Masculinity:
Kondisi atau fakta tentang kelaki-lakian; kumpulan sifat yang dianggap sebagai ciri khas kejantanan manusia.
Tidak seperti teori-teori dan perspektif kritis sebelumnya, Studi Maskulinitas memiliki sejarah singkat, terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar budaya dunia berdiri sebagai patriarki. Laki-laki, secara historis adalah kekuatan otoritatif yang membuat keputusan penting baik di lingkungan publik maupun privat. Dominasi masyarakat patriarkal sebagian besar tidak diragukan lagi karena diterima sebagai tatanan alamiah dalam berbagai hal. Hal ini tercermin pada dunia akademis dan oleh karena itu, teori tentang maskulinitas diabaikan sehingga lamban untuk mendapatkan momentum. Di sini, kita bermaksud untuk mengidentifikasi beberapa wilayah diskusi pokok yang menyediakan tempat untuk menilai teori maskulinitas.
Studi Film, sebagai sebuah disiplin biasanya membahas bagaimana kelompok tertentu digambarkan di layar. Akademisi berfokus secara khusus pada cara film mewakili wanita, homoseksual, ras dan etnis yang berbeda. Menariknya, satu bidang studi yang secara tradisional telah diabaikan adalah bagaimana maskulinitas terwujud. Karena pria tampil begitu dominan di film, kehadiran mereka sudah biasa diterima. Pria secara tradisional menjadi pahlawan cerita dan wanita sering diturunkan menjadi hasrat cinta (yang perlu diselamatkan). Laura Mulvey dikenal mendiskusikan pria dan wanita dalam hal oposisi biner, di mana wanita itu pasif dan laki-laki aktif (lihat ‘Feminisme’). Ia mencatat bahwa wanita dalam film diobjekkan oleh pria karena kamera (biasanya dioperasikan oleh pria) mengadopsi sikap voyeuristik. Teks manuskripnya membuka lapangan studi gender karena keduanya menyoroti dan mengacaukan cara kerja hubungan gender di layar.
Alasan mengapa banyak ilmuwan merasa bahwa perempuan menjadi sasaran ‘tatapan laki-laki’ adalah karena industri ini dijalankan utamanya oleh laki-laki. Wanita sering mendapatkan pekerjaan di departemen kostum dan make-up (dikaitkan dengan lingkungan rumah tangga), namun mekanika industri film dikendalikan oleh laki-laki. Pria memiliki dua peran yang sangat berbeda, satu sebagai pembuat film di belakang kamera dan peran yang lainnya sebagai pemain yang mengambil alih panggung, dan inilah cara fungsi industri. Akibat pengaruh mereka, peran pria di layar diabaikan. Citranya menjadi jenuh pada semua aspek pembuatan film sehingga ia tak terlihat. Gagasan invisibilitas ini (laki-laki diterima sebagai ‘norma’) tidak dibahas secara khusus hingga awal tahun 1980an, dengan artikel Steve Neale ‘Masculinity as Spectacle’ (Maskulinitas sebagai Tontonan) sebagai memicu perdebatan.
Steve Neale
‘Maskulinitas sebagai tontonan’ (1983)
Steve Neale adalah salah satu akademisi pertama yang menyadari bahwa bidang gender, representasi dan seksualitas dalam Studi Film banyak berfokus pada identitas wanita. Dalam artikelnya ‘Masculinity as Spectacle” Neale memperbaiki keseimbangan dan memulai memperdebatkan mengenai pria di layar. Dengan menggunakan buku John Ellis, Visible Fictions sebagai titik awalnya, ia membahas bagaimana identifikasi penonton dengan image yang tak pernah stabil. Karena penonton mengalihkan identifikasi dari satu karakter ke karakter berikutnya. Dalam satu menit kita bisa mengidentifikasi tokoh protagonis laki-laki, dan di adegan berikutnya kita mencari-cari yang perempuan. Ellis mencoba memahami ‘berbagai bentuk identifikasi’ melalui istilah ‘narsisisme’ serta ‘fantasi dan mimpi’ (Neale, 1983, hal.278). Identifikasi narsisistik terjadi ketika kita membaca beberapa elemen diri kita selayaknya karakter di film; sedangkan fantasi dan mimpi melibatkan ‘kecenderungan ganda dan kontradiktif’. Meskipun Ellis maupun Neale tidak menjelaskan istilah yang terakhir, hal itu dapat ditafsirkan sebagai lamunan dan khayalan tentang bintang-bintang film dan membayangkan diri kita berada di dunia diegetik film menggantikan karakter aslinya.
