai penemuannya dengan mendefinisikan apa yang dia maksud dengan sensibilitas gay:
Energi kreatif yang mencerminkan kesadaran yang berbeda dari mainstream: kesadaran tinggi akan komplikasi manusia tertentu dari perasaan yang berasal dari fakta penindasan sosial, singkatnya persepsi tentang dunia yang diwarnai, dibentuk, diarahkan, dan disampaikan oleh fakta tentang ke-gay-an seseorang (hal.121)
Babuscio menjelaskan bahwa masyarakat biasanya terpolarisasi menjadi heteroseksual (normal) dan homoseksual (abnormal) (hal.121). Tanggapan terhadap delineasi esensial seperti itu adalah penggunaan camp. Ia menunjukkan bahwa tidak semua sutradara yang menggabungkan estetika camp adalah gay (Busby Berkeley sebagai contohnya). Ini hanya saat estetika dicapai dari kepekaan gay yang menjadi ciri dari film queer.   Di bawah ini diidentifikasikan 4 aplikasi spesifiknya: ironi, estetika, teatrikal dan humor, dari camp yang sudah dia bahas panjang lebar (hal.122).  

Ironi
Di sini ia mengedepankan ‘perbedaan yang tidak sesuai’ sebagai ciri utama dari ketidak-tetapan. Secara khusus ia melihat perbedaan biner pria dan wanita. Bila pertentangan ini kabur, tercapai ironi ketidak-tetapan. Sebagai contoh, ia mengidentifikasi Greta Garbo di Queen Christina (Rouben Mamoulian, 1933), yang berpura-pura menjadi seorang pria dan kualitas androgini Mic Jagger dalam Performance (Donald Cammell dan Nicolas Roeg, 1970). Ironi juga terjadi ketika perbedaan usia tua dan muda kabur dengan cara yang tidak tepat. Pertimbangkan karakter Gloria Swanson yang menolak untuk menua di Sunset Boulevard (Billy Wilder, 1950).  

Estetika
Babuscio berpendapat bahwa estetika camp melecehkan praktik seni maistream yang mendukung ‘peleburan aturan moral yang tegas dan tidak fleksibel’ (hal.123). Alih-alih disibukkan dengan isu-isu kontemporer, pembuatan film camp mencakup subjek eksotis dan fantastis: ‘sebuah penekanan pada permukaan sensual, tekstur, citra dan kebangkitan mood sebagai perangkat gaya’ (hal.124). Unsur-unsur ini tidak penting pada plot tapi menambah jelas rasa camp.         

Babuscio menggunakan genre Horror untuk mengeksplorasi bagaimana cerita dapat mencakup estetika camp sebagai metafora. Banyak monster dalam film Horror harus bersaing dengan tekanan dari masyarakat dan ekspetasi untuk menurut dan menyesuaikan diri’ (hal.124). Penting untuk dipahami bahwa argumentasi Babuscio membingungkan karena ini adalah naratifnya bukan masalah estetika dan karenanya bagian ini agak janggal.  

Teatrikalitas
Mengapresiasi camp sebagai konsep atau orang adalah memahami gagasan tentang kehidupan ber-teater, menjadi [diri] versus permainan peran, realitas dan penampilan. (Hal.125).   Babuscio menjelaskan bahwa dalam kehidupan nyata, kaum gay tidak sesuai dengan harapan seksual tradisional. Dengan demikian, banyak homoseksual memilih untuk menyembunyikan kecenderungan seksual mereka dengan berpura-pura ‘lurus’, sebuah praktik yang dikenal sebagai ‘passing’. Hal ini bisa secara terang-terangan, meski palsu, menampilkan heteroseksualitas. Ia menyatakan bahwa sekelebatan dapat ‘menghasilkan kesadaran dan penyamaran, peniruan identitas, proyeksi kepribadian, dan perbedaan yang harus dibuat antara perilaku naluriah dan teatrikal’ (hal.126). Contoh yang ia kutip adalah ketika Jayne Mansfield memegang dua botol susu di dadanya yang lebar di film The Girl Can’t Help It (Frank Tashlin, 1957), sebuah contoh gamblang tentang seksualitas perempuan.           

