Postmodernisme: Periode Setelah Modern; Gaya, Konsep, atau Sudut Pandang Film Melibatkan Kesadaran dari Modernisme

Postmodernisme:

Keadaan, kondisi, atau periode selanjutnya setelah modern; khususnya dalam seni arsitektur, seni rupa, sastra, politik, dll, salah satu gaya, konsep, atau sudut pandang yang melibatkan kesadaran dari modernisme, terutama yang ditandai dengan penolakan ideologi dan teori yang mendukung pluralitas nilai-nilai dan teknik.

Definisi di atas adalah Postmodernisme menurut kamus, namun penting untuk diingat bahwa Postmodernisme hampir mustahil untuk didefinisikan secara jelas. Postmodernisme bukanlah sebuah gerakan tapi sebuah tempat untuk berdebat. Namun, dalam istilah populer atau untuk media, penggunaannya sering berdiri sendiri sebagai istilah payung yang meliputi produksi kreatif dalam seni. Semestinya tidak dianggap sebagai periode masa yang berbeda, tetapi sebagai gerakan estetika yang menolak ideologi modernis. Untuk memahami Postmodernisme perlu untuk memiliki beberapa pemahaman tentang ciri-ciri pokok Modernisme.

Modernisme

Peter Barry (1985) menjelaskan bahwa Modernisme utamanya menantang dan mengabaikan ‘unsur-unsur dasar’ yang lazim muncul pada jenis-jenis seni (pp. 81-82).

Lihat tabel berikut:

JenisYang ditolakCakupan
Musik  Melodi
Harmoni  
Impresionisme (Debussy)
Atonalitas (Stravinsky) Minimalis (Satie)
Seni Murni  Perspektif
Representasi realis  
Kubisme (Picasso)
Surealisme (Dali)
Dadaism (Duchamp)
Futurisme (Marinetti)
Arsitektur    Bentuk:
• atap bergelombang
• kubah
• kolom  

Bahan:
• kayu
• batu
• bata  
Bentuk:
• geometrik polos (art deco)      


Bahan:
• kaca
• beton  
Literatur  Realisme tradisional
Plot kronologis
Cerita utuh
Narator tunggal
Ending tertutup
Aliran penyadaran  
Plot non-linear
Berbentuk fragmentasi
Multi narator
Ending terbuka

Modernisme mengisyaratkan pergeseran dari klasik tradisional. Melucuti yang terlalu memperindah dan detil-detil yang tidak perlu, untuk mendukung cara baru dalam melihat dunia. Muncul pada akhir 1800-an sebagai perpindahan dari Romantisisme pedesaan sebagai sumber inspirasinya, menuju ke keberanian mentalitas urban. Modernisme juga dapat dianggap sebagai reaksi terhadap Revolusi Rusia (1905) dan Perang Dunia I (1914-1918).

Postmodernisme

Penting untuk mengakui bahwa awal Postmodernisme bukan menandakan akhir dari Modernisme. Sebaliknya, Postmodernisme harus diakui sebagai sensibilitas yang muncul dan terus berkembang dari nilai-nilai modernis. Meskipun keduanya tidak menempati periode yang berbeda, istilah Postmodernisme pertama mulai dipakai pada 1980-an (Barry, 1985, p.81). Namun Postmodernisme sebagai istilah memiliki sejarah yang rumit. Seperti dicetuskan, bergeser, makna yang fleksibel dan berubah serta asal-usulnya tidak jelas. Ihab Hassan percaya pertama kali muncul pada sekitar September 1939 (l985, p. 122), sedangkan menurut Tim Woods istilah ini telah digunakan sejak tahun 60-an (1999, hal.10). Masalah definisi melambangkan perdebatan postmodernis dan perhatian seni.