Neale menyatakan bahwa identifikasi narsisistik berkaitan dengan ‘kekuatan, kemahakuasaan, menguasai dan kontrol’ (hal.279). Dalam mengidentifikasikan diri dengan pahlawan laki-laki, penonton merasakan rasa berkuasa. Namun dia memperingatkan:
Saat ego ideal [pria yang kuat] menjadi sebuah ‘model’ yang mengidentifikasi subjek dan menjadi tujuannya, sebagai sumber gambaran dan perasaan pengebirian, sejauh itu pula sesuatu yang menjadi subjek ideal tidak pernah mampu terwadahi (Hal.279)
Singkatnya, mengidentifikasikan dengan representasi kejantanan ala Hollywood sering membuat penonton laki-laki merasa tidak memadahi karena gambaran erotisnya (six-pack, rahang berpelindung, kepala penuh rambut) jarang dicapai.
Berbekal karya Mulvey, Neale mengeksplorasi bagaimana pria mengendalikan ‘tampilan’ di layar; Kita melihat dunia melalui matanya. Namun, tidak bisa berfungsi sebagai gambar erotis. Mulvey mengklaim bahwa ‘dalam masyarakat heteroseksual dan patriarki, tubuh laki-laki tidak dapat ditandai secara eksplisit sebagai objek erotis dari penampilan laki-laki lain’; Sebaliknya tampilan ini harus direpresi. Represi ini nyata dari cara Hollywood cenderung menyandingkan gambar-gambar maskulinitas dengan gambaran kekerasan (hal.281).
Willemen (1981) mengamati bahwa kesenangan voyeuristik bagi penonton saat melihat pria di layar sering terhakimi karena para bintang memperlihatkan percobaan masokistik yang brutal. Perlakuan sadis terhadap bintang laki-laki adalah reaksi terhadap energi gambar erotis. Untuk mengalihkan perasaan homofobia atau homoerotik, tubuh laki-laki dilukai dengan cara tertentu untuk menghilangkan ketegangan seksual. Hal ini juga dapat berlaku pada pertemanan para laki-laki di layar. Bila karakter laki-laki terlihat sangat dekat dengan teman sesama jenis, persahabatan sering diakhiri dengan kematian atau cacat. Cara ini menghindarkan homoerotisme apapun, dan memulihkan tatanan patriarki tradisional.
Perlu adanya perhatian pada pemikiran kesimpulan cerita, karena di sinilah protagonis laki-laki juga bisa menjadi ancaman bagi hierarki sosial. Vladimir Propp mengidentifikasi fakta bahwa kebanyakan cerita berakhir dengan pernikahan pahlawan laki-laki dan cinta si perempuan. Dalam artikelnya, Neale meneliti pola dasar pahlawan yang ditemukan di Barat. Banyak orang Barat akan menyimpulkan bahwa pahlawan koboi akan kembali dan berakhir bahagia (pernikahan/happy ending), bahkan dipilih kiasan narsistik berkelana menuju sunset/matahari terbenam. Neale mengamati bahwa, dalam kasus di mana laki-laki menghindari ancaman pengebirian dengan kembali untuk menikah dan berumahtangga, kematian pasti akan terjadi juga, seperti yang disimpulkan dalam Shane dan digambarkan secara jelas melalui karakter Billy the Kid di Young Guns ll (Geoff Murphy, 1990).
Artikel Neale tersebut diakhiri dengan mengeksplorasi bagaimana pria dapat dipotret secara fetishistik. Wanita diwakili oleh bagian tubuhnya dan ikonografi yang terfragmentasi (rambut, bibir, kuku dan sepatu hak tinggi) untuk menggantikan ketakutan akan pengebirian. Pria juga digambarkan secara fragmen dan objektif untuk mewakili ketakutan, kebencian dan agresi (mata, senjata, kekerasan). Meskipun demikian, pria benar-benar hanya ditangkap dengan cara ini selama berlaga, saat tubuh laki-laki dapat diterima sebagai tontonan. Bahkan kemudian, gambar dipotong untuk menekankan energi, aksi dan kecepatan, daripada fokus sensual yang melekat pada tubuhnya. Namun, ketika tubuh laki-laki ditampilkan sebagai pemandangan untuk kesenangan voyeuristik, kekerasan tidak ada lagi. Dalam kasus ini, tubuhnya biasanya feminim seperti yang sering terlihat di film musikal (John Travolta di Saturday Night Fever dan Zac Efron di High School Musical). Hal ini sangat jelas, karena menunjukkan bahwa industri tidak nyaman dengan objektivitas pria.
