Teori Auteur: Ekspresi Gaya dan Visi Individu Sutradara

Auteur:

Bahwa sutradara film memiliki pengaruh pribadi dan kontrol artistik yang begitu besar atas filmnya, sehingga ia bisa dipandang sebagai author-nya, dan film yang dianggap sebagai pekerjaan kolektif dalam hal tema atau teknis dinilai mengekspresikan gaya atau visi individu si sutradara (Etherington dan Doughty).

Berikut ini adalah gambaran singkat tentang Teori Auteur dalam studi film yang diringkas dari satu bab tentang teori film dari Understanding Film Theory (2011).

Sejarah gagasan penciptaan karya melibatkan citra pribadi dalam menciptakan bentuk seni. Karakter dalam film membantu mengindikasikan stereotip ‘romantis’ pada artis tertentu. Ketika menerapkan ide-idenya biasanya sutradara diakui memiliki kekuatan kreatif. The ‘auteur’ adalah istilah dalam bahasa Perancis yang berarti pegarang, yang berasal dari kata ‘auto’, yang berarti satu.

         Adanya sosok sebagai pengendali tunggal ini diakui pada awal 1910-an pada majalah Bioscope (di Inggris) untuk membuat identifikasi secara khusus kepada sutradara-sutradara tertentu. Demikian pula di Jerman, film Autorent juga digunakan untuk mempromosikan ide bahwa sutradaralah pengkaryanya. Kampanyenya adalah kekuatan kreatif, yaitu hak mereka untuk diakui sebagai pengkarya. Debat dari tahun 1910-an ini terus beresonansi di abad-abad selanjutnya dan merupakan salah satu penemuan dalam teori film.

         Ide bahwa film adalah satu-satunya karya dari kontributor tunggal ini cukup rumit. Film adalah proses kolaboratif, dan oleh karena itu kontrol sutradara atas semua orang yang terlibat juga diperdebatkan. Jumlah orang yang terlibat dalam produksi sebuah film mencakup: penulis naskah, aktor, desainer set, operator kamera, musisi, pendanaan, penasihat teknis, kostum dan make-up artis, editor, pemasaran dan staf distribusi. Untuk memahami perdebatan ini, perlu untuk melacak kemunculan dan perkembangan Teori Auteur dan mengeksplorasi kompleksitasnya. Perdebatan tentang auteur ini diprakarsai oleh pembuat film dan novelis Alexandre Astruc.

         Astruc menciptakan istilah camera-stylo, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai ‘pena-kamera’. Film dibawa sejalan dengan bentuk seni lainnya, seperti opera, balet, puisi, sastra dan seni rupa. Astruc membuat artikel ‘The Birth of A New Avant-Garde: La Camera-stylo” (1948), yang menyerukan bahasa baru dalam pembuatan film. Bahwa kamera harus digunakan seperti cara pengarang menggunakan pena. Pembuat film bekerja dengan cara yang lebih personal dalam bercerita. Penekanan Astruc pada ‘personal’ inilah yang memicu perdebatan, utamanya di Perancis.

Kelompok Cahiers

The Cinematheque Francaise (di Paris) adalah sebuah sebuah bioskop khusus, di mana sekelompok penggemar film secara kolektif berusaha merevolusi bioskop. Dipimpin oleh Henri Langlois, mereka mengamati film sepanjang hari dan malam, menarik perhatian orang-orang yang berpikiran sejalan, dan mengadakan debat dan eksperimen. Misalnya, mereka menonton film tanpa suara sehingga mereka bisa fokus yang penting hanya pada gambar. Fanatisme dan upaya untuk memahami esensi film ini membuahkan dua jurnal dalam perkembangan sejarah film, yaitu jurnal Cahier du Cinema dan Nouvelle Vague. Para ‘filmoholics’ ini sering disebut sebagai cinephiles karena mereka terobsesi dengan pembuatan film.

         Anggota kelompok itu antara lain:

  • Andre Bazin (Ahli teori)
  • Claude Chabrol (Sutradara dan penulis new wave)
  • Jean-Luc Godard (Sutradara new wave, penulis dan ahli teori)
  • Henri Langlois (Pengarsip)
  • Alain Resnais (Sutradara new wave)
  • Jacques Rivette (Sutradara new wave dan penulis)
  • Francois Truffaut (Sutradara new wave , penulis dan ahli teori)
  • Roger Vadim (Sutradara new wave dan penulis).