         Postmodernisme sebagai sebuah teori meliputi berbagai disiplin ilmu termasuk arsitektur, seni murni, sastra, politik, filsafat, sosiologi, dll. Karena sifat interdisipliner, kita bisa temukan istilah ‘Modernisme dan ‘Postmodernisme’. Meskipun  secara khusus kita kaitkan dengan Film, pluralitas di sini menggambarkan luasnya beragam pemikiran. Selanjutnya, untuk memahami Postmodernisme perlu untuk mengakui bahwa istilah Postmodernisme, Postmodernity dan Postmodern sering digunakan secara bergantian untuk mendefinisikan suatu periode (pasca-1980), kondisi sosial (kapitalisme) dan gerakan ideologis (gaya estetika), Kutipan di bawah ini menggambarkan bagian tersebut:

Simon Maipas menyatakan:

Postmodernitas menandai transformasi yang terjadi di masyarakat selama beberapa dekade terakhir dengan munculnya bentuk-bentuk baru kapi-talisme, perkembangan teknologi komunikasi seperti internet, runtuhnya Uni Soviet (…) dan munculnya suara dari budaya yang berbeda untuk menggoda pria kulit putih tradisional. (2005, p.3)

Fredric Jameson (di bawah ini) mencatat bahwa Postmodern:

bukan hanya kata lain untuk mendeskripsikan gaya tertentu. Juga merupakan konsep periodisasi yang berfungsi untuk menghubungkan munculnya sifat resmi yang baru pada budaya, dengan munculnya jenis kehidupan sosial baru dan tatanan ekonomi baru. (dalam Malpas, 2005, p, 31)

Oleh karena itu ketika menulis tentang Postmodernisme penting untuk memilih istilah yang benar dan menggunakannya dengan tepat.

Ciri-ciri pokok

Ada banyak sisi yang beragam yang diakui sebagai postmodern. Di bawah ini tercantum tabel yang dipilih berdasar sifat-sifat yang berhubungan dengan gerakan.

Ide ide
  • menantang perbedaan antara budaya tinggi dan rendah
  • penolakan terhadap Grand Narative (Lyotard)
  • arti tanda-tanda tidak lagi stabil
  • mempertanyakan orisinalitas  (Baudrillard)
  • realitas digantikan oleh simulasi (Baudrillard)
  • refleksi diri (kesadaran diri semu)
Struktur
  • intertekstualitas dan bricolage (seni mendaur ulang ide-ide)
  • eklektisisme
  • hibriditas (tidak lagi menggunakan konvensi generik)
  • non-linear/cerita terfragmentasi dibanding format tradisional
Gaya Estetika
  • pastiche/bunga rampai (pengulangan gaya lama )
  • parodi (humor tongue-in-cheek)
  • ironi (tantangan mengasyikkan atas keseriusan Modernisme)
  • camp dan kitsch (merayakan ketidaknyamanan)
Karakterisasi
  • multi identitas dan keretakan identitas
  • kaburnya pemikiran tradisional tentang baik dan buruk

Meskipun daftar ciri-ciri ini luas, banyak poin yang menampilkan garis pemikiran yang sama. Ada ‘angkasa bermain-main’ yang secara sadar terjalin dalam teks postmodern; hal itu dapat dianggap sebagai seni ‘mengangguk dan mengedipkan mata’. Misalnya, jika menonton film kita selalu melihat referensi ke film-film lain, ke buku, komik, dll. Maka sangat mungkin kita menonton film Postmodern. Referensi kita menggambarkan identifikasi tingkat kompetensi budaya. Quentin Tarantino terkenal menggunakannya dari film-film dan budaya lain secara terang-terangan dalam Kill Bill Vol. 1 dan Kill Bill Vol. 2 (2003-4). Praktek ‘meminjam’ ini, dikenal sebagai intertextualtty, yang diformulasikan dalam teori Fredric Jameson.

Fredric Jameson
Fredric Jameson adalah ahli teori Marxis Amerika yang menulis tentang postmodern. Artikel seminal ‘Postmodernisme and Consumer Society‘ (1983) dan ‘Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism’ (1991), sebuah upaya untuk menganalisis peran bioskop dalam perdebatan ini. Kedua artikel melingkupi ide yang sama, tetapi dari perspektif yang agak berbeda.  

Postmodernisme and Consumer Society‘ (1983)
Dalam ‘Postmodernisme dan Masyarakat Konsumen’, Jameson memulai dengan pengakuan bahwa konsep Postmodernisme tidak banyak dipahami atau diterima karena karya-karya itu cakupannya asing bagi banyak orang. Argumennya adalah bahwa ketika bentuk Victorian dan postVictorian memberi jalan pada Modernisme, generasi awal berpikir bahwa karya-karya Le Corbusier, Frank Lloyd Wright, James Joyce, Marcel Proust, dll, mengejutkan dan berskandal. Namun tahun 1960-an dianggap melambangkan Modernisme dan diterima sebagai bagian dari pembentukannya.