Ia juga menunjukkan bagaimana sandiwara camp dapat meningkat seiring berjalannya waktu. Meskipun gaya akting dapat diterima secara naturalistik saat sebuah film diproduksi, karena usia mungkin kinerjanya mulai terlihat kuno dan terlalu bergaya. Contohnya termasuk status ikon Rudolph Valentino sebagai pahlawan romantis di film awal, dan metode aktingMarlon Brando di A Streetcar Named Desire. Selain itu, bintang bisa mendapatkan estetika camp karena karakter yang mereka mainkan. Di sini, Babuscio membahas Judy Garland, yang sangat tidak peduli apa perannya sendiri. Dia menunjukkan bahwa intensitas dan integritas Judy adalah atribut yang dapat dikaitkan dengan komunitas gay.  

Humor
Di sini Babuscio menunjukkan strategi tentang tawa di saat keadaan sulit. Meskipun ia menyebut itu sifat gay, itu sebenarnya juga umum dikaitkan dengan orang British dan karena itu argumennya cukup lemah. Meskipun demikian, karena homoseksual ditindas secara historis, Babuscio berbicara tentang ‘tawa daripada air mata’ untuk menciptakan identitas positif. Humor bisa menjadi layar atas rasa sakit dan keterasingan yang dialami oleh komunitas gay.         

Ia menyimpulkan artikelnya dengan menyoroti fakta bahwa istilah ‘camp’ sering disalahgunakan ‘untuk menandakan hal sepele, dangkal, dan “aneh”‘ (hal.134). Seperti dapat dilihat, definisi ‘camp’ merupakan bagian integral dari Queer Theory, dan Sontag dan Babuscio menjadi titik awal yang baik.

Trannies: waria, transseksual dan transgender

Teori Queer menantang penggambaran heteroseksualitas sebagai normatif. Namun aspek lain dari Queer Studies adalah fokus pada orang-orang yang tidak sesuai dengan label pria dan wanita. Perdebatan di bidang ini mencakup perbedaan antara jenis kelamin dan gender, yang sering digambarkan oleh komunitas trans sebagai ‘Seks ada di antara kedua kaki; gender ada di antara telinga.’ Untuk mengeksplorasi masalah trans, gunakan persyaratan berikut:

  1. Transvestites/Waria: Waria adalah orang yang sengaja berpakaian dengan pakaian yang berhubungan dengan lawan jenis. Pria yang berpakaian seperti wanita kadang-kadang diberi label sebagai ratu (drag-queen) dan wanita berpakaian seperti pria mengadopsi istilah raja (drag-king), meski istilah ini kurang umum. Keduanya juga bisa disebut sebagai cross-dressers atau gender-benders.
  2. Transeksual: Transeksual adalah orang yang memilih untuk menjalani prosedur medis untuk mengubah jenis kelamin. Proses ini sering disebut sebagai penugasan kembali gender. Kebanyakan transseksual percaya bahwa mereka adalah anggota lawan jenis yang secara fisik terjebak dalam tubuh yang salah. Dua istilah lain juga perlu diperhatikan: pra-operasi dan pasca operasi. Label ini menunjukkan apakah seorang waria sedang menunggu atau telah melakukan penugasan ulang jenis kelamin.
  3. Transgender: Istilah ‘transgender’ berfungsi untuk mendefinisikan orang-orang yang tidak sesuai dengan jenis kelamin lahir mereka. Ini problematik karena orang trans tidak sesuai dengan kategori  pria dan wanita murni, dan istilah ‘transgender’ adalah label yang serupa: Kategori ketiga yang ditolak dengan baik karena terlalu menyederhanakan sifat kompleks kondisi tersebut. Marjorie Garber membahas gagasan tentang ketiganya, menyadarkan tentang gagasan seks ketiga yang bermasalah:

Yang ketiga adalah pertanyaan yang mempertanyakan pemikiran biner […] ‘istilah ketiga’ bukanlah sebuah istilah. Lebih jauh lagi, ini adalah seks, yang tentunya bukan jenis kelamin ‘kabur/blur’ yang ditandai dengan istilah seperti ‘androgyne’ atau ‘hermaphrodite’, walaupun kata-kata ini memiliki arti penting secara kultural pada momen sejarah tertentu. ‘Yang ketiga’ adalah sebuah cara artikulasi, sebuah cara untuk menggambarkan ruang kemungkinan. (1993, hal.11)

Ketiga istilah di atas seharusnya tidak dianggap saling eksklusif. Misalnya seorang transeksual pra-operasi boleh memilih untuk berpakaian silang (jadi waria). Selain itu, seorang transgender juga bisa berpakaian silang atau memilih menjalani operasi (transeksual).