Tubuh
Citra laki-laki dalam film telah berubah dari waktu ke waktu. Pada waktu film bisu, Rudolph Valentino dianggap sebagai tipikal pria yang romantis. Wanita akan pingsan karena tampang Italinya. Namun, ketika film bicara telah ramai, Valentino kemudian mendapati dirinya menganggur karena suaranya yang gemulai kontras dengan citra menggodanya. Belajar dari sini, Hollywood mencari bakat baru dari Broadway karena film bicara menuntut kinerja penampilan yang lebih.
Mempertimbangkan beberapa pelopor terkemuka dunia di Hollywood; Menarik untuk dicatat bahwa gagasan tentang kejantanan pada awalnya tidak dikaitkan dengan fisik yang berotot. Merujuk pada Great Depression, Humphrey Bogart dengan wajah sangar dan sifat kelelahan-dunia yang melambangkan Everyman pada penonton Amerika. Jimmy Stewart juga kurang berotot, namun cara kerjanya membuat orang merasa nyaman. Dan Clark Gable tidak kekar, namun wanita mendapatkan magnet sikap dari kata-kata: ‘Jujur, sayang, aku tak peduli‘. Hingga sampai pada penampilan Marlon Brando di A Streetcar Named Desire (Elia Kazan, 1951) bahwa tubuh laki-laki memiliki makna baru. Dalam film t-shirt robek Brando menampilkan tubuhnya yang terdefinisi dengan baik. Gambaran fisik yang kasar, ditambah dengan sikap buruknya, pemberontak, membuka jalan bagi generasi baru bintang pria.
Tontonan dibawa pada tubuh pria yang ekstrem pada saat akhir 1970an dan awal 1980an dengan kedatangan bintang seperti Arnold Schwarzenegger, Jean-Claude Van Damme dan Sylvester Stallone. Schwarzenegger kelahiran Austria memecahkan film mengikuti karirnya sebagai binaraga. Dia adalah orang termuda yang meraih gelar Mr Olympia (penghargaan tertinggi yang tersedia dalam olahraga ini). Demikian pula, Jean-Claude Van Damme, yang dikenal dengan ‘Muscles from Brussels’, membuat namanya masuk dalam lingkaran bela diri, memenangkan banyak gelar. Sebagai hasil dari keahlian olah raga dan tubuh mereka yang mengesankan, baik Schwarzenegger dan Van Damme menyeberang ke film. Sylvester Stallone, mengasah fisiknya yang berotot untuk mendapatkan peran ‘Rocky Balboa’, karakter utama Rocky (John G. Avildsen, 1976), yang naskahnya ditulis bersamanya. Bintang tersebut mewakili citra maskulinitas yang berlebihan (hiper-maskulinitas). Biasanya shot memamerkan tubuh telanjang. Mereka menandai keberangkatan signifikan aktor pria klasik di era studio. Alih-alih, pria tradisional tahun 80-an yang kerempeng, lembut, sopan diobjekkan sebagai tontonan perempuan, membalikkan penggambaran voyeuristik normatif wanita untuk tontonan pria.
Namun, di samping macho musclemen, gambaran maskulinitas yang lebih lembut mulai muncul di pertengahan tahun 80an. Di Inggris hal ini ditandai dengan poster ikonik Spencer Rowell ‘Man and Baby’, bergambar pria yang dengan tenang menggendong bayi kecil. Untuk menyandingkan maskulinitas yang tinggi pada pria dewasa dengan kerentanan anak bayi, makna tubuh ditransformasikan dari persaingan kepada perlindungan dan melindungi. Gagasan sensitif tentang pria juga tampil di film populer tahun 80an. Three Men and a Baby (1987) karya Leonard Nimoy yang mendokumentasikan akibat saat seorang bayi ditinggalkan di ambang pintu tiga bujangan di New York. Film ini merupakan re-make dari film Perancis 3 Hommes et un Couffin/Three Men and a Cradle (Coline Serreau, 1985), yang bernasib sama baiknya di box-office, yang menunjukkan bahwa fenomena pria yang lembut merupakan perubahan yang disambut baik oleh dunia Barat. Film-film lain terus berlanjut sampai tahun 90an, termasuk Curly Sue (John Hughes, 1991) dan Leon (Luc Besson, 1994). Bahkan ‘hard-man’ Arnie menunjukkan sisi yang lebih ringan pada persona kelaki-lakian saat ia membintangi peran bersama anak TK di Kindergarten Cop (Ivan Reitman, 1990).