Terkait dengan (Modernisme) ‘baru’ kemudian menjadi stimulus bagi generasi muda tahun 60-an, yang ingin menyeberangi batas tradisi, bereaksi melawan Modernisme yang terlihat pada karya Postmodernis Andy Warhol (pop-art/seni-populer). Demikian pula, karya musik John Cage dan komposer Philip Glass, dengan punk dan new wave rock (Talking Heads), literatur karya Thomas Pynchon dan film-film karya Jean-Luc Godard semuanya dianggap postmodern.

Bagi Jameson, mengabaikan masa lalu untuk memberikan penjelasan yang masuk akal tentang timbulnya Postmodernisme, menjelaskan dua hal:
1. ‘Sebagian besar postmodernisme menyebut […] munculnya reaksi spesifik terhadap bentuk-bentuk mapan dari modernisme tinggi’.
2. Ada penyusutan batas-batas utama dari budaya tinggi dan budaya massa karena Postmodernisms baru ditemukan dalam iklan-iklan, Film Hollywood kelas-B , atau genre airport paperback.

Cerita lebih lanjut yang signifikan dari praktek postmodernis adalah pastiche (bunga rampai). Modernisme didasarkan pada gaya pribadi, misalnya, seorang penulis atau sutradara film. Namun, Jameson percaya bahwa kita sekarang ada ‘di dunia di mana inovasi gaya tidak memungkinkan lagi, semua yang ada adalah meniru gaya yang sudah pernah ada‘ Ia menawarkan penjelasan melalui contoh dengan yang ia sebut ‘Film Nostalgia’ atau film retro yang memiliki tiga kategori:
1. film sejarah (historical), settingnya di masa lalu dan tentang masa lalu: American Graffiti (George Lucas, 1973), Schindler List (Steven Spielberg, 1993) dan The Young Victoria (Jean-Marc Vallee, 2009).
2. Film-film yang ‘menemukan kembali’ masa lalu (reinvent): Raiders of the Lost Ark (Steven Spielberg, 1981), Titanic (James Cameron, 1997) dan Enigma (Michael Apted, 2001).
3. Film dengan setting di masa kini, tetapi membangkitkan masa lalu: Sleepless in Seattle (Nora Ephron, 1993), Brick (Rian Johnson, 2005) dan V for Vendetta (James McTeigue, 2005).  

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa pembuatan film melihat ke masa lalu sebagai inspirasi, yang berarti bahwa ‘inovasi gaya tidak mungkin lagi’. Sebaliknya kebangkitan genre lama dan hibriditas menjadi marak.  

‘Postmodernisme, atau Logika Budaya dari Akhir Kapitalisme’ (1984)
Seperti judulnya, Jameson menghubungkan perubahan budaya dengan perubahan struktur ekonomi (kapitalisme akhir). Jameson mengkaitkannya dengan menjaga warisan kehidupan Marxisme. Dengan demikian, dalam anggapan Marxis mengenai masyarakat, budaya superstruktur  Postmodernisme terhubung dengan basis ekonomi kerakyatan. Dengan kata lain, karena perubahan ekonomi di Barat, akibatnya budaya di sekelilingnya juga berubah.             

Konsumsi tidak lagi tentang pembelian produk yang berguna tetapi  membeli pilihan gaya hidup dan identitas. Hal ini menyebabkan ‘new depthlessness’ (Natoli dan Hutcheon, 1993). Untuk menggambarkan ‘depthlessness’, Jameson membandingkan lukisan Vincent Van Gogh, A Pair of Boots (1887) dengan karya Andy Warhol, Diamond Dust Shoes (1980). Pada likisan Van Gogh adalah sepatu petani yang berdebu; gambarnya kontekstual. Namun, dalam karya Andy Warhol, lukisan menggambarkan sepatu-sepatu wanita mengambang di angkasa; tampaknya tidak memiliki konteks sosial. Bagi Jameson, lukisan Warhol  ‘tidak berbicara kepada kita sama sekali … [Memiliki] semacam kedangkalan …fitur resmi tertinggi pada Postmodernisme’ (Natoli dan Hutcheon, 1993). Jameson juga menyoroti fakta bahwa contextlessness adalah sifat utama dari Postmodernisme. Begitu fokus pada komoditas, seperti sepatu, terus direproduksi dalam gambar Warhol, menjadi indikator lain dari budaya konsumen postmodern.  
       