     Meskipun masalah yang dihadapi komunitas trans bisa menjadi tantangan, namun seringkali diperlakukan dengan cara yang ‘heboh’ oleh industri perfilman. Waria sering tampil di film untuk memberi nilai komedi seperti karakter Tony Curtis dan Jack Lemmon di Some Like It Hot (Billy Wilder, 1959) dan Doubtfire (Chris Columbus, 1993). Sebagai alternatif, mereka menampilkan cerita gay secara terang-terangan seperti La Cage aux Folles (Edouard Molinaro, 1978) dan The Adventures of Priscilla, Queen of the Desert (Stephan Elliot, 1994). Gambaran yang serius tentang orang trans dapat ditemukan di film The Crying Game dan Boys Don’t Cry (Kimberly Peirce, 1999). Selanjutnya, sutradara Spanyol Pedro Almodovar berhasil menemukan keseimbangan antara keseriusan dan humor dalam film All about My Mother/Todo Sobre Mi Madre (1999).

Politik penindasan

Meskipun homoseksualitas secara historis telah terpinggirkan, perlakuannya di negara lain seringkali jauh lebih buruk. Berikut adalah beberapa contoh sutradara yang berusaha menghadapi sikap homofobia di negara mereka sendiri.

Spanyol

Sutradara Spanyol Pedro Almodovar memulai karirnya sebagai anggota grup La Movida Madrilena. Kelompok yang berbasis di Madrid yang dibentuk pada masa transisi setelah kematian diktator Francisco Franco di tahun 1975. Selama zaman Franco, kaum homoseksual seringkali dipenjara dan disiksa karena di sana homoseksualitas adalah tindak pidana. Negara ini menganut ortodoksi yang ketat, yang sangat membatasi banyak aspek kehidupan.

         La Movida Madrilena adalah kelompok countercultural bawah tanah yang menemukan perayakan kebebasan yang baru setelah kematian Franco. Mereka membanggakan diri dalam mengeksplorasi seksualitas, narkoba dan segala hal tabu. Karya awal Almodovar secara sadar, camp dan flamboyan. Estetika camp (lihat di atas) terus berlanjut sepanjang oeuvre-nya, dengan karakter waria dan cross-dressing. Ia cukup dihormati karena cerita melodramatisnya yang mempertanyakan dan merayakan gagasan feminitas (baik itu biologis atau dicapai melalui operasi tambahan). Meskipun keaslian gaya semacam itu bisa dikaitkan dengan seksualitas sutradara, ia tidak mendapat julukan sebagai ‘pembuat film gay’ karena ia menganggap dirinya sebagai pembuat film yang kebetulan gay.

Cina

Homoseksualitas di China terpaksa bergerak di bawah tanah karena adanya sejarah intoleransi. Namun, era internet telah berperan dalam menghubungkan komunitas gay, karena menciptakan ruang di mana orang dapat menyuarakan pendapat mereka. Contoh bagus dari fenomena ini adalah novel Beijing Story/Beijing Gushi, yang terbit di internet pada tahun 1996. Novel itu ditulis secara anonim: ‘Pengarangnya menggunakan nama samaran “Beijing Tongzhi” – yang secara harfiah artinya “Kawan Beijing”, namun kata Tongzhi, ialah bentuk tradisional sapaan kalangan Komunis, yang belakangan ini menjadi bahasa gaul yang artinya “gay” ‘(Lan yu, 2001). Berkisah tentang hubungan gay antara seorang siswa muda dan seorang pengusaha, dengan latar belakang pembantaian di Lapangan Tiananmen. Kedua subjek ini dilarang di daratan China.