Menuju ke tahun 1990an dan abad kedua puluh satu, representasi maskulinitas menjadi lebih beragam. Pahlawan klasik yang ditemukan dalam sastra dan seni tradisional memberikan banyak karakter laki-laki, mulai dari pria macho ‘uber’ sampai kepribadian yang lebih feminim. Pergeseran ini mencerminkan spektrum kedewasaan sosial dalam masyarakat, karena tidak ada interpretasi tunggal tentang apa arti menjadi seorang pria. Memang, bercita-cita untuk meniru figur sinematik dan heroik dapat bertanggung jawab atas perasaan ketidakamanan dan ketidakmaniaan laki-laki karena stereotip romantis dan chivalous sampai batas tertentu tidak dapat diraih; Arketipe klasik yang menentukan harapan palsu. Robert Bly dalam bukunya Iron John secara pasti menunjukkan:
Pria berusia dua puluh tahun menjadi lebih bijaksana, lebih lembut. Tapi dengan proses ini dia tidak lagi bebas. Banyak dari pria ini yang menderita. Kita dengan cepat melihat kekurangan energi di dalamnya. Mereka melestarikan kehidupan tapi tidak memberi hidup yang sesungguhnya. (1991, hlm.1-2)
Meskipun representasi maskulinitas berkembang, di bawah permukaan ada banyak masalah yang belum terselesaikan yang berkaitan dengan harapan sosial.
Yvonne Tasker Spectacular Bodies: Gender, Genre and Action Cinema (1995) Yvonne Tasker sudah menulis secara ekstensif tentang maskulinitas sejak tahun 1990an, dengan fokus khusus pada tubuh laki-laki. Salah satu tujuannya, dalam buku Spectacular Bodies, adalah untuk merenungkan kembali peran tubuh dalam film action. Sementara banyak ilmuwan mengabaikan pembuatan film komersial mainstream, Tasker melihat genre film action populis tahun 80-an untuk meneliti apa yang ia rasakan sebagai fokus baru pada tubuh laki-laki. Satu hal menarik yang menjadi perhatian Tasker adalah pria lanjut usia. Dengan mengambil contoh yang familiar Arnold Schwarzenegger dan Sylvester Stallone, ia memandang tubuh yang muda dan indah membuatnya sukses bertransisi menjadi aktor dewasa paruh baya. Pernah berperan murni untuk tubuh mereka, peran amannya bermasalah saat para aktor berusia lanjut. Selain itu, aktor yang lebih dewasa sering kali ingin dianggap lebih serius dan berusaha mendefinisikan talenta mereka secara substansial daripada superfisial. Di sini, Tasker mengidentifikasi cara lain pada komedi dan self-parodi (hal.83). Menguliti ke-macho-an mereka, baik Schwarzenegger atau Stallone mengandalkan komedi sebagai cara ‘mengirim’ citra lama mereka seperti dalam film Twins (Ivan Reitman, 1988) dan Stop! Or My Mom Will Shot (Roger Spottiswoode, 1992). Tasker kemudian menyoroti fakta bahwa ‘tubuh yang dibangun, baik laki-laki maupun perempuan, sering menjadi objek ejekan dan humor daripada kekaguman’ (hal.80), mungkin ini merupakan cara tambahan untuk mencoba melepaskan citra lama mereka. Tasker juga membahas pahlawan film action lainnya seperti Bruce Willis, Harrison Ford dan Clint Eastwood. Tidak seperti pribadi ‘Arnie’ dan Stallone, Willis, Ford dan Eastwood tidak begitu bergantung pada citra tubuh mereka, karena juga dikenal sebagai ‘one-liner’ yang bijak. Tasker mengklaim bahwa Ford mengilhami karakter Indiana/orang-orang dengan serangkaian kualitas yang berbeda melalui tokoh action yang khas. Mengenakan kacamata arkeolog (p.75), profesional yang dewasa, benar-benar tipe pelawan. Demikian pula, ketiga aktor tersebut telah beralih ke belakang kamera untuk menjadi produser. Eastwood menyutradarai sejumlah film yang diakui secara kritis. Ini juga bisa dilihat sebagai upaya agar ditanggapi dengan lebih serius. Fokus tugas pada penuaan laki-laki muncul dari kesadarannya