Jameson meneliti berbagaiseniman untuk menunjukkan keragaman Postmodernisme dan untuk menunjukkan bahwa kategorinya terlalu  beragam untuk menjadi sebuah teori. Untuk membuat ide-idenya murni, ia menetapkan diskusinya tentang apa yang merupakan film Postmodern dengan fokus pada bagaimana percaya bahwa budaya postmodern memiliki ‘depthlessness’ dan preferensi yang dangkal, ‘bermain tekstual’ dan ‘berbagai permukaan’ (yang sering disebut intertekstualitas) (p.318).

         Ia melihat karya seni postmodernis sebagai ‘karung undian virtual subsistem yang terputus-putus dan acak untuk membaca hasil diferensiasi bukan unifikasi’ (p.325). Diperlukan cara baru untuk melihat dan memahaminya. Contoh, ia mengutip dari film The Man Who Fell to Earth (Nicolas Roeg, 1976). Thomas Jerome Newton (David Bowie) menonton limapuluh tujuh layar televisi secara bersamaan ‘untuk memahami dunia baru dan asing di sekelilingnya (p.326). Dibanding melihat sebuah karya seni kohesif, ia memilih untuk mendekonstruksi banyak gambar untuk mendapatkan makna baru. Jantung argumen Jameson adalah anggapan bahwa orisinalitas tidak lagi memungkinkan. Dengan cara yang sama dengan karakter Bowie, penonton Postmodern harus memahami teks-teks yang meminjam dari berbagai sumber yang berbeda. Jameson percaya bahwa inspirasi kreativitas dikembangkan dan dibangun dari tradisi masa lalu dan/atau sumber-sumber kontemporer. Postmodernisme melambangkan gaya estetika karena terdiri dari seni pinjaman dan menciptakan kembali masa lalu dan menggabungkannya dengan bentuk-bentuk baru.

Metanaratifdan Mikronaratif

‘Metanarratives’,grand-narative‘, ‘master-narative’, adalah istilah umum yang ditemukan dalam karya teoretikus Perancis Jean-Francois Lyotard. Istilah-istilah ini sering digunakan secara bergantian, tetapi beberapa teori berusaha memisahkannya, untuk menghindari kebingungan. Cerita merupakan bagian dunia intrinsik. Mereka ditulis atau diperhitungkan dengan keterhubungan episode, yang tercatat dalam urutan dan gaya sesuai dengan praktek disiplin yang terkait. Istilah cerita biasanya berhubungan dengan fiksi, khususnya di bidang sastra, teater, film dan televisi. Namun, cerita sama-sama penting untuk bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, filsafat, agama dan sebagainya (bagaimana peristiwa dicatat). Kita memahami dunia melalui struktur naratif.

Metanarratives/Grand Narative

Metanarratives adalah cerita keseluruhan (kisah besar) yang dianggap sepenuhnya benar, tak terbantahkan dan tak dipertanyakan. Sebelum abad pencerahan, gagasan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dianggap irrevocable hingga dibantah oleh Charles Darwin. Metanaratif menginformasikan kerangka pengambilan keputusan sehari-hari dan mempengaruhi fungsi ‘aturan’ di masyarakat (hukum dan agama). Metanarratif biasanya terinspirasi dari karya modernis sedangkan Post-modernisme meragukan ide tersebut. Daripada melingkupi satu kebenaran yang pasti, Postmodernisme lebih memilih untuk memanfaatkan berbagai sumber eklektik.