Kelompok ini berpengaruh di kalangan pembuat film dan para pemikir, di mana Francois Truffaut memiliki artikel yang paling diperdebatkan  dengan judul, ‘Une Certaine Tendance du Cinema Francais’.

Mise-en-scene

Istilah mise en scene secara harfiah diterjemahkan sebagai ‘memasukkan dalam adegan’. Berasal dari istilah dalam teater, yaitu menggambarkan segala sesuatu yang muncul dalam frame.

Terdapat empat komponen mise en scene:

  1. desain set (props dan dekor)
  2. pencahayaan (dan bayangan)
  3. akting (gerakan dan isyarat, bukan dialog)
  4. kostum dan make-up.

Untuk memahami pentingnya mise-en-scene dalam Teori Auteur, perlu untuk mengidentifikasi ciri-ciri gaya yang konsisten di film untuk memutuskan apakah atau tidak sutradara bisa ia digolongkan sebagai auteur-nya.

         Tim Burton memberikan contoh sebuah studi yang menarik pada film-film yang memiliki gaya estetika khusus, pada film Shiepy Hollow (1999) dan Big Face (2003). Secara naratif kedua film memanfaatkan hutan di sekitar Burton, dengan pohon-pohon berkerut yang menakutkan, untuk menciptakan suasana mencekam. Menampilkan sebuah dunia yang tidak nyaman, seperti umumnya dalam jenis film horror dan fantasy. Ditambah dengan penggunaan cahaya artistik dan bayangan untuk memperlihatkan  kengerian saat malam tiba.

         Burton melihat melalui penggunaan obyek dalam bingkai dan sifat nyata dari ceritanya. Tokoh protagonis, terintimidasi oleh suasana hutan. Unsur-unsur dari mise-en-scene menggabungkan ancaman-ancaman, di mana manusia diadu melawan alam.

         Selain pentingnya desain set dan tata cahaya, konsistensi estetika juga diterapkan pada penggunaan kostum dan make-up. Suatu hal yang khas dalam Auteur adalah sutradara menggunakan aktor yang sama dari waktu ke waktu. Sepanjang pengamatan Burton, Johnny Depp telah didaulat untuk berbagai peran utama. Meskipun karakternya berbeda-beda Depp telah memainkan, mendaur ulang serta mengembangkan perannya.

         Untuk mengujinya lebih detail, adalah fokus pada kostum dan make-up. Pada kedua film itu tampilan Depp berantakan dengan rambut acak-acakan. Demikian pula pakaian hitam dan putih yang mengingatkan kita pada gaya Gothic. Kostum yang flamboyan dihiasi dengan aksesoris khas jagoan kuno. Namun, tidak seperti jagoan konvensional yang pakaian kusut.

         Konsistensi dalam seluruh desain ini dicontohkan bergaya eksplisit dalam mise-en-scene film-filmnya. Penggunaan tata cahayanya, sudut gambarnya, mendapat pengaruh Ekspresionisme Jerman dan Gothic. Selanjutnya, komposisi gambarnya yang sangat mirip, mencerminkan konsisten Burton. Dia menggunakan tone gelap, lanscape yang mencekam dan benda-benda menakutkan, memberi background yang sesuai untuk cerita Gothic-nya. Hal ini selalu identik dengan karyanya.

Project film pribadi

Sisi lain dari argumen mengenai Auteur adalah gagasan sutradara yang terus mengejar signifikansi personal dalam proyek-proyek karyanya. Aspek-aspek pribadi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, seperti pandangan politik, sosial dan budaya.        

         Sebagai ilustrasi, hal ini dapat dilihat bahwa temanya relevan dalam film-filmnya. Misalnya: Sebagai seorang anak, Burton terpisah dari orang tuanya, dan tinggal bersama neneknya dari usia dua belas sampai enam belas tahun. Selama periode ini ia mencari penghiburan dengan imajinasinya, yang dipengaruhi oleh dongeng dan film tentang monster-monster. Burton mengidentifikasikan diri bukan sebagai jagoan karena ia seorang penyendiri. Dia menyatakan:

Bahwa setiap anak merespon gambar-gambar, dongeng, dan saya merasa monster pada dasarnya disalahartikan, karakter mereka biasanya berjiwa tulus pada manusia di sekitar mereka. Saya dan dongeng tentang rakasa itu cukup mirip (Sallsbury 2006. p.3).