         Novel itu diadaptasi untuk diputarkan secara terbuka oleh sutradara yang gay, Stanley Kwan. Film Lan Yu (2001) menimbulkan kontroversi karena isian materinya, yang juga memasukkan ketelanjangan pria secara penuh dan frontal. Meskipun film tersebut mendapatkan pengakuan kritis di luar negeri, namun dilarang di China bersama-sama dengan film-film Barat yang menggambarkan homoseksualitas.

India

Homoseksualitas sudah lama menjadi tindak pidana di India. Baru pada bulan Juli 2009 akhirnya terdekriminalisasi. Meskipun Kama Sutra kuno secara terang-terangan menggambarkan tindakan seksual, termasuk homoseksualitas, pelacuran dan sadomasokisme, budaya India memperlakukan subjek seksual sebagai hal tabu.

         Secara tradisional film Bollywood menampilkan karakter banci sebagai hiburan ringan. Namun, saat Deepa Mehta membuat film lesbian Fire (1996), dia mengalami serangan balasan dari kaum konservatif yang berusaha melarang film tersebut:

         Anggota partai sayap kanan yang memerintah negara, Shiv Sena, mengorganisir kerusuhan dengan kekerasan di Bombay (Mumbai), yang menyebar di India utara. Bioskop dipaksa untuk menghentikan pemutaran film dan dikembalikan ke Dewan Sensor untuk ditinjau sehingga menyebabkan kemarahan di antara aktivis hak-hak sipil. Perdebatan meletus di parlemen. Koran-koran besar India membawa perkembangan yang terus berlanjut dari film Fire sebagai berita utama setiap hari selama dua minggu, dan kontroversi tersebut juga disiarkan oleh media-media asing. (Marsh, 2002, p.237)

         Alasan film tersebut menyebabkan kemarahan seperti itu karena masyarakat India berdiri atas gagasan patriarki tradisional, dan lesbianisme bertentangan dengan premis dasar patriarki. Ketika urusan lesbian ditemukan dalam film tersebut, sang suami sangat malu dengan perselingkuhan istrinya sehingga ia membiarkannya    terbakar saat sari-nya dilalap api. Namun, dia bertahan dari api dan bersatu kembali dengan kekasihnya.

         Menariknya, Mehta lahir di India tapi sekarang tinggal dan bekerja di Kanada. Kepindahannya menyeberangi lautan lepas memungkinkannya untuk secara bebas mempertanyakan warisannya sebagai orang India. Fire adalah bagian dari ‘elemen trilogi’ Mehta dan film lainnya juga menimbulkan kontroversi serupa. Di film Earth (1998) ia mengeksplorasi keretakan antara Muslim dan Hindu semasa pemisahan India; dan di film Water (2005) ia mengeksplorasi topik tabu tentang anak-janda.

         Contoh dari Spanyol, China dan India menunjukkan bagaimana homoseksualitas diperlakukan di seluruh dunia. Bergantung pada sikap religius, politis dan moralis suatu negara, pembuat film gay bisa dan sering menghadapi penolakan.

Oleh karena itu, penting saat melihat Teori Queer bahwa kita menganggap sikap nasional terhadap homoseksualitas ini, karena hal tersebut dapat mempengaruhi produksi, pendanaan dan pemasaran film.

In the closet

Sementara beberapa sutradara membahayakan diri mereka sendiri dengan berbicara menentang kekejaman yang ditimbulkan pada homoseksual, keterbukaan semacam itu jarang dilakukan oleh aktor Hollywood. Rupert Everett, salah satu aktor gay yang terbuka, baru saja membahas masalah ini:

Faktanya adalah bahwa kita tidak dapat, dan memang tidak bisa. Seorang homoseksual berusia 25 tahun mencoba membuatnya dalam bisnis film Inggris atau Amerika atau bahkan Italia. Itu tidak berlaku dan pada titik tertentu akan menabrak dinding bata. Anda akan berhasil membuatnya bergulir pada jangka waktu tertentu, tapi pada saat pertama kali gagal, mereka akan langsung memotong Anda […] Dan, sejujurnya, saya tidak menyarankan aktor mana pun, jika dia benar-benar memikirkan karirnya. (Cadwalladr, 2009)