Micronorratives (little narratives)/petits recits

Micronarratives mencakup batas wilayah hidup yang pasti; yaitu, bahwa kita memiliki banyak peran kecil yang kita lakukan sehari-hari. Kita bisa menjadi orang tua, karyawan, olahragawan, musisi dan mahasiswa; salah satu dari sekian banyak peran. Peran ini masing-masing memiliki tindakan dalam konteks yang terbatas. Kita diklasifikasikan berdasar keefektifannya. Sebagai contoh, kita mungkin adalah mahasiswa yang pintar, tapi tak pandai bermusik. Fragmentasi hidup ini dalam banyak hal menghindari kebutuhan pada metanarratif. Konsentrasinya pada detail dan pengalaman yang berarti bahwa informasi terfragmentasi dan parsial.

Singkatnya, metanarratif berurusan dengan isu-isu besar (agama, perang, ilmu pengetahuan, dll) sedangkan kisah mikro berkonsentrasi pada kisah-kisah pribadi.

Jean-Francois Lyotard
The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979)  
Menyederhanakan secara ekstrim, mendefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanaratif.  
Karya ini dianggap sebagai salah satu catatan paling penting dari Postmodernisme. Hal ini bertujuan untuk menguji ‘kondisi pengetahuan yang paling berkembang di masyarakat’ (p.xxiii). Lyotard membahas apa yang dipahami tentang ‘pengetahuan’; bagaimana dihasilkan, bagaimana dikomunikasikan dan bagaimana digunakan oleh individu, bisnis, pemerintah dan pada masyarakat umumnya. Lebih penting lagi ia berfokus pada bagaimana pengetahuan beredar melalui cerita (kisah besar). Lyotard percaya bahwa masyarakat modern telah kehilangan kepercayaan pada metanarratif karena cenderung mencakup semuanya (lihat di atas). Namun Lyotard mengingatkan bahwa tanpa keseluruhan, seperti cerita besar, dasar ‘pembuatan aturan’-nya akan ditantang. Lyotard mengacu pada Wittgenstein tentang ‘cerita kecil’ (kisah mikro/petits recits) (hal.60). Tak puas dengan penjelasan umum yang menyeluruh, ia percaya si pencerita akan sibuk dengan isu-isu yang lebih kecil atau isu tunggal. Misalnya, kisah mikro protes insiden NIMBY-ist, ketika masyarakat setempat keberatan dengan perbaikan jalan atau pembangunan penjara. Bukannya peduli dengan isu-isu global (metanarratives), seperti kelaparan, perang dan pemanasan global. Masyarakat modern sering menginvestasikannya dalam isu-isu yang mempengaruhi masyarakat kecil (kisah mikro).

Perubahan ini tampak dalam industri film tradisional yang menyukai cerita epik, yang tercermin dalam The Birth of a Nation (D. W. Griffith, 1915) dan The Ten Commandments (Cecil B. DeMille, 1956). Tetapi pembuatan film modern lebih peduli dengan hal-hal rumit, detail yang tak penting, misalnya, diskusi tentang burger McDonald di opening film Pulp Fiction. Postmodernisme memungkinkan fokus pada hal-hal duniawi, yang biasanya tidak penting dan diabaikan dalam cerita tradisional. Merayakan momen kecil yang menjadi perhatian bersama, yang memisahkan Postmodernisme dengan cerita sebelumnya.

Karya Jean Baudrillard jauh sangat berbeda dari Postmodernis lainnya. Daripada mencari masa lalu untuk menafsirkan teks-teks, Baudrillard mempertanyakan pemahaman kita tentang kebenaran dan orisinalitas dalam manipulasi media dan teknologi modern.

Jean Baudrillard The Precession of Simulacra‘ (1981)  
Istilah ‘simulacrum’ berasal dari bahasa Latin yang berarti kemiripan. Untuk memulai tulisannya tentang gagasan simulacra, ahli teori Perancis Jean Baudrillard mengacu pada dongeng alegoris Borges tentang cartographer yang menggambar peta kekaisaran. Karena mereka membuatnya dengan detail dan berskala, peta fisik ‘meliputi wilayah secara tepat’ (Baudrillard, 1994, hal.1). Karena kekaisaran runtuh menjadi puing-puing, peta mulai diributkan hingga yang tersisa hanyalah fragmen kecil yang masih dikenali di gurun (1994, p.1). Baudrillard menjelaskan bahwa:         