         Selain konsistensi tematik, arahan sutradara juga dapat mencakup keaslian pribadi mereka. Hal ini dapat berupa motif visual yang diulang di filmnya. Sebagai ilustrasi dari keaslian pribadi, dapat ditemukan di film-film Spike Lee di mana ia menempatkan aktornya pada dolly kamera. Efeknya, karakter bisa mengambang, bukan berjalan, dan teknik ini langsung dikenali sebagai keaslian Lee.

Metteur-en-scene

Istilah metteur-en-scenepertama kali diciptakan oleh Andre Bazin. Seorang metteur berbeda dengan auteur dalam hal kompetensi, dan bisa sangat baik dalam hal teknis. Sedangkan auteur tetap dapat membuat film yang bagus dari naskah yang buruk. Mise-en-scene-nya akan diperjuangkan; hanya perlu beradaptasi dengan materi yang diberikan saja daripada membuatnya sendiri. Dengan kata lain, mereka mungkin menunjukkan beberapa atribut yang terkait dengan auteur tetapi tidak memiliki tambahan keterlibatan yang dalam.

Produksi

Pertimbangan lain adalah soal anggaran yang mampu diamankan sutradara. Ia tidak harus beranggaran besar untuk mengindikasikan berstatus auteur. Bahkan sebaliknya, seorang sutradara bisa sukses bekerja di genre tertentu dan karenanya dikenakan dukungan moneter sebagai proyek masa depan yang kemungkinan akan sukses secara komersial. Sebaliknya, banyak pula auteur yang bekerja di luar sistem studio besar berjuang untuk mendapat dukungan keuangan. Dalam kasus yang terakhir, nama aktor besar muncul dalam film-film dengan biaya rendah karena mereka lebih tertarik pada apresiasi yang diperoleh karena bekerja dengan sutradara seperti itu. Menariknya, hal ini mengarah ke aspek lain dalam perdebatan auteur. Meski mendapat pujian, kita tidak dapat menyimpulkan apakah sutradara memenuhi syarat sebagai auteur bila ia hanya membuat satu film. Ini menimbulkan pertanyaan: Apakah sutradara harus menghasilkan beberapa film sebelum ia dapat dianggap berstatus auteur? Atau harus punya kemampuan artistik yang diukur dengan kualitas daripada kuantitas? Ini adalah salah satu hal yang dipermasalahkan.

Problematika Auteur

Salah satu kritik utama dari sutradara sebagai pengkarya adalah, bahwa film adalah proses kolaboratif yang melibatkan tim pekerja seni eklektik, yang inputnya diabaikan ketika menerapkan teori ini. Peter Wolien mengacu pada istilah “partai tambahan” dalam produksi film sebagai ‘noise’ (Caughie, 1981, p.143). Dia menyatakan bahwa kita harus memisahkan ‘suara’ si sutradara dari ‘kebisingan’ yang berlebihan. Bentuk lain dari gangguan itu seperti: masukan dari aktor, produser dan DOP. Sekali lagi ini menekankan pribadi, visi sutradara dan meminta penonton untuk aktif dalam menemukan dan terus mendengar narasinya. Sebaliknya, apa yang ditolak sebagai ‘kebisingan’ berlebihan ini dapat menjadi hal istimewa sebagai alternatif visi sutradara. Di sini, akan mempertimbangkan empat peran:

1. Aktor

Aktor memiliki kehadiran yang unik dalam film, tidak hanya di layar tetapi juga sebagai alat pemasaran untuk menarik penonton. Film lebih sering diiklankan menggunakan nama bintangnya dan bukan sutradaranya. Bintang tertentu digadang-gadang untuk memastikan film direalisasikan. Selain itu, beberapa aktor telah membuat transisi beralih ke penyutradaraan.

2. Sinematografer

Salah satu keasyikan dalam diskusi auteur adalah fokus pada gaya visual. Tanggung jawab gaya visual ini seringkali terletak di belakang kamera. Pemilihan angle tertentu dan dept of field mempengaruhi pemahaman penonton pada keseluruhan adegan. Oleh karena itu sinematografer adalah kunci dalam keseluruhan tampilan film dan bisa dianggap sebagai auteur. Menariknya mereka dikenal sebagai ‘sutradara fotografi’ (Director of Photography/DP).