bahwa kebanyakan tulisan tentang maskulinitas mengabaikan fenomena tersebut, menandakan pekerjaannya menjadi terobosan. Meskipun sebagian besar penelitiannya terkait dengan gagasan tentang kelas, ras, jenis kelamin dan seksualitas, baru-baru ini ia disibukkan dengan maskulinitas citra digital. Ia mengklaim bahwa CGI dan special-effect menghasilkan rentetan kinerja kelaki-lakian yang luar biasa. Menggunakan Matrix dan Crouching Tiger, Hidden Dragon (Ang Lee, 2000) sebagai contoh, Tasker melihat tampilan fisik yang menyangat-tinggikan pemahaman informasi kontem-porer kita tentang maskulinitas (2002). |
Ilmuwan lain yang meneliti topik tentang tubuh laki-laki adalah Richard Dyer. Tulisan Dyer pada tahun 1997, The White Man’s Muscles ‘mengamati film-film Tarzan awal, antara lain menjadi tempat kekakuan kolonial dan supremasi kulit putih. Dia melihat kisah tentang laki-laki kulit putih yang masih hidup di negeri asing sebagai metafora pemerintahan kolonial. Biasanya diadu melawan penduduk asli, dengan karakter yang secara fisik superior yang dapat dibaca sebagai penanda kekayaan dan kehormatan. Dyer menunjukkan bahwa para aktor yang berperan memainkan tokoh seperti Tarzan dan Hercules sering menjadi olahragawan terkenal yang mencapai ketenaran di bidang pilihan mereka. Penampilan fisik mereka menunjukkan status kelas mereka karena mereka memiliki waktu dan uang untuk menyempurnakan tubuh hiper-maskulin mereka.
Dyer menunjuk orang-orang Yunani dan Romawi sebagai titik referensi historis untuk fiksasi pria ideal bertubuh kekar. Di zaman purba, patung-patung marmer dipahat dengan hati-hati, dipuja sebagai epitomizing heroisme laki-laki. Mitos ini diabadikan dalam film-film kolonial awal untuk mengedepankan pesan dominasi Barat atas masyarakat adat di luar negeri. Menurut Dyer, tubuh laki-laki kulit putih tersebut mewakili pesan politik sekaligus melakukan fungsi cerita yang bisa memberi informasi pada pembacaan film.
Kecemasan laki-laki
Pada saat-saat tertentu dalam sejarah dunia, image pria di layar mengalami perubahan secara pasti. Dalam kebanyakan kasus, kegelisahan dalam cerita film mencerminkan masalah sosial yang luas. Misalnya, laki-laki yang pulang setelah Perang Dunia II menemukan bahwa perempuan telah mengambil alih banyak pekerjaan laki-laki. Menikmati pekerjaan baru mereka, banyak perempuan enggan kembali ke lingkungan domestiknya. Akibatnya, peran gender kurang jelas dan isu-isu dibawa melalui genre baru, yang kemudian dikenal sebagai Film Noir.
Film Noir didasarkan pada novel-novel perseteruan 1930-an karya Paul Raymond Chandlertahun, Mickey Spillane, Dashiell Hammett dan James M. Cain. Film-filmnya itu tidak dibuat pada tahun 30-an, genre yang dianggap terlalu pesimis bagi Amerika dalam pergolakan Great Depression. Setelah perang, bagaimanapun, Amerika mengalami masa kemakmuran dan industri filmnya tidak perlu lagi berhati-hati dalam menyaring film yang tidak mempromosikan pelarian. Cerita Film Noir yang khas akan melibatkan seorang protagonis laki-laki yang disesatkan oleh femme fatale yang sangat kuat. Perempuan dalam film-film ini secara stereotip bersifat menggoda dan manipulatif. Laki-laki, di sisi lain, dengan mudah menyerah pada pesona feminin mereka, rela melanggar hukum untuk mendapatkan kasih sayang mereka. Pesan moral dari film-film ini adalah bahwa wanita menimbulkan ancaman kecuali jika mereka ditenangkan oleh sosok laki-laki yang tangguh; Laki-laki berisiko terancam secara metaforis. Ini menjadi peringatan bagi wanita bahwa mereka harus kembali ke lingkungan domestiknya agar patriarki dapat dipulihkan.