Meskipun ada komentar Everett, tampaknya ada sikap yang lebih toleran terhadap homoseksualitas di dalam industri film Inggris. Sejumlah aktor Inggris yang sukses menolak untuk tetap tinggal di lemari (Sir Ian McKellen, Stephen Fry, Alan Cumming dan Simon Callow), Meskipun ada beberapa bintang Hollywood yang gay secara terbuka (George Takei, Neil Patrick Harris dan David Hyde Pierce), semua bintang ini mendapat nama di televisi dan bukan di film.

         Alasan mengapa banyak aktor Amerika diam-diam akan seksualitas mereka, mungkin karena takut tidak lagi mendapatkan peran penting. Everett percaya bahwa menjadi gay yang terbuka menghambat karirnya karena bagian peran yang ditawarkan mulai berkurang setelah dia ‘keluar’. Pewawancara Cadwalladr menegaskan argumennya dengan menyatakan:

Dalam beberapa tahun terakhir ada film yang menampilkan karakter gay – Brokeback Mountain dan Transamerica – tapi dimainkan oleh pria heteroseksual, meskipun pria tulen bisa berperan gay, pria gay tidak bisa berperan pria tulen (2009).

Menariknya, sejarah menunjukkan kepada kita bahwa sejumlah bintang klasik yang ikonik meniti karier dari memainkan laki-laki heteroseksual yang sebenarnya adalah gay. Baru setelah kematian mereka, kita mempelajari seksualitas aktor-aktor seperti Rock Hudson dan Dirk Bogarde.

         Industri film nampaknya lebih banyak menerima homoseksualitas perempuan. Ellen DeGeneres adalah salah satu lesbian pertama yang secara terbuka ‘menyatakan diri’ pada tahun 1997. Dia memilih The Oprah Winfrey Show (1986-) untuk mengumumkannya; Pengumuman kehidupan nyata ini tercermin dalam acara televisi hitnya Ellen (1994-8) saat karakternya juga secara terbuka memproklamirkan homoseksualitasnya. Peristiwa itu penting karena ini adalah pertama kalinya karakter gay muncul dalam pertunjukan primetime. Pertunjukan tersebut, kemudian, segera dihentikan setelahnya. DeGeneres terkenal karena hubungannya dengan aktris film Anne Heche yang kurang terkenal dan kegilaan media seputar mereka berdua dan kehidupan pribadinya. Lesbian Hollywood terkenal lainnya termasuk Rosie O’Donnell, Sharon Gless dan Lindsay Lohan (mungkin biseksual). Penerimaan homoseksualitas wanita terbukti jauh lebih awal karena Greta Garbo dan Marlene Dietrich keduanya diyakini memiliki hubungan dengan wanita meskipun hal ini tidak pernah dikonfirmasi.

Kesimpulan

Teori Queer kebanyakan membahas tentang politik identitas dan mengenali atribut gay dalam mise-en-scene dan naratif. Hal itu lahir dari sejarah penindasan di mana orang gay dibuat merasa terpinggirkan. Pembuat film sudah berada di garis depan dalam menantang gagasan tentang akseptabilitas seksual, dan telah menjadi pembawa isu-isu gay ke arus mainstream.

         Pada saat inisiasi, Queer Studies dianggap kontroversial. Seiring masyarakat semakin memahami masalah gay, tujuan dari bidang akademis berkembang. Karakter gay biasanya tidak lagi dikesampingkan atau murni ditampilkan untuk ditertawakan. Film seperti Brokeback Mountain dan Four Weddings and a Funeral (Mike Newell, 1994) memperlakukan hubungan homoseksual seperti biasa, dan menantang persepsi yang fanatik.

         Fokus dalam perdebatan yang lebih baru menyangkut representasi komunitas trans, apakah mereka transeksual, transgender dan/atau waria. Sekali lagi, karena masyarakat lebih merangkul identitas alternatif, Queer Studies mungkin akan mengalami pergeseran ke arah lain. (Sumber: Etherington & Doughty, 2011).