Wilayah tidak meninggalkan peta, bertahan juga tidak. Tetap saja peta yang mempertahankan wilayah – presesi ‘simulacra’ […] adalah wilayah yang hancur perlahan-lahan seluas rusaknya bentangan peta. Ini nyata, dan bukan peta, yang tersisa [jejak] kita di sana-sini di padang pasir yang tidak lagi ada orang dari Kekaisaran. Kenyataan tentang gurun itu sendiri. (1994, hal.1)         

Jadi peta yang merupakan salinan dari wilayah benar-benar menjadi lebih nyata dibanding lanskap fisiknya. Dunia modern begitu penuh dengan gambar, bahwa gambar yang dulunya hanya salinan jasmani dari objek (fisik) direproduksi berkali-kali menjadi simulasi (gambar) yang meningkatkan substansi dari objek yang sebenarnya yang mencoba untuk menirunya. Penting untuk memahami perbedaan antara ‘simulasi’ dan apa yang Baudriliard sebut ‘simulacra/simulacrum’. Untuk mensimulasikan yang ‘berpura-pura’, ‘menjadi dipercaya’. Simulasi adalah gambar tiruan yang memanipulasi penonton meyakini bahwa mereka mengalami kenyataan. Misalnya, pilot trainee akan berlatih di simulator penerbangan sebelum dipercayakan untuk menerbangkan pesawat nyata. Demikian pula, Anda mungkin menemukan simulasi rollercoaster yang menyenangkan. Meskipun seperti memproyeksikan pengalaman hidup, jelas bahwa itu tidak nyata. Simulasi bekerja karena ada hubungan yang jelas antara apa yang sedang disimulasikan dan kehidupan nyata.         

Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, beberapa simulasi telah mencapai level artificialitas; acuannya pada  ‘simulacra’. Hal ini terjadi ketika simulasi telah kehilangan hubungannya dengan realitas. Ini adalah representasi dari sesuatu yang tidak pernah ada. Baudrillard menggambarkan kota kecil sebagai contoh, Disneyland. Theme-park yang menyajikan rekreasi nostalgia kota kecil Amerika (Main Street, USA). Namun, ini bukan mengkreasi ulang. Ini adalah simulacra. Penggambaran sentimentalnya semu, karena ini adalah konstruksi fiksional. Ini bukanlah representasi dari kota-kota kecil di Amerika, tetapi pengganti mitos romantis yang dianggap ideal. Oleh karena itu simulacrum terjadi saat simulasi tidak memiliki referensi pada realitas, melainkan mendapatkan jalan hidupnya sendiri. Ini menjadi hyperreal.         

Anda mungkin mengenali ungkapan ‘desert of the real‘ kutipan jaman dahulu, seperti yang terjadi pada film science fictionThe Matrix (Andy dan Larry Wachowski, 1999). Dalam film, orang-orang yang sedang koma tubuhnya dapat digunakan sebagai baterai. Mereka tidak menyadari kondisi mereka karena mereka adalah disuguhi gambar dari dunia simulasi yang mereka percaya itu adalah nyata. Mereka tidak mempertanyakan kenyataan ini karena mereka hanya mengalami simulasi. Tetapi ketika Neo (Keanu Reeves) tersadar ia mampu melepaskan diri. Namun, dunia tempat ia terbangun adalah sebuah lanskap apokaliptik di mana hampir tidak apa-apa pun yang tumbuh. Baudrillard mengingatkan: Hal yang berbahaya untuk membuka kedok gambar, karena mereka menyembunyikan fakta bahwa tidak ada apapun di balik mereka (1994, hal.5). Jadi, menurut keterangannya, jelaslah bahwa citra dunia yang diproyeksikan Neo sebenarnya simulacrum yang melahirkan dunia sunyi yang tidak punya referensi di mana ia terbangun.         