Dekade berikutnya, film Fight Club menelusuri tema serupa. Film ini dianggap sebagai kritik budaya konsumen, dengan protagonis utama Jack yang kehilangan rasa individualitas laki-lakinya di tengah propaganda kapitalis. Sutradara film tersebut berpendapat bahwa laki-laki berpindah peran utamanya sebagai pemburu di masyarakat modern: ‘kita dirancang untuk menjadi pemburu dan kita berada dalam masyarakat belanja. Tidak ada yang bisa membunuh lagi, tidak ada yang perlu diperjuangkan, tidak ada yang harus diatasi, tidak ada yang bisa dieksplorasi’ (Smith, 1999, hlm.58-66). Untuk terlibat kembali dengan persona maskulinnya (seksual) kelaki-lakian, Jack secara tidak sadar memanggil alter ego Tyler Durden. Sementara Jack adalah orang yang tidak konfrontatif, kecewa dengan pekerjaan dan hubungannya (dilecehkan), Tyler adalah seorang militan, yang terlalu aktif secara seksual, yang mengilhami pengikut setianya untuk membentuk ‘Fight Club’ yang tidak terkenal. Menarik untuk dicatat bahwa dalam usahanya untuk mendapatkan kembali maskulinitasnya yang hilang, Jack melakukan naluri kuno; kekerasan.
Kekerasan
Sejak zaman prasejarah, manusia dikaitkan dengan kekerasan. Industri film salah dalam mempromosikan mitos ini. Meski banyak cerita menampilkan tokoh pelindung yang kuat, kebanyakan film juga melibatkan musuh jahat untuk bertindak sebagai counter force. Namun, kekerasan tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi anti-hero, ini telah lama ditetapkan sebagai sifat generik yang mampu menarik penonton film.
Western, film Gangster dan film Perang menampilkan unsur agresi, persaingan dan pertarungan. Meskipun genre ini secara khusus terkait dengan kaum laki-laki, Paul Willetnen berpendapat bahwa semua orang senang melihat laki-laki di layar.
Pengalaman penonton didasarkan pada kesenangan melihat laki-laki ‘exist’ (yaitu, berjalan, bergerak, berkendara, berkelahi) pada cityscape, landscape atau, sejarah yang abstrak. Dan pada kesenangan yang tak wajar melihat laki-laki dimutilasi (meski grafis belaka…) dan dipulihkan melalui kekerasan yang brutal. (1981, hal.16)
Tesis Willemen menunjukkan kenikmatan sadistis dalam menonton tubuh laki-laki menjadi cacat (disfigured). Paul Smith merangkum gagasan ini dalam empat tahapan pokok (1995, p.81):
- erotisasi
- kehancuran
- kemunculan kembali
- regenerasi
Tahapan ini diaplikasikan pada karakter Tyler Durden. Secara naratif ditampilkan karismatik, Adonis yang bugar, penampilan fisiknya cepat rusak oleh luka dan memar. Namun, bagian yang rusak itu segera dipulihkan oleh kesimpulan film dan dominasinya ditolak dengan mengorbankan kematian Jack.
Homoerotisme
Homoeroticism biasanya tersebar melalui kekerasan di sebagian besar film mainstream, kecuali cerita itu sendiri berkaitan dengan homoseksualitas. Seperti yang dijelaskan oleh Neale, ketegangan homoerotis harus ditiadakan untuk menarik penonton pria heteroseksual yang lebih luas. Sampai batas tertentu, pria heteroseksual dapat mengalami kecanggungan historis karena secara tradisional, pertemuan homoseksual tidak disukai dan bahkan ilegal di banyak negara. Dengan demikian, kekerasan dapat berfungsi untuk meniadakan konotasi homoerotik.