3. Penulis

Ini mungkin adalah kategori yang paling bermasalah. Jika kita lihat The Lord of The Rings: J.R.R. Tolkin lah yang menulis buku aslinya; Peter Jackson yang mewaralabakan (2001-3); Frans Walsh, Philippa Boyens, dan Peter Jackson, yang menulis skenarionya. Jadi siapa pengkaryanya dipertanyakan. Sutradara Richard Curtis percaya bahwa hal itu penting bahwa penulis adalah bagian dari proses pembuatan film, karena:

Film dibuat setidaknya empat kali. Setelah ditulis, kemudian dalam syuting, yang merupakan film kedua. Kemudian dalam editing, yang merupakan film ketiga. Maka mungkin film keempat akan kehilangan bit-nya.. yang kita suka… Naskah hanya awalan. (Owen, 2003. p.96).

4. Komposer

Banyak sutradara bekerjasama berkali-kali dengan komposer yang sama. Oleh karena itu banyak dari gaya khas terkait dengan sutradara ini sangat bergantung pada proses kolaboratif ini. Skor musik dan soundtrack sekali lagi terpisah dari penafsiran penonton.

Kasus untuk penulisan teori auteur

Diagram di bawah ini akan membantu memfokuskan pikiran kita ketika mencoba untuk membuat argumen tentang sutradara sebagai auteur atau tidak. Penting untuk dicatat bahwa ada hubungan yang mengarah ke dan dari kotak ‘rincian biografis‘. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kehidupan pribadi seorang sutradara dapat, dan atau tidak mempengaruhi pilihan estetika dan tematik pada filmnya. Gunakan ini sebagai titik awal, studi kasus untuk membantu Anda memastikannya.

Rincian BiografisTema
-Pertimbangkan riwayat sutradara. -Apakah ada kejadian penting?
-Apakah kejadian itu berpengaruh?
-Apakah pilihan materi filmnya mencerminkan kehidupan mereka?
-Bagaimana proyek-proyek film-film pribadinya?
-Identifikasikan tema yang berulang yang dipilih untuk filmnya.
-Adakah tema sejarah, politik, sosial dan/atau simbolis?
-Apa tema ini sampai kepada kita?
-Relevankah dengan pemahaman kita tentang film?
EstetikaProduksi
-Pertimbangkan pilihan mise-en-scene sutradara yang Anda pilih.
-Apakah ada kesamaan dalam gaya di filmnya?
-Pikirkan tentang pilihan warna dan suasana.
-Sifat/gaya sinematografinya?
-Analisis juga penggunaan musiknya.
-Apa anggaran mampu diamankannya?
-Apakah sutradara pilihan Anda menggunakan aktor dan kru teknis yang sama?
-Seberapa banyak gaya mereka bergantung pada orang lain?
-Dapatkah Anda identifikasi anggota tim yang turut sebagai auteur?

Kesimpulan

Mengapa Teori Auteur bertahan sebagai pendekatan kritis padahal pembuatan film jelas-jelas hasil kolaborasi? Berikut beberapa kemungkinan jawaban:

  • Sutradara sebagai auteur memungkinkan untuk mengklaim legitimasi secara seni dan akademik; Memiliki seniman film seperti memiliki seniman sastra atau perupa. Film harus diteliti dengan cara yang mirip dengan bentuk-bentuk seni lainnya.
  • Akademisi dan kritikus cenderung membahas sutradaranya karena lebih mudah ketika menuliskannya untuk pertanggungjawaban tunggal individu. Praktek ini menggunakan sutradara sebagai ‘kependekan-tangan’ yang diterima sebagai norma dan pada gilirannya mempromosikan Teori Auteur.
  • Teori Auteur adalah kunci sebagai modal budaya bagi masyarakat penggemar film, penonton film, akademisi, dan penulis (wartawan) yang semuanya mempublikasikan film menggunakan berbagai format. Internet telah memberikan plat-form untuk menyuarakan pendapat mereka. Demikian juga surat kabar, majalah, jurnal, radio dan televisi semua menghasilkan barang yang mempromosikan si sutradara (Sumber: Etherington, Doughty, 2011).