Oleh karena itu, argument esis Baudrillard adalah bahwa masyarakat postmodern bergantung pada simbol, tanda-tanda dan model yang mensimulasikan realitas daripada realitas itu sendiri. Industri media massa indus dapat membantu menggambarkan ide-ide Baudrillardis. Karena media cetak, televisi, komputer dan teknologi digital lainnya, menghadapkan kita dengan materi visual yang berlebihan setiap hari. Dengan demikian, realitas dan kebenaran membingungkan karena hampir mustahil untuk memisahkan kenyataan dari fiksi. Hal ini terbukti dalam film The Truman Show (Peter Weir, 1998) dan program Endemol – Big Brother (1997-2010). Kedua produksi ini dipengaruhi oleh novel George Orwell – Nineteen Eighty-Four (1949); Big Brother adalah nama dari aparat pengawasan yang bertindak sebagai mata dan telinga dari elit penguasa. The Truman Show mirip dengan contoh Disneyland yang dijelaskan di atas, sebagai film yang menggabungkan penggambaran fiktif dari masyarakat utopis. Big Brother juga simulacrum. Hal Ini pada awalnya dimaksudkan menjadi simulasi kehidupan nyata pada orang-orang yang hidup bersama dalam lingkungan di mana setiap saat mereka direkam. Namun, seiring waktu teman serumahnya lebih sadar kamera dan bekerja mempromosikan popularitas mereka. Selain itu, rekaman yang ditayangkan mengalami editing untuk menjangkau pemirsa pada kisah yang dipaksakan. Oleh karena itu, kembali ke tesis Baudrillard, kenyataannya disimulasikan.  

The Gilf War Did Not Take Place/Perang Teluk Tidak Terjadi (1995)
Jean Baudrillard menulis sepotong artikel berpengaruh tentang Perang Teluk Pertama 1990-1 dalam tiga bagian; artikel pertamanya The Gilf War Will Not Take Place muncul di Liberation on 4 January 1991. Bagian kedua ‘The Gulf War: Is It Really Taking Place?’ kemudian pada 6 Februari dan bagian akhir berjudul ‘The Gilf War Did Not Take Place’ muncul pada 18 Februari 1991.         

Logika di balik poin tulisannya dengan menandai perbedaan antara peperangan modern dan pertempuran masa lalu. Premis karyanya dibangun dari keasyikan tentang ide-ide dari simulasi dan simulacra (lihat di atas), Tak seperti perang-perang sebelumnya tentara akan terlibat dalam petempuran dari satu parit ke parit. Baudrillard mengklaim bahwa Perang Teluk  adalah peperangan jarak jauh: keputusan penting ada di ruang rapat di Pentagon; Informasi diperoleh dari peta dan gambar satelit, dan ahli strategi militer mengarahkan tanpa harus menginjakkan kakinya di Timur Tengah, target  serangan udara terletak di cockpits dengan layar komputer dan inframerah. Pertanyaan Baudrillard bagaimana kita tahu bahwa perang di Teluk pernah terjadi ketika tidak ada kontak fisik dengan musuh? Perang itu diperjuangkan oleh koalisi yang mirip ketika kita bermain game interaktif di PC atau platform game lainnya; sebuah simulasi. Irak, bagaimanapun, berperang dalam arti yang lebih tradisional.         

Bagi Baudriilard perang adalah keberpihakan. Pembenaran argumennya adalah bahwa pasukan koalisi merugi: perhitungan sederhana menunjukkan bahwa, dari 500.000 tentara Amerika yang terlibat selama tujuh bulan dari operasi di Teluk, tiga kali lebih banyak yang mati karena kecelakaan di jalanan saat mereka tinggal sebagai warga sipil (1995, p.69).         

Oleh karena itu ia bertanya, bagaimana mungkin konflik disebut perang? Militer Irak dan warga Kuwait, di sisi lain, menjadi korban dan kematian yang tak terhitung jumlahnya; kerugian mereka begitu besar sehingga tidak dapat diberikan angkanya. Tapi, tanpa angka konkret, bagaimana kita bisa mengkonfirmasi bahwa ada korban? Ia menyatakan bahwa ‘yang non-akan tahu sebagai bagian dari non-perang’ (1995, p.74).         

Paul Patton, yang menerjemahkan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris dan menulis kata pengantar untuk esai yang diterbitkan menyatakan bahwa: ‘argumen Baudrillard dalam Perang Teluk Tidak Terjadi adalah bahwa tidak terjadi, melainkan bahwa apa yang terjadi itu bukan perang’ (1995, p.14). Baudrillard di sini menekankan perhatiannya kepada media dan peran mereka dalam invasi. Dia menyatakan bahwa gaya sensasional pelaporan itu mirip dengan kacamata menyaksikan film-film mainstream. Ia percaya bahwa siaran televisi dari Perang Teluk yang begitu berat diedit menjadi melahirkan efek bahwa tidak ada korelasi dengan kejadian yang sebenarnya, sekali lagi dikemukakan pada kesimpulan bahwa perang adalah simulasi. Baudriliard membenarkan keyakinan ini dengan menunjukkan bahwa setelah konflik, Saddam Hussein tetap berkuasa dengan rezimnya yang utuh.  