Tetap dengan film Fight Club, pemusnahan karakter Angel Face (Jared Leto) adalah simtomatik atas kebutuhan untuk menekan homoeroticism dalam berbagai bentuk. Angel Face, seperti namanya, adalah penasehat, dengan cantik ala androgini. Oleh karena itu, Jack merasa harus menghancurkan fitur-fiturnya menjadi halus, dengan mengatakan bahwa ‘saya merasa menghancurkan sesuatu yang indah.’ Ini adalah contoh kuat ketegangan homoerotic. Jack cemburu melihat tampang muda anak laki-laki itu pada saat bersamaan ditolak oleh daya tarik bawah sadarnya untuk memberi isyarat. Menariknya, Leto kemudian tampil sebagai pecinta Colin Farrell di film Alexander (Oliver Stone, 2004), sebuah keputusan casting yang sekali lagi terkait dengan penampilannya yang androgini. Leto dapat dianggap sebagai bagian dari berkembangbiaknya aktor untuk mencerminkan gaya metroseksual yang muncul pada 1990an.
Pria metroseksual
Istilah metroseksual pertama kali diciptakan oleh Jurnalis Inggris Mark Simpson dalam artikelnya ‘Here Come the Mirror Men’ di Independent (1994). Dia menggambarkan bagaimana pria muda berusia antara delapan belas hingga tiga puluh lima tahun mengembangkan kecenderungan narsisistik. Padahal konter kosmetik sebagian besar menargetkan wanita sebagai konsumen utamanya. Banyak merek yang kini mengembangkan produk dan losion khusus yang ditujukan untuk pria. Simpson menyoroti fakta bahwa pergeseran ini menandakan pergeseran gagasan pola dasar maskulinitas:
Pria metroseksual bertentangan dengan premis dasar heteroseksualitas – bahwa hanya wanita yang dilihat dan hanya pria yang melihatnya. Pria metroseksual mungkin lebih menyukai wanita, pria mungkin juga lebih memilih pria, tapi ketika semua sampai mengatakannya dan tidak melakukan apa pun hadirlah antara dirinya dan bayangannya.
Sedangkan pria tradisional melihat belanja sebagai kebutuhan jahat. Pria modern, menurut Simpson, telah menjadi ‘comodity fetishist ‘. David Beckham melambangkan laki-laki metroseksual, meluncurkan wewangian sendiri dan tidak takut untuk tampil di depan umum mengenakan sarong dan Alice band (ikat kepala).
Industri film juga mempromosikan citra metroseksual. Ini terbukti saat membandingkan generasi bintang pria baru dengan era studio. Misalnya Humphrey Bogart yang ikonik tampak tua, lelah dan tidak terawat. Ikon zaman modern seperti Brad Pitt, Leonardo DiCaprio, Orlando Bloom dan Jude Law menawarkan citra maskulinitas yang lebih bersih.
Kesimpulan
Kita telah menjajaki banyak perubahan dan tren industri film yang diakomodasi dalam penggambaran maskulinitasnya. Bergantung pada konteks historis, laki-laki digambarkan sebagai sosok yang dominan, percaya diri dan brutal atau sebaliknya, peka, patuh dan pencemas. Banyak ide yang berkaitan dengan maskulinitas dapat ditelusuri kembali ke inkarnasi primal dari suku-suku para pemburu yang membela keluarga dan mempertahankan tanahnya. Oleh karena itu, keasyikan pada tubuh biasanya mewarnai kebanyakan budaya. Gagasan melihat ke masa lalu (kuno) untuk menempa identitas pria modern dapat dilihat di film 300 (Zack Snyder, 2006) di mana tokoh disempurnakan dengan CGI yang menampilkan bentuk hiper-maskulinitas. Padahal para aktor jaman dulu menghabiskan waktu dan uang untuk bekerja secara fisik. Teknologi baru memungkinkan para bintang untuk mencapai tampilan semirip mungkin melalui special-effect. Hal ini bisa meng-alienasi-kan publik pria karena tampilan yang ada di layar bahkan lebih tak terjangkau.
Identitas laki-laki dalam film dan budaya secara tradisional juga disertai contoh-contoh kekerasan dan agresi. Baru-baru ini kecenderungan ini ditantang untuk memberi perspektif maskulinitas yang lebih inklusif yang mewakili spektrum identitas laki-laki yang lebih luas. Saat ini sulit untuk mempertimbangkan gagasan maskulinitas yang berkembang melampaui batas-batas pahlawan film action yang agresif dan pria rumahan yang lebih pasif. Namun, gradasi identitas laki-laki akan dipertanyakan lagi melalui Teori Queer. (Sumber: Etherington & Doughty, 2011).