Seolah-olah Postmodernisme tidak terlalu rumit, ada kritik tertentu yang percaya bahwa itu bukanlah konsep baru. Jurgen Habermas terkenal mengklaim bahwa Postmodernisme adalah kelanjutan dari Modernisme.

Jurgen Habermas ‘Modernitas vs Pasang modernitas (1981)         
Sosiolog dan filsuf Jerman Jurgen Habermas adalah yang paling terkenal karena kritiknya terhadap Postmodernisme. Daripada mengikuti semua tren budaya yang melingkupi postmodern, pendapat Habermas mendukung Modernitas. Dalam esainya  secara umum ia mengakui ‘Modernitas vs Postmodernitas’, yang juga dikenal dengan ‘Modernitas: sebuah proyek yang belum tuntas’, Habermas menegaskan bahwa hubungan antara “modern” dan “klasik” telah kehilangan referensi sejarah yang pasti (hal.93). Istilah ‘modern’ pertama kali diciptakan oleh orang-orang Kristiani pada akhir abad V untuk membedakan mereka dengan orang-orang Romawi yang menyembah berhala (pagan). Lebih khususnya, mengacu pada definisi periode yang terkait dengan pencerahan dan kemajuan ilmiah. Sejak itu  kemudian digunakan sepanjang sejarah untuk membedakan praktek ‘baru’ dan tradisional (hal.92).         
Seperti dijelaskan, bahwa Postmodernisme sering didefinisikan sebagai istirahat-nya ide-ide pencerahan, tetapi bagi Habermas istirahat ini adalah penyakit bagi Modernisme. Ia berpendapat bahwa istilah ‘Postmodernity’ menunjukkan kegagalan dalam ‘Modernitas’ dan klaim bahwa ‘Modernitas’ masih memiliki kepercayaan sebagai cara pemahaman budaya. Selain itu, ia menyatakan bahwa kita harus melihat pada kegagalan orang-orang yang berusaha menggulingkan Modernitas, yang berarti avant-garde dan praktisi surealis.         

Pada titik ini, argumen Habermas menjadi tidak jelas karena ia tidak secara terbuka mendiskusikan Postmodernis dan kekurangannya tetapi menggunakan terminologi konservatif (muda, tua dan neo) dan mengacu pada pendekatan ‘teroristik’ (p.101). Premis utamanya adalah bahwa Postmodernisme dimaksudkan untuk menjadi anti-elitis bagi mereka yang berusaha untuk memecahkan bentuk sebelumnya dengan produksi seni yang pura-pura meminjam budaya mereka. Dengan demikian ia percaya bahwa seni telah dihapus dari orang awam dan dari kehidupan sehari-hari. Hal ini untuk membatasi agar dilembagakan dan dibahas oleh kritikus dan akademisi daripada dibahas oleh masyarakat umum.

Kesimpulan

Sulit untuk menyimpulkan secara formal apakah praktek Postmodernisme masih berlangsung. Ditambah lagi, ada gerakan yang jelas-jelas muncul untuk menggantikannya.

Steve Best dan Douglas Kellner meringkas kondisi saat ini:

Situasi kontemporer menemukan modern dan postmodern, lama dan baru, tradisional dan kontemporer, global dan lokal, umum dan khusus, dan sejumlah matriks berlawanan lainnya. Karena situasi yang kompleks ini menghasilkan perasaan vertigo, kecemasan, dan kepanikan, dan teori kontemporer, seni, politik dan tanda-tanda kehidupan sehari-hari penonton terhadap gejala ini. Untuk menghadapi ketegangan ini, kita perlu mengembangkan sintesis baru dari teori dan politik modern dan postmodern, untuk menegosiasikan hal baru dan seluk-beluknya di era kita saat ini.

(Sumber: Etherington & Doughty, 2011).